Bak jamur di musim hujan, korupsi tumbuh subur dan kian menggurita serta menyasar semua kalangan, mulai para pejabat tinggi hingga rakyat biasa, dari pusat sampai ke daerah. Korupsi jadi modus klasik yang tak kunjung terobati. Bagai dua sisi mata uang, korupsi dan demokrasi kapitalis sekuler saling memiliki keterikatan. Keduanya mencipta simbiosis mutualisme, dimana, korupsi membutuhkan demokrasi kapitalis sebagai wadah, disisi lain demokrasi kapitalis menjelma menjadi sistem yang melanggengkan korupsi. Para penikmat uang haram tersebut pun tidak pernah mengenal kata jera, hingga korupsi menjadi budaya yang muskil diberantas.
Beberapa waktu lalu, Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif, menetapkan Bupati Kotawaringin Timur Supian Hadi sebagai tersangka kasus suap yang diduga menyebabkan keuangan negara rugi triliunan rupiah. Dalam kasus ini, Supian Hadi yang sekarang masih menjabat bupati untuk periode 2016-2021, diduga menerima sejumlah uang dan fasilitas untuk mempermudah penerbitan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi dari Pemerintahan Kabupaten Kotawaringin Timur kepada tiga perusahaan.
Ketiga perusahaan itu adalah PT Fajar Mentaya Abadi (FMA), PT Billy Indonesia (BI), dan PT Aries Iron Mining (AIM). Sehingga diduga terjadi kerugian keuangan negara sekurang-kurangnya Rp 5,8 triliun dan US$711 ribu (Rp 9,94 miliar). yang dihitung dari hasil produksi pertambangan bauksit, kerusakan lingkungan dan kerugian kehutanan akibat produksi dan kegiatan pertambangan yang dilakukan PT FMA, PT BI dan PT AIM.
Dalam kasus ini Supian Hadi diduga menerima satu unit mobil Toyota Land Cruiser senilai Rp 710 juta, mobil Hummer H3 senilai Rp 1.350.000.000, dan uang sebesar Rp500 juta. Atas dugaan tersebut, Supian Hadi disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Junto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 K. (JawaPos.com).
Habit korupsi seakan tak pernah mati dari negeri ini. Nyaris disetiap kesempatan, kita disuguhi beraneka ragam berita mencengangkan terkait aksi-aksi korupsi para perampok berdasi yang menilap uang rakyat dan berpotensi merugikan anggaran negara. Hal ini banyak dilakukan oleh kader-kader parpol pengusung demokrasi kapitalis sekuler yang acap kali merangkap sebagai pejabat di Republik ini. Hingga memunculkan kasus-kasus mahar politik yang tak lagi jadi rahasia umum dalam peta perpolitikan negeri ini.
Sebab, tingginya mahar politik yang mesti disiapkan kader partai seolah jadi pembenaran untuk melegitimasi tindakan korupsi. Belum lagi para politisi yang memiliki dana minim, namun turut andil dalam kontestasi perpolitikan, semakin berpotensi memunculkan adanya makelar pilkada. Dengan satu harapan bahwa para makelar tersebut akan mendapat timbal balik sebagai balas jasa terhadap dana yang dikeluarkan untuk para politisi. Maka benarlah ungkapan “Tak ada makan siang gratis” dalam sistem sekuler.
Alhasil, korupsi semakin masuk ke dalam tubuh demokrasi kapitalis sekuler dan mengakar kemudian menjadi budaya yang sulit dihentikan. Sebagaimana diketahui, bahwa sistem sekuler ini adalah sistem mahal yang membutuhkan banyak suntikan dana demi menduduki tampuk kekuasaan. Karena mahalnya sebuah jabatan membuat para politisi memilih jalan termudah demi mengembalikan mahar politik yang terlanjur menguras kantong, yakni lewat jalur korupsi. Hingga tak terhitung sudah, para pejabat di republik ini yang menjadi penghuni jeruji besi karena tindak korupsi.
Semua terjadi karena sistem ini memang mengakomodasi para pengagumnya untuk berbuat demikian. Sebab, demokrasi kapitalis sekuler adalah sistem buatan manusia yang berasaskan sekulerisme serta menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan. Sehingga menihilkan peran Allah SWT sebagai mengatur kehidupan. Karena itu “Suara rakyat adalah suara Tuhan” menjadi harga mati yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Hingga yang kemudian disuguhkan pada rakyat ialah kebijakan berdasar kepentingan bukan demi kesejahteraan rakyat.
