Miris. Segala keriuhan itu nyatanya disajikan oleh para elit politik dari kalangan petinggi partai serta tokoh nasional. Alih-alih memberikan edukasi politik kepada masyarakat, para politisi justru saling serang personal lawan hingga ricuh dalam ruang sidang partai politik. Sungguh memalukan!
Dilansir dalam Merdeka.com – Riak-riak amarah antar peserta Kongres V Partai Amanat Nasional (PAN) begitu kentara. Padahal sidang pleno hari ke-2 pada Selasa, 11 Februari 2020, baru saja dibuka. Agendanya membahas tata tertib pemilihan ketua umum baru. Tensi politik malah semakin panas. Tepat pukul 11.00 WITA, sidang pleno dimulai. Kegiatan itu berlangsung tertutup. Ketua Steering Committee Eddy Soeparno mencoba menenangkan peserta yang berada di ruangan Phinisi Ballroom, Hotel Claro, Kendari, Sulawesi Tenggara. Upaya tersebut gagal. Nada suara para kader malah semakin meninggi. Sampai sulit membendung emosi. Sekitar 40 menit kemudian, kekacauan Kongres PAN tak dapat dihindari. Sidang pleno lalu dihentikan sementara. Pada momen ini, keributan sempat terjadi. Kepolisian sampai turun tangan, masuk ke dalam ruang sidang.
Ternyata para kader terbagi dua kelompok. Pendukung Zulkifli Hasan dan Mulfachri Harahap. Keduanya saat itu merupakan calon ketua umum PAN. Polisi lantas berdiri di antara peserta demi meredakan situasi.
Situasi begitu tegang. Peserta yang keluar dari ruang sidang tampak membentuk kelompok. Wajah mereka tampak marah. Upaya pengamanan pun diperketat. Para personel kepolisian tidak hanya berjaga di dalam ruang sidang, tapi juga di halaman hotel.
Setelah dihentikan beberapa saat, sidang kembali dibuka. Tensi antara dua kubu ternyata tak kunjung mereda. Eskalasi kericuhan malah meningkat. Bukan lagi adu mulut. Bak tawuran antar pelajar, mereka saling lempar kursi yang diduduki. Keributan sulit untuk dihindari.
Para elit PAN mencoba menenangkan situasi. Berteriak meminta para kader tidak bertindak lebih anarkis. Tidak diketahui pasti kubu siapa penyebab ricuh Kongres V PAN. Sejumlah kader PAN yang menyaksikan kejadian tersebut membantah para perusuh itu kader partainya. Mereka justru merasa keributan terjadi karena adanya penyusup. “Ini bukan kader pan ini. Orang lain ada yang menyusup,” celetuk salah seorang kader PAN.
Akibat penerapan sistem kapitalis-demokrasi yang membuat negeri ini kian diambang kehancuran. Para elit kapitalis yang mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya telah menjadikan suasana perpolitikan yang kian pragmatis. Slogan “untuk rakyat” hanyalah “pemanis” untuk memuluskan kepentingan mereka.
Parpol dan elit partai dalam politik demokrasi tak nampak serius berikhtiar melakukan pencerdasan dan berupaya mengikatkan visi partai agar menjadi visi umat secara keseluruhan. Yang penting, bagaimana bisa menang.
Parpol dan elit politik yang lahir dari politik demokrasi malah lumrah melakukan berbagai hal yang menyakiti hati umat. Hingga perubahan ke arah yang lebih baik kian jauh dari benak dan harapan umat. Bahkan pada sebagian orang, frame politik pun terstigma sebagai sesuatu yang kotor dan harus dihindarkan.
Politik Dalam Islam
Berbeda halnya dengan sistem politik Islam. Dalam Islam, politik memiliki makna yang demikian mulia. Politik dimaknai sebagai pengurusan urusan umat baik di dalam maupun luar negeri, hanya dengan hukum-hukum Islam.
Mengapa demikian? Dikarenakan, dalam Islam politik adalah salah satu manifestasi keimanan, bahwa Allah SWT adalah Pencipta sekaligus Pengatur kehidupan dengan jalan menurunkan risalah islam. Dengan demikian Islam adalah politik. Politik adalah Islam. Islam tak mengenal pemisahan agama dari politik. Politik terikat dengan halal haram.
