Example floating
Example floating
Opini

Habis Gelap Teranglah Jalan Menuju Liberalisasi

797
×

Habis Gelap Teranglah Jalan Menuju Liberalisasi

Sebarkan artikel ini
Habis Gelap Teranglah Jalan Menuju Liberalisasi
Ilustrasi

Pertumbuhan penduduk dan ekonomi membuat permintaan pasokan listrik terus meningkat. Di era globalisasi saat ini, kebutuhan akan sumber daya listrik sudah menjadi kebutuhan primer bagi setiap manusia.

Disamping kebutuhan primer lainnya listrik sesungguhnya memiliki peranan sangat penting dalam menggerakkan setiap aktivitas manusia, terutama dalam menggerakkan roda perekonomian. Tanpa adanya sumber energi listrik kita tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kehidupan manusia di masa kini dan mendatang.

Tidak ada yang pernah menyangka, bahwa di tahun 2019 ini saat pembangkit baru terus bertambah dan rasio elektrivitas semakin meningkat, masih bisa terjadi pemadam listrik massal. Kejadian ini menimpa pulau Jawa dan DKI Jakarta.

Kawasan yang berkali-kali ditegaskan oleh PT PLN (Persero) memiliki cadangan listrik berlimpah dan disokong dengan sistem kelistrikan yang handal. Namun, pada minggu siang semua kedigdayaan setrum yang pernah dijanjikan tersebut tak berarti apa-apa. Pemadaman listrik massal terjadi di kawasan Jabodetabek. Diketahui kemudian, sebagian wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah ikut terdampak. (CNCB Indonesia, 5/8/2019).

Dalam hitungan menit, pemadaman ini sangat berdampak kepada dua sektor yang paling krusial dalam ekonomi yakni transportasi dan komunikasi. Transportasi menjadi berantakan dengan rambu-rambu yang tak berfungsi di beberapa titik jalan raya, layanan moda transportasi online yang menjadi andalan ikut tak berdaya karena sinyal komunikasi tidak ada. Setidaknya tiga provider besar (Indosat, Telkomsel, dan XL Axiata) mengaku terganggu layanan akibat pemadaman listrik. (CNCB Indonesia, 5/8/2019).

Menurut catatan CNCB Indonesia, peristiwa pemadaman ini termasuk tragedi besar di sektor kelistrikan. Sripeni, Plt Direktur Utama PT PLN (Persero) menjelaskan kejadian seperti ini pernah terjadi di tahun 1997, yakni terjadi black-out Jawa-Bali. Setelah itu, September 2008 terjadi persial di Grati area Paiton, saat itu terjadi tegangan ekstra tinggi.

Kemudian pada 18 Agustus 2005, pasokan listrik di Jawa-Bali pernah mendadak putus, penyebabnya adalah kerusakan jaringan transmisi Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) 500 ku Saguling, Cibinong, dan Cilegon. Ini membuat sistem kehilangan pasokan hampir 50 persen.

Sederetan fakta di atas menunjukkan bukti kegagalan negara dalam pelayanan terhadap kebutuhan vital rakyatnya. Di Indonesia, melalui UU No 15 tahun 1985 tentang ketenagalistrikan pemerintah telah mengamantkan PLN sebagai satu-satunya BUMN Pemegang Kuasa Ketenagalistrikan (PKUK) untuk memenuhi ketersediaan energi listrik. Dengan UU ini PLN bertindak untuk dan atas nama pemerintah Indonesia dalam melaksanakan fungsi pelayanan umum di bidang ketenagalistrikan (baik sosial maupun komersial).

Kegagalan negara dalam menjaga kestabilan pemenuhan energi  dalam negeri bisa berdampak buruk terhadap keberlangsungan kehidupan negara. Apabila kebutuhan energi listrik tidak mampu terpenuhi oleh mekanisme yang berasal dari dalam negeri, maka negara seolah mempunyai alibi untuk menambah mekanisme baru dengan mengundang (pengusaha) kelistrikan dari negara lain untuk memenuhinya.

Akibat yang paling fatal dengan ketergantungan ini bisa menggadaikan kemandirian dalam negeri kepada asing. Bahkan pada titik tertentu bisa dijadikan alat politik untuk mewujudkan tujuan-tujuan tertentu dari pihak asing hingga merubah sistem di suatu negara.        

Maka dengan munculnya kasus besar di dunia kelistrikan ini diduga kuat akan menjadikan jalan terang untuk proses liberalisasi kelistrikan makin sempurna. Dampaknya akan menjadikan kemandirian dan kedaulatan negara ada pada posisi terancam.

Di sisi lain, bahwa masyarakat sebagai user listrik akan dijadikan objek kapitalisasi hajat hidup primer yang semestinya mereka dapatkan sebagai bentuk pengurusan penguasa. Inilah buah dari paradigma kapital sekuler yang dianut dan dipertahankan bangsa ini.

Dalam pandangan Islam, sumber energi yang digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik yang sebagiannya berasal dari tambang yang depositnya besar seperti migas dan batu bara termasuk ke dalam kepemilikan umum. Karena merupakan kepemilikan umum, barang tambang migas dan batu bara tidak boleh dikomersilkan pengelolaannya dan juga hasilnya.

Barang tambang ini harus dikelola oleh pemerintah dan hasilnya dikembalikan sepenuhnya untuk memenuhi kepentingan rakyat. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:

“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api.” (HR. Abu Daud)

Listrik merupakan bentuk dari api (energi) termasuk dari sisi penyediaan tiang listrik, gardu, mesin pembangkit dan sebagainya.

Oleh karenanya, pengelolaan listrik wajib dimotori negara untuk menghasilkan energi listrik sehingga bisa sampai ke rumah setiap warga. Negara juga wajib menyediakan listrik secara cukup dan berkeadilan baik untuk yang kaya maupun yang miskin, baik muslim maupun non muslim. Sehingga mampu dirasakan serta dinikmati oleh seluruh rakyat dengan biaya murah bahkan gratis, dan rakyat bisa terlayani dengan baik.

Dengan kebijakan liberalisasi migas dan listrik selain menyusahkan rakyat dan menyenangkan kapital dan asing, jelas telah menyalahi syariah. Meskipun harga BBM, gas, dan listrik diturunkan, kebijakannya tetap berpaling dari petunjuk Allah Swt jika masih menggunakan konsep liberalisasi yang notabene merupakan produk dari kehidupan sekuler.

Alhasil, pengelolaan migas dan listrik haruslah dikelola sesuai dengan ketentuan syariah. Dan ini hanya bisa sempurna dilakukan di bawah naungan sistem khilafah ar-Rasyidah. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

INE WULANSARI

Terima kasih