Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Opini

Lansia di Era Kapitalis

1127
×

Lansia di Era Kapitalis

Sebarkan artikel ini
Lansia di Era Kapitalis
Ilustrasi.

“Uang bisa dicari, ilmu bisa digali. Namun kesempatan untuk mengasihi dan menyayangi orangtua tak akan pernah terulang kembali.”

Ungkapan di atas demikian tepat untuk menggambarkan betapa kesempatan untuk mengasihi dan menyayangi kedua orangtua adalah peluang emas yang tak akan tergantikan meski oleh segepok uang dan luasnya samudera ilmu setiap diri.

Orang lanjut usia (Lansia) adalah mereka yang telah berusia lanjut dan masih dilimpahkan anugerah oleh Yang Maha Kuasa berupa nikmat usia.

Tanggal 10 Juli digagas sebagai hari lansia. Tahun ini Hari Lansia Nasional diadakan secara meriah di Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat (Monju), Kota Bandung, Rabu (10/7).

Acara ini dihadiri oleh ribuan lansia se-Jawa Barat, termasuk di antaranya perwakilan dari sejumlah daerah di Indonesia. Bahkan Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita pun menghadiri Puncak Hari Lanjut Usia Nasional (HLUN) 2019 tersebut. Kegiatan ini mengangkat tema Usia Mandiri, Sejahtera dan Bermartabat. (Republika.co.id, 10/7/2019).

Sangat disayangkan dewasa ini para lansia kerap menjadi satu golongan masyarakat yang berada pada kondisi miris. Mereka kerap tidak diperhatikan masyarakat bahkan oleh anak-anaknya sendiri. Akhirnya tak jarang sebagian dari mereka hidup dalam kondisi yang mengkhawatirkan atau jikapun ada yang cukup beruntung mereka wajib rela menghadapi masa tuanya bersepi diri di panti jompo (Werdha). Padahal Panti Werdha sendiri memiliki kemampuan terbatas khususnya yang dikelola swasta melalui yayasan.

Bertebaran fakta di masa kini dimana yayasan-yayasan yang bergerak di bidang Panti Werdha memiliki keterbatasan dalam menjalankan aktivitasnya. Mereka membutuhkan sokongan bantuan dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, masyarakat umum, wa bil khusus anak-anak dari para lansia yang dititipkan di lembaga tersebut.

Salah satu faktanya sebagaimana yang dilansir dari pikiranrakyat.com (6 Oktober 2019). “Jumlah lansia telantar yang kami tangani sebanyak 14 orang yang diurus sampai meninggal dunia,” kata pengelola Panti Werdha Bakti Pertiwi Baleendah, Dadan AS saat menerima bantuan dari Majelis Taklim Wanita Lembaga Dakwah Islam Indonesia (MTW-LDII) Kabupaten Bandung.

Kasus lansia telantar di atas adalah satu dari sekian banyak  fakta lansia yang mengalami hal serupa bahkan ada yang jauh lebih buruk lagi kondisinya. Sebagaimana yang ditambahkan oleh Dadan, lansia yang ditangani kadang diserahkan masyarakat yang merasa kasihan, namun ada pula yang dikerjakan anak-anaknya.

“Bahkan ada lansia yang masih memiliki keluarga dan anak-anaknya, tapi keluarga tak mau mengurus. Kami berupaya agar lansia yang masih memiliki keluarga untuk kembali ke keluarganya, namun kalau keluarganya tak menerima akhirnya kami urus dengan alasan kemanusiaan,” katanya.

Sebuah fakta yang sangat miris. Semestinya masa tua dimana kondisi tubuh tak lagi prima, kesehatan dan kemampuan fisik dalam melakukan berbagai aktivitas kian menurun tentu adalah sebuah kebutuhan bagi mereka untuk mendapat perlakuan yang baik dan bantuan atas setiap kebutuhan asasinya dari orang-orang terkasih yang ada di sekitarnya.

Tentu yang paling dekat adalah sosok para buah hati mereka yang sedari kecil telah diurus, dididik dan dipenuhi beragam kebutuhannya dengan penuh kasih sayang. Namun malangnya yang terjadi kini, banyak dari lansia yang ditelantarkan baik secara langsung dengan ditinggalkan, dititipkan ke Panti Werdha, bahkan yang lebih menyakitkan ada sebagiannya yang dibuang oleh anak-anaknya.

Jika dirunut terkait merebaknya fenomena ini ada benang merah antara paradigma berfikir dari individu-individu yang hidup di masa kapitalis kini. Ketika sekulerisme merebak, agama menjadi sesuatu yang makin terjauhkan dari pengurusan kehidupan. Muncullah individu-individu masyarakat yang jauh dari tata aturan agama.

