Idealnya, ruang penilaian atas sisi materiil rekomendasi Bawaslu/Panwas harus dimaknai merupakan ranah pengadilan
Hasil pengawasan Bawaslu/Panwas dalam output rekomendasi, nyatanya secara prosedural masih diawasi oleh KPU. Isi rekomendasi Panwas bagi KPU dalam banyak kasus dimaknai sebatas secarik kertas yang tak mengikat-tidak dilaksanakan. Sejak rezim pilkada langsung dengan model pelaksanaan yang terkoridori lewat UU No.1 Tahun 2015 hingga perubahan terakhirnya UU 10 Tahun 2016 (UU Pilkada), rekomendasi Bawaslu/Panwas seolah tak bernyawa ketika berhadapan dengan KPU.
Terbaru pada kontestasi Pilkada Palopo, KPU Palopo menolak rekomendasi Panwas Palopo. Isi rekomendasi Panwas Palopo ditolak dengan alasan “tidak cukup alasan memberikan sanksi pembatalan paslon petahana”. Penolakan itu didasarkan pada Surat Kementerian Dalam Negeri Nomor : 820/3636/OTDA tanggal 18 April 2018, ditandatangani oleh Dirjen Otoda Kemendagri Soni Sumarsono.
Isinya memberikan penjelasan bahwa khusus Pelaksana Tugas (Plt) karena alasan meninggal dunia, mengundurkan diri atau alasan lain, maka tidak perlu ada izin dari Kementerian Dalam Negeri. Kondisi ini merupakan pengecualian (exception) atas norma pasal 71 ayat (2) Undang-Undang 10 tahun 2016 (UU Pilkada).
Dengan kata lain, tidak terdapat kesalahan paslon petahana terkait pengisian jabatan dimaksud. Perlu diketahui, kasus ini diawali oleh tindakan Panwas Palopo yang menyatakan Paslon Petahana (HM Judas Amir) terbukti melakukan pelanggaran administrasi yakni melanggar pasal 71 ayat (2) UU Pilkada sebagaimana rekomendasi Panwas Palopo Nomor : 0361/SN/PM.00.02/IV/2018 tanggal 17 April 2018.
Nyaris serupa dengan Palopo, Panwas Parepare juga telah menerbitkan rekomendasi berkaitan dengan paslon petahana (a.n Taufan Pawe). Menurut Panwas Parepare, paslon petahana terbukti melakukan pelanggaran pemilihan yakni menyalahgunakan program beras sejahtera (rastra) sebagaimana ketentuan pasal 71 ayat (3) UU Pilkada.
Sampai pada penulisan opini ini, KPU Parepare masih sedang melakukan kajian sebagai bentuk tindak lanjut rekomendasi a quo. Dalam batas waktu yang ditentukan UU Pilkada, tindaklanjut a quo wujudnya bisa berupa melaksanakan isi rekomendasi/tidak melaksanakan isi rekomendasi.
Mengawasi Panwas
Menilik pada kewenangannya, Panwas/Bawaslu adalah lembaga yang secara absolut berwenang menangani dan menilai ada tidaknya pelanggaran pemilihan atas temuan/laporan sebagaimana UU Pilkada yang ditangani dengan mekanisme Perbawaslu 14 Tahun 2017.
Proses penilaian terhadap temuan/laporan oleh Panwas/Bawaslu dilaksanakan dalam bentuk pemeriksaan-penelitian-kajian hingga menghasilkan rekomendasi. Alur proses ini memastikan kebenaran formil maupun materiil yang dituju atas penanganan temuan/laporan terpenuhi. Olehnya itu, rekomendasi sebagaimana norma pasal 139 UU 1 Tahun 2015 bersifat mengikat-wajib ditindaklanjuti oleh KPU Prov/Kab/Kota.
Pada tahap itu Bawaslu/Panwas diberi kewenangan secara fullbody temasuk memanggil-minta keterangan dari pelapor/terlapor dan pihak-pihak kompeten untuk membuat terang duduk suatu peristiwa hukum guna menemukan/pemenuhan kebenaran formil dan materiil atas laporan dugaan pelanggaran (Perbawaslu 14/2017).
KPU dalam menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu/Panwas berdasar pada pasal 140 UU No.1 Tahun 2015, dengan instrument operasional yakni PKPU 13 Tahun 2014 Jo PKPU 25 Tahun 2013. Pada norma pasal 18 PKPU 13/2014 mensyaratkan bagi KPU untuk mencermati dan mengkaji untuk mengambil keputusan, sebagai tindak lanjut atas rekomendasi . Konsekuensi atas kewenangan KPU berdasar PKPU 13 Tahun 2014 sebagaimana perubahan atas Pasal 18 PKPU 25 Tahun 2013, menegasi fungsi pengawasan Panwas yang notabene muruahnya adalah lembaga pengawas yang output rekomendasinya berdasar pada proses kajian (formil dan materiil).