Islam juga memandang politik merupakan bagian dari aturan Allah yang harus ditaati. Politik yang dimaknai sebagai pengurusan umat merupakan seperangkat mekanisme penguasa dalam meriayah atau memenuhi keperluan rakyat. Penguasa dalam Islam memahami betul bahwa ia bertanggung jawab atas setiap jiwa yang dipimpinnya. Pertanggungjawabannya langsung di hadapan Allah. Karenanya, setiap penguasa dalam Islam akan berhati-hati agar tidak melakukan kedzaliman terhadap umat yang dipimpinnya. Kedzaliman adalah ketika penguasa memimpin umat tanpa syariat.
Terkait mekanisme pemilihan pemimpin, Islam pun mengenal konsep pemilihan umum. Terpilihnya Utsman bin Affan sebagai khalifah yang ketiga didahului dengan proses pemilihan umum. Para sahabat yang bertugas, mengetuk setiap pintu rumah penduduk untuk menanyakan pilihan mereka di antara Utsman atau Ali. Namun, berbeda dengan sistem demokrasi, penguasa yang terpilih dalam Islam menjalankan amanahnya dengan syariat sebagai landasannya. Begitupun masyarakat ketika melakukan koreksi pada penguasa, juga menggunakan landasan syariat. Calon penguasa tak perlu mengumbar janji manis tanpa bukti. Cukup komitmen mereka untuk melaksanakan syariat dalam memimpin. Kelak, masyarakat akan melakukan muhasabah atau koreksi jika penguasa menyimpang dari syariat dalam menjalankan amanahnya.
Politik dan kepemimpinan Islam mustahil didapati sistem sekulerisme demokrasi. Karena yang haq takkan mungkin bercampur dengan yang bathil. Islam adalah haq, sekulerisme demokrasi adalah bathil. Allah berfirman, “Janganlah kalian campur-adukkan antara kebenaran dan kebatilan, dan kalian sembunyikan yang benar padahal kamu mengetahuinya”. (Q.S.:2 Al-Baqarah 42).
Peranan Partai Politik
Secara umum, aktivitas partai politik ini adalah dakwah, amar makruf dan nahi munkar. Namun, lebih spesifik, dalam konteks sistem pemerintahan, fungsi dan peranan partai politik ini adalah untuk melakukan check and balance. Bisa juga disebut fungsi dan peran muhasabah li al-hukkam (mengoreksi penguasa). Inilah fungsi dan peranan yang dimainkan oleh partai politik Islam ini dalam negara khilafah. Bahkan, bisa dikatakan, fungsi dan peranan ini sangat menentukan keberlangsungan penerapan Islam yang diterapkan oleh khilafah. Karena, para penguasa dalam negara khilafah adalah manusia, bukan malaikat.
Mereka tidak maksum, sebagaimana Nabi SAW. Karena itu, mereka berpotensi melakukan kesalahan, terlebih dengan kekuasaan yang memusat di tangannya. Ketika ketakwaan yang menjadi benteng mereka melemah, maka kontrol dari rakyat, termasuk partai politik ini sangat dibutuhkan untuk meluruskan kebengkokan mereka.
Inilah partai politik ideologis yang ada di tengah-tengah umat. Berdiri kokoh di atas pondasi Islam, sebagai kepemimpinan berpikirnya. Kepemimpinan berpikir ini diemban partai di tengah-tengah umat untuk memberikan kesadaran kepada mereka tentang Islam yang sebenarnya. Maka, partai politik ini adalah partai dakwah, yang tidak melakukan aktivitas lain, selain dakwah. Karena aktivitas lain adalah aktivitas yang menjadi kewajiban negara, bukan kewajiban partai politik. Jadi, keberadaan partai politik dalam negara khilafah sesungguhnya merupakan bagian dari sistem pemerintahan itu sendiri. Meski partai politik ini tidak menjadi bagian integral dalam struktur pemerintahan, namun keberadaannya sebagai mekanisme kontrol yang kredibel dalam negara khilafah sangat menentukan perjalanan negara. Jika partai politik ini eksis, dan melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik, maka ini akan menjadi terlaksananya Islam dengan baik. Begitu sebaliknya. Dengan demikian, keberadaan partai politik ini benar-benar dibangun berdasarkan Islam, mempunyai visi, misi, tujuan, metode dan aktivitas yang terpancar dari akidah Islam.
Walhasil, mewujudkan al haq dalam kehidupan ini adalah dengan memurnikan ajaran Islam dalam seluruh aspek kehidupan termasuk politik. Maka, inilah saatnya kaum muslimin berjuang mewujudkan penerapan syariat secara kaffah dalam kehidupan, dengan partai politik islam yang mengemban dakwah mengembalikan kehidupan Islam di Bumi ini. Wallahu a’lam.
Oleh : Risnawati (Penulis Buku Jurus Jitu Marketing Dakwah)