Agama hanya dipakai dalam urusan ibadah mahdhah. Sementara terkait urusan akhlak, adab apalagi dimensi sosial kemasyarakatan Islami makin jauh dari kehidupan. Ditambah dengan fakta bahwa hidup di masa kapitalis dirasakan demikian sempit dan serba sulit. Segala sesuatu diukur dengan banyaknya materi yang dimiliki. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan asasi pun banyak kalangan masyarakat yang tak mampu untuk menjangkaunya.

Maka tak heran bermunculanlah pribadi-pribadi yang jauh dari kata berakhlak mulia pada orangtua. Paradigma berfikir ala kapitalis sekuler dan kesulitan hidup sistemik menjadikan orang-orang yang hidup di masa kini cenderung berfikir pendek.

Mereka tak takut akan azab Allah ketika menelantarkan orangtua, lupa akan jasa dan curahan kasih sayang ayah ibu mereka. Mereka cenderung berani meninggalkan dan menelantarkan orang yang demikian berjasa bagi hidup mereka.

Sangat berbeda dengan paradigma Islam dalam memandang sosok orangtua. Para lansia jika masih memiliki kekuatan fisik maka mereka akan bersama-sama dengan kaum muda untuk mendedikasikan dirinya dalam rangka taat akan aturan-Nya. Bahkan tak sedikit para sahabat Rasul Saw yang berusia lanjut, mereka masih demikian produktif dalam kancah jihad fisabilillah.

Ibnu Jarir berkata dari Hibban bin Zaid asy-Syar’abi, ia berkata, “Kami pernah ikut berjihad bersama Shafwan bin ‘Amr yang saat itu sebagai pemimpin daerah Himsh, dari Afsus hingga al-Jarajimah. Tiba-tiba aku melihat orang tua renta yang kedua alisnya sudah jatuh ke matanya (menunjukkan sangat tua). Ia penduduk Damaskus yang sedang berada di atas tunggangannya di antara orang-orang yang akan menyerang.”

Aku pun menemuinya dan bertanya, “Wahai paman, sesungguhnya Allah menerima alasanmu (untuk tidak ikut jihad).” Ia berkata -sedangkan kedua alisnya menjadi tegak, “Wahai keponakanku, Allah telah menuntut kita pergi jihad, baik dalam keadaan ringan maupun berat. Ketahuilah barangsiapa yang dicintai Allah, niscaya Allah akan mengujinya, kemudian mengembalikannya (kepada Allah), dan mengekalkannya (di Surga-Nya). Sesungguhnya orang yang diuji Allah di antara hamba-hambanya adalah orang yang bersyukur, bersabar, dan berzikir, serta ia tidak beribadah melainkan hanya kepada Allah SWT saja.”

Sementara bagi yang sudah lemah karena usia maka Islam memandang bahwa mereka wajib mendapat perlakuan dan pengurusan terbaik dari anak-anaknya.

Islam memandang kedudukan memuliakan orangtua bagi seorang muslim adalah jalan yang haq dalam menggapai rida Allah ‘Azza wa Jalla melalui orang tua adalah birrul walidain (berbakti pada kedua orangtua). Hal ini merupakan salah satu masalah penting dalam Islam. Di dalam Alquran, setelah memerintahkan manusia untuk bertauhid, Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan untuk berbakti kepada orangtuanya.

Seperti tersurat dalam surat al-Israa’ ayat 23-24, Allah Ta’ala berfirman:

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

Artinya: “Dan Rabb-mu telah memerintahkan agar kamu jangan beribadah melainkan hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Ya Rabb-ku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku di waktu kecil’.” (al-Israa’: 23-24)

Jika mereka tidak memiliki keturunan Islam memberi jaminan atas mereka untuk bisa menikmati masa tuanya dengan penuh ketenangan.

Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, negara memberikan ‘keamanan sosial’ bagi orang lanjut usia yang berasal dari kas publik. Hal ini karena pemerintahan dalam pandangan Islam (Daulah Khilafah Islam) wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan asasi setiap individu masyarakat dari segi sandang, pangan, papan. Juga kebutuhan kolektif masyarakat berupa keamanan, pendidikan dan kesehatan.

Dengan mekanisme yang merujuk pada hukum syara negara akan mampu memberi jaminan tersebut dengan penuh kesungguhan dan semangat Lillahi ta’ala.

Sungguh amat berbeda kondisi para lansia di era kapitalis dengan di masa ketika Islam menjadi pedoman dalam setiap sendi kehidupan. Dan kesempurnaan syariat Islam hanya dapat tegak jika diwujudkan dalam naungan Daulah Khilafah Islam yang mengikuti manhaj Nabi Saw. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

YULIYATI SAMBAS