Mekanisme pengkajian materil terhadap rekomendasi Panwas oleh KPU merupakan bentuk pengawasan KPU terhadap kinerja Panwas (vide : pasal 18 PKPU 13 Tahun 2014). Secara sederhana dapat dimaknai bahwa KPU mengawasi kinerja Panwas, melakukan kajian materil atas kajian materil Panwas. Tentu ahistoris terhadap muruah lahirnya kelembagaan ini. Terlihat ada sebuah ambiguitas kewenangan pada KPU sebagai penyelenggara yang kinerjanya diawasi oleh Bawaslu/panwas, malah turut mengawasi-koreksi produk materil Panwas.
Konsekuensi lanjutan atas pemeriksaan materil diatas adalah masuknya campur tangan Kemendagri/instititusi eksekutif yang berkompeten lainnya dalam menilai kinerja Panwas. Dalam Kasus Palopo, yang terjadi adalah kinerja Panwas diperiksa oleh KPU dengan melibatkan pemeriksaan dari Kemendagri. Kewenangan KPU turut merangkul fungsi Kemendagri dalam mengawasi produk materiil rekomendasi Panwas.
Jika melihat prespektif prosedural, tentu tidak ada masalah sebab sesuai mekanismenya berdasar regulasi (vide : pasal 18 PKPU 13 Tahun 2014), namun jika menelaah fungsi kewenangan masing-masing kelembagaan akan ditemukan pelbagai kejanggalan, baik dari sisi azas efektifitas dan kepastian hukum. Hal mana dari prespektif kewenangan KPU yang notabene bukan lembaga pengawas, menilai hasil kerja Panwas, dan diperparah dengan merangkul fungsi Kemendagri (khusus pemenuhan norma pasal 71 ayat (2) dan (3) UU Pilkada) hingga keduanya menjadi “penumpang gelap” dalam menilai rekomendasi Panwas.
Materiil Mengikat
Secara substansi ius constitutum, berkaitan dengan sifat rekomendasi sebagaimana ketentuan Pasal 139 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 (UU/1/2015), hemat penulis dapat dimaknai sama mengikatnya dengan putusan ajudikasi bagi KPU. Yang diatur/dimintakan oleh UU/1/2015 sebagaimana pasal 139 ayat (2) dan (3) berkaitan dengan tindak lanjut adalah menyangkut tata cara pelaksanaan rekomendasi tersebut. Jadi PKPU hanya mengatur sisi formil pelaksanaan rekomendasi, tidak boleh masuk pada sisi materiil rekomendasi a quo.
Dipahami bahwa KPU dalam bingkai tindaklanjut atas rekomendasi panwas diberi kewenangan untuk memeriksa dan memutus pelanggaran administrasi berdasar Pasal 140 UU 1/2015. Namun kewenangan itu dapat ditafsir teleologis sebagai suatu kewajiban melaksanakan hasil kajian materil Bawaslu/Panwaslu. Frasa “wajib menindaklanjuti” adalah konsekuensi pemeriksaan materil yang tidak boleh diulangi lagi. Kenapa tidak boleh diulangi, ini akan benderang jika melihat fungsi Bawaslu/Panwaslu dalam kewenangan berdasar Pasal 134 ayat 5 UU/1/2015.
Jika terjadi pemeriksaan materil yang berulang (sebagaimana das sollen) dalam mekanismenya ada beberapa hal yang menjadi janggal, mengangkangi asas penyelenggaraan pemilu yakni asas efisien. Tentu tidak efisien jika dilakukan pemeriksaan materil berulang kali. Terlebih terdapat di dua lembaga penyelenggara (Bawaslu/Panwas dan KPU), yang secara Teori Kewenangan penanganan pelanggaran (memeriksa formil dan materiil) oleh Bawaslu/Panwaslu didapatkan secara atributif. Ini adalah kewenangan antar lembaga yang tidak proposional dalam suatu penanganan yang sistematis serta mengangkangi pula Asas Proposional.
Boleh saja didalilkan jika pemeriksaan materil oleh KPU adalah suatu bentuk pengejewantahan Asas Kecermatan dan Azas kehati-hatian bagi KPU untuk kepentingan penerbitan keputusan sebagai tindaklanjut atas rekomendasi (vide : pasal 140 UU 1/2015). Namun kecermatan itu toh proposional mengarah pada kewenangan dan fungsi. Bawaslu/Panwaslu harus cermat melaksanakan penanganan-penililaian formil dan materil, sedangkan KPU dituntut cermat dengan melaksanakan kajian yang bersifat formil atas rekomendasi.
