Pilkada Melenggang Disaat Pandemi Mencengang

TEGAS.CO,. KENDARI – Euforia Pilkada mulai berhembus lagi di seantero Nusantara, dari Sabang sampai Merauke. Namun karena pandemi maka hembusan euforianya seperti angin sepoi-sepoi hampir tak terasa namun ada. Pilkada yang direncanakan akan digelar 9 Desember 2020 mendatang. Rencana pilkada pada 9 Desember nanti menuai pra kontra.

Sebuah forum diskusi digelar yang bertajuk “Evaluasi 6 Bulan dan Proyeksi Satu Tahun Penanganan Covid-19 di Indonesia”, mengusulkan agar pilkada pada 9 Desember nanti ditunda ke tahun depan guna mencegah bom waktu lonjakan Covid-19. Pasalnya kewajiban masker, menjaga jarak, dan menghindari kerumunan belum bisa dipatuhi oleh seluruh lapisan masyarakat. Jika dipaksakan, pilkada bakal menjadi bom waktu yang melipatgandakan angka positif Covid-19.

Iklan KPU Sultra

Dalam forum disebutkan bahwa pandemi Covid-19 adalah musuh besar yang mematikan, sangat cepat penularannya dan meluluhlantakkan perekonomian bangsa. Tidak mungkin ekonomi pulih jika angka Covid-19 terus bertambah. Karena itu, faktor pemicu ledakan positif Covid-19, seperti pilkada, sebaiknya ditunda. Diskusi tersebut diselenggarakan oleh Kelompok Studi Demokrasi Indonesia (KSDI), dipandu politisi senior Maruarar Sirait, menghadirkan Menko Polhukam, Ekonom Faisal Basri, Peneliti Mohammad Qodari, Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono, dan ahli epidemiologi FKM UI Iwan Ariawan.

Diskusi via online/webinar ini diikuti oleh lebih dari 700 orang peserta dari seluruh wilayah Indonesia dan luar negeri. Topik diskusi ini berlangsung alot selama lima jam. Sekitar 91% polling meminta agar pilkada ditunda (Beritasatu.com, 14/9/2020).

Menanggapi permintaan penundaan pilkada yang dijadwalkan 9 Desember 2020, Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan bahwa penundaan pilkada hanya bisa dilakukan lewat UU atau perppu. Untuk merevisi perppu butuh waktu, sehingga sudah tidak memungkinkan lagi membuat perppu baru. Mengingat bahwa merevisi satu perppu bisa memakan waktu berbulan-bulan bahkan ada yang sampai tahunan, dan belum tentu mendapat dukungan DPR.

Wacana penundaan pilkada sebenarnya telah dibahas sebelumnya oleh pemerintah, KPU dan DPR. Namun tetap diputuskan pilkada digelar 9 Desember 2020, dengan dua alasan. Yang pertama, pemerintah dan DPR tidak mau 270 daerah di Indonesia serentak dipimpin oleh pelaksana tugas, karena jumlah 270 itu besar. Kedua, jika ditunda karena Covid-19, sampai kapan Covid-19 ini berhenti dan tidak lagi berbahaya, sementara sampai hari ini, angka Covid-19 terus menanjak.

Dirut Indo Barometer, Mohammad Qodari meminta pemerintah dan DPR merespon serius pilkada sebagai kluster Covid-19. Mohammad Qodari menyatakan bahwa cukup dengan door to door kampanye, menggunakan alat peraga atau kampanye daring. Maka untuk menerapkan kebijakan ini perlu sanksi bagi yang melanggar.

Lebih jauh, Mohammad Qodari menyatakan pilkada 9 Desember bisa menjadi Superbig Spreader alias bom atom kasus Covid-19. Dari simulasi yang dilakukan, kata Qodari, pilkada berpotensi melahirkan kerumunan di 305.000 titik. Hal itu berdasarkan estimasi jumlah tempat pemungutan suara (TPS) dalam pilkada serentak.

Menurut kalkulasinya, jika memakai target partisipasi 77,5% oleh KPU adalah 106 juta daftar pemilih tetap (DPT) x 77,5 % = 82,15 juta orang. Jika rata-rata positif kasus Covid-19 di Indonesia mencapai 19% kasus, maka potensi orang yang terinfeksi dan menjadi agen penularan Covid-19 pada hari “H” mencapai 82,15 juta orang x 19% = 15,6 juta orang.

Sementara itu, Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono menyatakan untuk menghentikan penularan Covid-19, pihaknya akan menggelar operasi yustisi di seluruh wilayah Indonesia. Sekitar 20.000 aparat Polri dan 43.000 bhabinkamtibmas di seluruh Indonesia akan dikerahkan dalam operasi tersebut.

Selain itu, Mahfud MD menjelaskan soal perlunya dasar hukum dalam mengeluarkan dana untuk penanganan Covid-19, jika persoalan perppu Corona yang dibahas terlalu berorientasi pada ekonomi ketimbang kesehatan. Maka menurutnya dana Rp 600 triliun yang jadi kontroversi itu, praktisnya adalah dana untuk penyelamatan ekonomi bukan untuk Covid-19, karena anggarannya tidak ada dalam APBN (Terkini.id, Jakarta 13/9/2020).