Banyaknya kasus-kasus korupsi yang dilakukan kader parpol pengusung demokrasi kapitalis sekuler, justru semakin menunjukkan wajah asli sistem ini sebagai biang korupsi. Walhasil, kekuasaan hanya dijadikan sebagai alat untuk mensejahterakan diri sendiri. Dan demi menduduki kursi kekuasaan, akhirnya rela mengorbankan kesejahteraan rakyat yang seharusnya menjadi agenda utamanya.
Gurita korupsi dapat diminimalisir jika Islam dijadikan sebagai solusi dalam menyelesaikan setiap problematika kehidupan, tak terkecuali korupsi. Sebab, Islam adalah agama langit yang dijamin kebenarannya langsung oleh Allah SWT sebagai pembuat risalah. Islam memiliki sistem pengawasan yang sempurna untuk meminimalisir berkembangnya tindak pidana korupsi. Antara lain, adanya ketakwaan individu, kontrol dari masyarakat dan adanya negara yang menerapkan hukum. Yang tak kalah penting, spirit ruhiyah senantiasa ditanamkan pada setiap individu, agar menyandarkan setiap perbuatannya sesuai dengan standar halal dan haram.
Selain sistem pengawasan yang baik, Islam pun memberlakukan sanksi tegas terhadap pelanggaran pidana yang dilakukan oleh setiap orang, baik muslim maupun non muslim. Sebab dalam Islam semua sama di mata hukum. Hingga mustahil terjadi diskriminasi hukum dan keadilan seperti hari ini. Hukum Islam pun tak hanya berfungsi sebagai penebus (jawabir), tetapi juga sebagai pencegah (jawazir). Sehingga sanksi yang diberlakukan akan menimbulkan efek jera bagi pelaku, dan menjadi pelajaran bagi yang lain agar tidak melakukan hal yang sama.
Selain sanksi tegas, Islam pun memberi jaminan kesejahteraan bagi para pegawai negara dengan menetapkan sistem penggajian yang sangat layak. Sehingga langkah ini dapat menekan tindakan korupsi para pejabat karena kesejahteraan telah dicapai. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Siapapun yang menjadi pegawai kami hendaklah mengambil seorang istri, jika tidak memiliki pelayan , hendaklah mengambil seorang pelayan, jika tidak mempunyai tempat tinggal hendaknya mengambil rumah.” (HR. Abu Dawud)
Pun demikian dengan suap-menyuap yang rentan terjadi dalam sistem demokrasi kapitalis, sangat muskil terjadi dalam sistem Islam. Sebab, Islam melarang siapapun yang diamanahkan jabatan oleh negara untuk menerima hadiah. Terkait hal ini, Rasulullah SAW bersabda: “Siapa saja yang kami (Negara) beri tugas untuk melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami beri rezeki (upah/gaji), maka apa yang diambil olehnya selain (upah/gaji) itu adalah kecurangan.” (HR. Abu Dawud)
Terakhir dan tak kalah penting terkait upaya pencegahan korupsi dalam Islam adalah dengan keteladanan seorang pemimpin. Sebab, pemimpin adalah peri’ayyah urusan rakyat dalam seluruh aktivitas kehidupan. Sebagai contoh adalah keteladanan Umar bin Abdul Aziz ketika bertindak sebagai seorang pemimpin. Pernah suatu ketika beliau mematikan fasilitas lampu di ruang kerjanya pada saat menerima anaknya. Hal itu dilakukan karena pertemuan tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan urusan negara. Kondisi seperti ini tentu saja mustahil ditemukan dalam sistem sekuler hari ini.
Demikianlah, bagaimana Islam menyelesaikan secara sempurna setiap problematika ditengah-tengah umat, diantaranya adalah tindak pidana korupsi. Karena dengan menjadikan Islam sebagai landasan hidup niscaya kerahmatan akan dirasakan oleh seluruh umat. Dan menjadi kewajiban kita bersama untuk menegakkannya, sebagai solusi nyata atas problematika manusia di dunia. Wallahu a’lam bish shawwab
PENGIRIM: SARTINAH (PEMERHATI MUSLIMAH DAN UMAT)
PUBLISHER: MAS’UD
Komentar