Rabiali: “Mai Te Wuna” Harus Didorong dengan Adanya Perda Riparda

La Ode Muhammad Rabiali, S.hut, M.Sc
La Ode Muhammad Rabiali, S.hut, M.Sc

TEGAS.CO,. MUNA – Petemuan Bupati Muna Rusman Emba dengan Menteri Pariwisata Dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahudin Uno beberapa waktu lalu di Jakarta kiranya patut diapresiasi. Langkah ini bukan saja terobosan untuk mewujudkan Muna sebagai salah satu destinasi wisata unggulan, melainkan juga adalah bentuk keseriusan Pemda dalam mewujudkan konsep “Mai Te Wuna” (Datang ke Muna) sebagai tagline pariwisata. Terobosan itu, harus didukung dengan desain wisata Muna yang mampu didorong untuk menjadi wilayah destinasi bergengsi nasional dan/atau paling minimal regional. Itu penting, sebab jangan sampai kebijakan yang kelak diterapkan justru tidak menumbuhkembangkan dunia investasi dan kunjungan wisata sebagaimana harapan Bupati dan masyarakat Muna.

Menanggapai tagline itu, Praktisi dan pengamat Pariwisata, Ceo NGO Karts Indonesia dan LSM GAHARU, La Ode Muhammad Rabiali, S.hut, M.Sc menyampaikan dalam mewujudkan visi Mai Te Wuna, harus didesain dan diarahkan kedalam konsep ekowisata Muna. Terminologi ekowisata ini dipandang sebagai roh dan jiwa dari setiap bentuk kegiatan wisata yang diwujudkan dalam bentuk menegakkan 7 pilar utama, yaitu: pilar ekologi, sosial budaya, ekonomi, pengalaman, kepuasan, kenangan, dan pendidikan, pada semua wilayah yang bersentuhan dan diakses oleh wisatawan untuk mendapatkan kepuasan optimum dalam berwisata.

Iklan KPU Sultra

“Pilar itu harus dilakukan melalui pendekatan ruang. Bagaimanapun juga, karateristik suatu aktivitas wisata tentu akan berbeda dari suatu tempat ke tempat yang lain meskipun sumber dayanya tergolong sama. Jika pendekatan ruang digunakan maka inplementasi ekowisata di Muna akan menjadi lebih fokus serta akan sangat mudah menuntun setiap stakeholders untuk mengkonsentrasikan dan memainkan perannya, ungkapnya. Rabu, 27/01/2021.

“Jika pendekatan ruang digunakan, maka barangkali konsep ekowisata yang bisa dipromosikan di Muna adalah Eco- Marine Tourism (Danau Napabale, Pantai Meleura dan lainnya), Eco-Spritual and Culture Tourism (Wilayah Makam Raja-Raja Muna di UP Wuna dan Masjid Muna), Eco-Cave and Karst Tourism (Goa Liang Kobori, dan kawasan KARST disekitarnya), Eco-Masalili Weafing Tourism (Tenun Masalili), dan lain sebagainya,”ujarnya

Pemerintah juga, lanjutnya, harus melakukan Studi Evaluasi dan Potensi Ekowisata pada obyek, terkait dengan sumberdaya wisata yang dimiliki. Penilaian sumber daya wisata harus dilakukan pada 7 aspek utama yang terkait, dan berasosiasi dalam suatu objek wisata, yaitu; keunikan, kelangkaan, keindahan, seasonalitas, aksesibilitas, sensitivitas, dan fungsi sosial.

“Selanjutnya, hal lain yang harus menjadi perhatian dan patut disadari oleh Pemda Muna dalam pembangunan kepariwisataan adalah bahwa ada 5 tahap kegiatan yang tak terpisahkan dalam setiap perjalanan wisata, yaitu; tahap perencanaan, perjalanan menuju destinasi, tahap kegiatan di destinasi, perjalanan pulang dari destinasi, dan tahap rekoleksi,”sambungnya.

Proses penilaian itu akan mengantarkan kita pada satu kelayakan dan tidaknya Objek Wisata Kab. Muna. Proses penyusunan Rencana Induk Pariwisata Muna yang menuangkan visi dan misi pembangunan Pariwisata Muna, strategi-strategi dan program-program yang akan diimplementasikan, yang mengacu pada potensi sumberdaya ekowisata beserta masalah dan kendala -yang terdapat di setiap objek wisata-. Untuk mewujudkan visi dan misi, maka tahapan rangkaian kegiatan selanjutnya adalah Penyusunan Rencana Induk Usaha (Master Plan of Business), Penyusunan Rencana tapak Usaha (Site Plan), Penyusunan Rancang Bangun (Design Engineering), dan Penyusunan ManagementPlan.

“Tentu ini bukan pekerjaan mudah hingga yang dibutuhkan adalah komitmen dari semua pihak yang terlibat termasuk funding. Dalam rangka membangun ekowisata Muna sebagai penjabaran Tagline Mai Te Wuna, maka kiranya Pemda Muna perlu menginisiasi perencanaan yang matang dengan model Integrated Planning. Integrated Planning dalam ekowisata dibagi dalam 5 fase, yaitu fase awal, fase analisa, fase sintesa, fase perencanaan dan fase inplementasi. Hanya saja misi itu perlu ditopang dengan pelibatan kapasitas sumberdaya manusia yang sesuai, yang mampu membangun ide kepariwisataan dengan mengintegrasikannya pada berbagai ruang ilmu dan sektoral. Sejauh ini upaya itu telah dilakukan dengan penyusunan Masterplan Pariwisata,”katanya.

Ia menambahkan kajian pada beberapa pihak terkait belum mampu membedakan antara Masterplan dan Rencana Induk yang menjadi bagian penting untuk mengakses DAK Pariwisata. Masterplan yang ada perlu direvisi, dan statusnya dikembangkan menjadi Rencana Induk Pariwisata Daerah (Riparda).

Sederhananya adalah Riparda menuangkan Pewilayahan dan/ atau klasterisasi potensi kepariwisataan dengan berbagai masalah, dan program-program, sub-sub program, sub-sub-sub program secara utuh dengan berbagai strateginya masing-masing dan lain sebaginya dengan rentang waktu 25 tahun, dan/ atau 50 tahun, sementara Masterplan merupakan induk perencanaan dalam wilayah destinasi per objek dan atau per beberapa objek dalam satu wilayah.

Turunan daripada Riparda adalah Masterplan Destinasi, dan turunan dari Masterplan Destinasi adalah dokumen Site Plan, Dokumen Penyusunan Rancang Bangun (Design Engineering), dan Dokumen Penyusunan Management Plan. Selanjutnya, Untuk mengakses DAK Pariwisata, maka RIPARDA yang ditetapkan wajib dilegitimasi oleh Perda Riparda.

“Saya pikir semua perencanaan dan dokumen itu perlu dilakukan dan disusun dalam kerangka menjadikan Kab. Muna sebagai wilayah destinasi unggulan Sultra dan Nasional, yang dengan demikian, ke depan kita tidak terjerumus dalam promosi wisata yang seperti kata pepatah indah kabar daripada rupa; yang kecenderungannya berfokus pada aspek kreatifitas desain grafis, fotografi ataupun sinematografi,”tutup Alumni Pascasarjana Program Studi Ekowisata dan Jasa Lingkungan IPB itu.

FAISAL/YA

Komentar