Hanya Dengan Islam, India Bisa Damai dan Sejahtera

Hanya dengan Islam, India Bisa Damai dan Sejahtera
Ainul Mizan

Sejak tanggal 23 Februari 2020 lalu, kerusuhan telah meletus di India, terutama di New Delhi. Sekitar 30 orang telah meninggal dunia dan ratusan lainnya terluka (www.wartakini.co, 29 Februari 2020). Mayoritas korbannya adalah muslim India.

Bahkan masjid di Delhi pun tidak luput dari amukan massa. Al – Qur’an di dalam masjid ikut dibakar. Di menara masjid, dikibarkan bendera kesyirikan yakni Bendera Hanuman (www.kumparan.com, 26 Februari 2020).

Iklan KPU Sultra

Aksi kerusuhan merupakan buntut dari aksi protes besar – besaran atas UU Kewarganegaraan India yang dinilai diskriminatif terhadap muslim India. Kelompok Hindutva bercita – cita agar India menjadi “Negara Hindu”. Perdana Menteri Narendra Modi dari BJP, Partai Barathiya Janata, berafiliasi ke gerakan Hindutva. Tentunya bisa dipahami bila diskriminasi atas Muslim India mendapat legalitas dari negara.

UU Kewarganegaraan India yang disahkan pada Desember 2019, meneruskan kebijakan kolonial Inggris. Sejak 1947, daratan India dibagi menjadi 2 bagian yakni India dan Pakistan. Penduduk yang beragama Sikh, Budha dan lainnya diharuskan bermigrasi ke India dari Pakistan. Sedangkan penduduk muslim di India diharuskan bermigrasi ke Pakistan. Bermula dari sinilah kerusuhan demi kerusuhan terjadi di India.

Tahun 1984, 3000 orang Sikh meninggal dunia. Hal ini terjadi menyusul tragedi pembunuhan Perdana Menteri India, Indira Gandhi oleh para pengawalnya dari kalangan Sikh.

Pada tahun 1992, terjadi penyerangan terhadap masjid Ayodya oleh kalangan Hindutva. Dianggapnya masjid tersebut menjadi simbol hegemoni Islam. Begitu pula satu dekade kemudian, terjadi pembantaian atas muslim di sebuah kereta.

Padahal UU kewarganegaraan India bertentangan dengan Konstitusi India yang menegaskan India itu negara sekuler. Alih – alih berkomitmen mempertahankan sekulerisme yang tidak membedakan agama penduduknya, gerakan Hindutva justru mendiskriminasi muslim India.

Disebutkan bahwa para emigran dari Pakistan dan Bangladesh yang beragama selain Islam akan diakui kewarganegaraannya. Sedangkan muslim India sendiri harus membuktikan kewarganegaraannya di India. Tentunya hal demikian tersirat rasa kebencian terhadap muslim. Bisa dipahami dari sini bahwa sekulerisme itu menjadi agenda politik untuk menghalangi peran Islam mengatur negara. Jika konsisten, mestinya dunia termasuk PBB bereaksi tatkala gerakan Hindutva sudah melanggar asas – asas sebuah negara sekuler.

Hal demikian tidaklah mengherankan. Presiden Donald Trump sendiri dalam kebijakannya di awal pemerintahan,  melarang adanya migrasi muslim ke Amerika. Alasannya demi stabilitas keamanan. Jadi potensi konflik akan terus bermunculan di dalam sebuah pemerintahan yang sekuleristik.

Mencermati perkembangan di India tersebut, Pengamat dari TIDI (The Indonesian Development Initiative), Arya Shandiyuda meminta pemerintah Indonesia melakukan tindakan nyata. Di antaranya Arya mengatakan agar Indonesia menawarkan konsep Pancasila ke India. Harapannya, sebagaimana Indonesia mampu merawat kebhinekaan agama dan kepercayaan untuk hidup damai dalam falsafah Pancasila.

Kalaupun Pancasila mau dipasarkan ke luar negeri, tentunya kita harus bercermin dulu terhadap kondisi dalam negeri Indonesia. Angka kelaparan yang terbilang masih tinggi di angka 22 juta penduduk, pertumbuhan ekonomi yang rendah, utang luar negeri yang menumpuk, kasus megakorupsi Jiwasraya, Asabri dan lainnya, gerakan separatis OPM, persekusi kepada ulama dan ajaran Islam yang masih dibenturkan dengan Pancasila, eksploitasi tambang oleh swasta dan asing, dan lainnya. Ini semua masih menjadi PR Indonesia dengan falsafah pancasilanya. Kesaktian Pancasila yang diperingati setiap tanggal 1 Oktober, harus bisa membuktikan kesaktiannya dalam menyelesaikan semua masalah tersebut.

