Dalam sebuah rapat terbatas Senin, 6 Januari 2020, Pemerintah mempertimbangkan melakukan impor gas bumi untuk industri. Gas untuk industri adalah LNG. Di samping untuk mengatasi mahalnya harga gas, yang lebih urgen adalah guna memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Target dalam 3 bulan ke depan, yakni pada Maret 2020, harga gas bisa turun menjadi 6 USD per MMBTU. Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang mengatakan bahwa nominal harga gas bumi (LNG) yang kompetitif sesuai dengan Perpres No 40/2016 yakni 6 USD per MMBTU atau bisa lebih rendah lagi.
Saat ini harga gas LNG sekitar 8 – 9 USD per MMBTU. Di Medan mencapai 13 USD per MMBTU. Di Jawa, harga gas sebesar 7 USD per MMBTU.
Mengenai pembukaan kran impor gas bumi, ada beberapa catatan yang harus menjadi perhatian bersama berikut ini.
Pertama_, Wacana impor gas industri berasal dari Singapura. Sedangkan Indonesia sudah terikat kontrak impor gas 1,5 MTPA dengan AS melalui perusahaan Corpus Cristi. Waktunya dari 2019 – 2039. Selain itu, kontrak impor gas dengan perusahaan Afrika, Mozambique LNG dari 2022 hingga 2041. Hal ini akan berakibat pemborosan stok gas bumi di dalam negeri.
Di samping itu, sampai 2035, masih terdapat 60 kargo produksi gas bumi di dalam negeri yang belum ada pembelinya. Tentunya kran impor gas berbahaya. Di saat harga gas bumi dalam negeri relatif mahal, masuk gas impor yang harganya relatif murah. Prediksinya harga gas impor bisa didapatkan 4 – 4,5 USD per MMBTU. Artinya 60 kargo tersebut terancam mangkrak.
Kedua_, impor gas menjadi langkah yang tidak pas di saat Indonesia kaya akan sumber daya gas bumi.
Ambil contoh, ladang Banyu urip dan Ladang Bukit Tua, blok Ketapang Jawa Timur. Ladang Banyu Urip menyediakan potensi cadangan minyak sebesar 450 juta barel. Ladang Bukit Tua menghasilkan 20 ribu barel tiap hari sejak 2015. Bahkan disinyalir sekitar 60 persen cadangan minyak di Indonesia berada di laut dalam. Pastinya dalam eksplorasi dan eksploitasinya membutuhkan dana besar dan kecanggihan teknologi.
Ketiga_, kebijakan impor gas bumi ini menyebabkan terjadinya defisit neraca perdagangan di periode Juni 2019.
Nilai ekspor migas (minyak dan gas bumi) mencapai nilai 5,34 milyar USD. Sedangkan nilai impornya sebesar 9,08 milyar USD. Artinya terjadi defisit sebesar 3,74 milyar USD.
Keempat_, kebijakan impor gas tidak tepat untuk menurunkan harga gas.
Ambil contoh perjanjian impor LNG antara Pertamina dengan Chernierre AS di awal 2019. Kontrak harganya adalah harga gas Henry Hub x 1,15. Harga gas Henry Hub (patokan harga di AS) 3,11 USD per MMBTU x 1.15, didapatkan sekitar 4 USD MMBTU. Betul di sini murah. Akan tetapi ada harga liquefaction sebesar 3,50 USD MMBTU, jadi harga impor gas menjadi sekitar 7 USD per MMBTU. Belum lagi terdapat additional cost seperti tol fee untuk transmisi dan distribusi, disinyalir bisa membengkak menjadi 11 dan 12 USD per MMBTU di dalam negeri.
Impor gas ini tidak hanya dari Corpus cristi anak perusahaan Chernierre AS. Tahun 2017, impor gas dari Australia melalui Wordside Energy Trading. Di samping itu, di tahun 2017, Pertamina meneken kontrak membeli minyak mentah dari Exxon Mobile.
Impor gas di Indonesia sengaja dipertahankan bahkan hingga 20 tahun mendatang. Disinyalir terbentuknya sebuah kartel gas membutuhkan waktu 15 hingga 20 tahun. Walhasil akhirnya menjadi sulit untuk menghilangkan ketergantungan atas impor gas bumi.
Dengan menilik beberapa catatan tersebut, impor gas bukanlah solusi bagi mahalnya harga gas. Tentunya persoalan mahalnya harga gas bumi ini merupakan persoalan sistemik dalam pengelolaan gas. Dengan demikian pembukaan kran impor gas terkesan bahwa kebijakan itu instan, tidak mau ribet.
Tentunya menjadi sangat urgen guna merumuskan tahapan – tahapan penyelesaian yang sistemik atas persoalan migas. Tidak sekedar menekan harga gas yang mahal, lebih dari itu kebijakan pengelolaan gas mampu mengantarkan Indonesia terlepas dari jeratan bisnis kartel gas.
Langkah pertama dan utama yang harus menjadi frame bersama. Bahwa spirit riayah (pengurusan yang baik) bukan spirit keuntungan menjadi asas dalam pengelolaan gas bumi oleh negara.
Selanjutnya harus dilakukan identifikasi. SDA termasuk migas di dalamnya adalah komoditas milik umum. Sebagai milik umum rakyat, migas tidak boleh diswastanisasi.
Sebagai contoh, blok migas Cepu diserahkan ke Exxon Mobile. Harusnya Pertamina sebagai BUMN, menjadi satu – satunya pihak yang legal dalam mengelola migas. Langkah swastanisasi menjadi langkah bunuh diri politik. Pertamina justru beli minyak dari Exxon Mobile.
Kalaupun membutuhkan teknologi canggih dalam eksplorasi dan eksploitasi sumber migas yang 60 persen di laut dalam, tetap perusahaan rekanan diposisikan dengan akad ijaroh (kontrak kerja). Dengan begitu, Indonesia sebagai pemilik bisa menikmati hasil SDA untuk sebesarnya kemakmuran rakyat.
Tidak perlu lagi Indonesia mengambil sikap tidak menjadi anggota organisasi OPEC. Di samping itu, agar Indonesia bisa lepas dari bisnis kartel gas. Produksi migas nasional difokuskan mencukupi kebutuhan dalam negeri. Sedangkan dalam kegiatan perdagangan internasional tetap mengacu harga ekonomi pasar. Tidak ada lagi manipulasi harga. Dengan demikian Indonesia akan bisa memperbaiki neraca perdagangannya. Lebih – lebih, Indonesia akan bisa menguasai pasar dunia dengan memberi jaminan akan bebasnya skema harga komoditas dari manipulasi. Hal tersebut akan bisa dilakukan dan diraih oleh negeri ini tatkala pengelolaan SDA nya menggunakan pendekatan sistem ekonomi Islam guna menggantikan pengelolaan khas neoliberalisme ekonomi.
oleh Ainul Mizan (Pemerhati Politik dan Tinggal di Malang)