Pilkada diusulkan untuk ditunda pelaksanaannya hingga berakhirnya wabah, karena terbukti terjadi banyak pelanggaran saat masa sosialisasi dan pendaftaran calon-calon yang akan maju di pilkada. Padahal, update kasus Covid-19 per Jumat 18 September 2020 pukul 12.00 WIB telah bertambah 3.891 orang, sehingga total kasus Covid-19 di Indonesia mencapai 236.519 orang terhitung sejak diumumkannya pasien pertama pada 2 Maret 2020 (Kompas.com, Jakarta, 18/9/2020). Namun aspirasi publik ini ditolak oleh pemerintah dengan berbagai alasan yang sebenarnya masalah teknis saja.

Jika memang untuk merevisi perppu penyelenggaraan pilkada ini butuh waktu lama, maka apa salahnya pemerintah membentuk panitia khusus karena kondisi darurat adanya pandemi. Dan jika tidak memungkinkan juga, maka presiden sebagai kepala negara bisa turun tangan menyelesaikan masalah ini dengan menetapkan kebijakan yang aman dan bersifat maslahat untuk kebaikan masyarakat secara umum. Mengenai kapan berakhirnya pandemi, maka hal ini bisa dikembalikan kepada fakta update kasus. Para Nakes bisa dilibatkan dalam hal ini. Membaca situasi pandemi Covid-19 ini tentunya dari sisi kesehatan. Terkait penambahan jumlah kasus, dan sebaran kasus daerah-daerah yang terdampak Covid-19. Sehingga bisa dilakukan langkah-langkah yang tepat untuk menyelesaikannya.

Hanya sayangnya, dari awal pemerintah cenderung abai terhadap kasus ini, dan hanya menerapkan sosial distancing serta PSBB, bukan karantina total wilayah awal/pusat penyebaran Covid-19. Akhirnya kasus Covid-19 semakin membesar tak terkendali karena justru wilayah sebarannya telah meluas mencakup seluruh wilayah nusantara.

Dana Covid-19 yang disediakan pun tak lepas dari penyalahgunaan anggaran karena tak ditetapkan dalam APBN. Karena orientasi dana hanya bagaimana memulihkan ekonomi maka kesehatan masyarakat pun diabaikan. Mulai dari kekurangan APD para Nakes sampai fasilitas ruangan layak bagi penderita Covid-19, semua serba minimalis. Inilah fakta logika demokrasi. Sistem yang lahir dari liberalisme kapitalisme.

Padahal dalam asasnya, demokrasi menjelaskan bahwa suara rakyat adalah penentu kebijakan, namun hakikatnya suara rakyat ini hanya akan didengar jika yang bersuara adalah rakyat kapitalis. Rakyat kapitalis yang dimaksud adalah segilintir orang yang punya modal besar dan bisa mendanai kampanye para calon pemimpin daerah ini. Meski jumlah mereka tidak banyak, tapi dalam sistem hari ini para kapitalis inilah yang mewarnai hampir sebagian besar perppu dan UU di Indonesia.

Pilkada ini hanyalah instrumen untuk semakin mengokohkan demokrasi untuk mengokohkan kedudukan para kapitalis. Kerusakan dan kedzoliman kepemimpinan yang lahir dari sistem ini tampak jelas nyata di hadapan kita. Selama bertahun-tahun, dari satu periode ke periode berikutnya, pemimpin yang satu dan yang lainnya hanyalah menjadi pemimpin boneka yang dipaksa untuk tunduk dengan aturan yang ada tanpa bisa menerapkan idealismenya.

Karena itu, pilkada ini hanyalah cara untuk memperpanjang nyawa demokrasi. Tanpa mempertimbangkan kesehatan masyarakat pilkada tetap akan digelar di tengah pandemi.
Gambaran ini sangat bertolak belakang dengan apa yang digambarkan dalam sejarah, ketika Islam diterapkan. Lebih dari 13 abad, Islam sebagai Rahmatan lil Alamin diterapkan dengan penuh keagungan dan kemuliaan.

Islam sebagai sebuah aturan yang berasal dari Pencipta manusia, Yang Maha Mengetahui segala kebaikan dan keburukan manusia. Bagaimana Islam mengatasi berbagai persoalan, termasuk penanganan terhadap wabah. Bagaimana Islam menjelaskan mekanisme pemilihan kepala daerah/gubernur. Semuanya dijelaskan secara gamblang dan tuntas, yang bisa digali dari empat sumber hukum Islam; Al Qur’an, Al Hadits, Ijma dan Qiyas. Alhasil, hanya Islam yang menyelesaikan masalah secara tuntas dengan tidak menimbulkan masalah baru. Karena Islam menjaga dan memuliakan manusia dan kehidupan secara keseluruhan.
Wallahu a’lam bishowwab

Penulis : Ronita Pabeta, S.Pd

Editor : YA