Ataukah dengan lapang dada, sebagai bangsa Indonesia kita mengakui bahwa tidaklah cukup hanya bermodal falsafah Pancasila dalam mengatur negara. Faktanya, sistem pemerintahan di Indonesia adalah sistem demokrasi presidentil. Pengelolaan ekonominya menggunakan sistem ekonomi neoliberalisme, yang mendewakan ekonomi pasar. Sistem peradilannya juga masih menggunakan KUHP warisan Belanda. Kesemuanya masih berpangkal dari pandangan sekulerisme. Bukankah bila demikian adanya, cita – cita mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagaikan menegakkan benang basah.

Pandangan Islam

Sesungguhnya Islam memandang bahwa keberagaman manusia itu merupakan hal yang alami. Pluralitas manusia dalam hal suku bangsa dan adat istiadat, termasuk agama dan kepercayaannya. Oleh karena itu, di dalam masyarakat Islam tidak ada sistem kasta yang mengkotak – kotak manusia dari segi strata sosialnya. Yang membedakan manusia adalah iman dan taqwanya.

Kendati demikian, Islam mengakui bahwa masalah agama dan keyakinan itu hak individu. Oleh karenanya dalam Islam ada prinsip “Tidak Ada Paksaan dalam Memeluk Islam”. Artinya, setelah mereka diseru untuk memeluk Islam. Akan tetapi mereka enggan, maka mereka dibiarkan dalam keyakinannya.

Adapun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, harus tetap ada satu disiplin aturan hidup yang dijalankan. Tinggal persoalannya, aturan hidup apakah yang bisa menjamin terwujudnya keadilan bagi semuanya?

Di dalam Islam, bagi penduduk yang non muslim dan mereka mau hidup damai dalam naungan pemerintahan Islam, mereka dicatat sebagai warga negara. Dikenakan kepada mereka sejumlah kewajjiban dan diberikan haknya.

Mereka diwajibkan membayar jizyah sebagai bentuk komitmen hidup dalam naungan Islam. Besarnya disesuaikan kemampuan masing – masing. Hanya berlaku bagi yang laki – laki. Dibayarkan hanya sekali dalam setahun.

Di samping itu, mereka juga ikut berkewajiban membela negara ketika ada serangan dari luar. Adalah rakyat Homs Syria yang Nasrani ikut membantu pasukan Islam dalam menghadapi serbuan pasukan salib.

Dengan demikian mereka mendapatkan haknya. Negara Islam wajib melindungi darah, harta dan kemuliaan harga diri mereka. Lantaran keadilan Islam, manusia pun berbondong – bondong masuk Islam.

Aturan hidup Islam telah terbukti selama sekitar 1300 tahun mampu menaungi hampir 2/3 dunia yang heterogen dalam sebuah keadilan dan keteraturan hidup. Dari masa Nabi Saw, Khulafaur Rasyidin, Umawiyyah, Abbasiyah, dan hingga masa Utsmaniyyah. Inilah prestasi Islam. Sebuah prestasi yang tidak akan mampu ditandingi oleh peradaban manapun di dunia.

Di India sendiri, pernah berkuasa Kesultanan Mughal selama sekitar 350 tahun. Tentu sebelumnya ada kesultanan lain. Misalnya pada masa Maharaja Akbar di Mughal, terwujud keadilan hukum bagi penduduk dijalankan, sistem pertanian yang maju dan kontrol oleh seorang Patel, penghapusan sistem kasta dan lainnya.

Dan yang harus dicatat oleh tinta emas sejarah, bahwa ajaran Islam mengharamkan penjajahan. Maka setiap bentuk penjajahan harus dilawan dengan gerakan jihad. Oleh karena itu, Kesultanan Mughal terus gigih mengobarkan perlawanan terhadap penjajahan Inggris.

Sashi Tharur, seorang Pemimpin Konggres India, bersaksi bahwa selama pendudukan Inggris, India menjadi negeri termiskin. Padahal sebelumnya, India termasuk negeri yang kaya.

Walhasil, hanya dengan aturan Islam yang diterapkan Khilafah, akan mampu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan hidup bagi umat manusia.

oleh Ainul Mizan (Pemerhati Politik)

#Penulis tinggal di Malang