Menilik pada Pasal 18 huruf a dan b PKPU No.13 Tahun 2014, pemaknaan mencermati kembali – menggali, mencari, dan menerima masukan dari berbagai pihak untuk kelengkapan dan kejelasan pemahaman laporan Pelanggaran Administrasi Pemilu, secara teleologis kajian pemeriksaannya diarahkan pada KPU untuk melakukan penyempurnaan soal sisi formil sebelum melaksanakan rekomendasi a quo.
Masalah pula terlihat dari substansi Pasal 18 huruf b PKPU 13 Tahun 2014 yang memberikan hadirnya organ negara kompeten dalam melahirkan kajian dengan kesempatan mendengar keterangan para pihak. Pemeriksaan materil oleh KPU memiliki kesamaan sifat terdapat pada pemeriksaan materil oleh Bawaslu/Panwaslu berdasarkan Pasal 13 ayat (3) huruf d Perbawaslu No. 14 Tahun 2017 yang mencantumkan unsur bukti , kemudian lanjut Pasal 21 ayat (1) yang memberi ruang pada ahli untuk didengar keterangannya.
Jika dikomparasikan baik Pasal 18 huruf b PKPU 13 Tahun 2014 dengan Pasal 13 ayat (3) huruf d dan Pasal 21 ayat (1) Perbawaslu No. 14 Tahun 2017 adalah regulasi yang sejajar kedudukannya dalam rangka mengejar kebenaran materil pada satu sistem alur penanganan. Masalah akan muncul jika poin kebenaran materil pada penanganan oleh KPU berkontradiksi dengan poin kebenaran materil pada pemeriksaan Bawaslu/Panwaslu. Konsekuensi atas ini bias pada sisi kepastian hukum. Konsekuensi lanjutannya adalah menimbulkan ketidakpercayaan publik pada salah satu lembaga penyelenggara pemilu (bawaslu/panwas atau KPU).
Saran
Pelbagai permasalahan di atas menjadi batu sandungan dalam mewujudkan kontestasi pilkada yang berkualitas. Ibarat mawar, yang tumbuh bersamaan dengan durinya, tambal sulam regulasi pilkada memang perlahan melahirkan solusi, namun secara bersamaan pula hadir masalah-masalah baru. Secara faktual, masalah ini berakar pada substansi hukumnya.
Idealnya, ruang penilaian atas sisi materiil rekomendasi Bawaslu/Panwas harus dimaknai merupakan ranah pengadilan. Pada tahap lanjutannya setelah KPU melaksanakan rekomendasi tersebut dan jika ada pihak (paslon petahana) yang merasa haknya dilanggar berkaitan dengan keputusan KPU sebagai tindak lanjut rekomendasi, maka dapat mengajukan upaya hukum ke PTTUN/MA. Hal ini merapihkan kewenangan masing-masing lembaga penyelenggara agar tidak tumpang tindih sekaligus mengefisienkan alur penanganan yang berdampak pula pada sisi kepastian hukum.
Ruang masuknya Kemendagri/organ eksekutif lainnya yang memiliki kompetensi memberikan penilaian berkaitan dengan mutasi/penyalahgunaan program mestinya bukan pada proses ditingkat KPU. Opsi ini selayaknya dilekatkan pada norma Perbawaslu untuk membantu Bawaslu/Panwas membuat terang suatu laporan untuk tujuan perumusan rekomendasi. Sebagai solusi konkretnya adalah opini dari kemendagri/BPKP/Inspektorat/BPK/lembaga lainnya yang kompoten menjadi syarat/tiket bagi pelapor untuk mempersoalkan pelanggaran paslon petahana untuk dapat diproses pelanggaran pemilihan dan/atau pelanggaran administrasi pemilihan (TSM).
Sebagai konsekuensi pasal 139 UU Pilkada maka sudah selayaknya KPU menerbitkan PKPU terbaru menyangkut perihal a quo, agar KPU Prov/Kota/Kab tidak keliru menindaklanjuti rekomendasi dengan masuk memberikan penilaian atas isi materiil rekomendasi tersebut. Selain itu keberlakuan PKPU 13/2014 sudah tidak relevan dengan semangat UU Pilkada maupun UU 7/2017 yang memperluas kewenangan Bawaslu. Diperlukan regulasi baru yang tersistematis-harmonis, untuk demokrasi yang lebih baik.
*)Baron Harahap,S.H.,M.H. adalah Praktisi Hukum & Alumni PPS Ilmu Hukum UMJ
PUBLISHER: MAS’UD
Komentar