Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Opini

Menyoal Polemik RUU KPK

716
×

Menyoal Polemik RUU KPK

Sebarkan artikel ini
Menyoal Polemik RUU KPK
Hamsina Halisi Alfatih.

Pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menuai kontroversi. Gerakan penolakan terhadap revisi UU KPK bergulir hingga daerah.

Salah satu pergerakan penolakan Revisi UU KPK datang dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang berunjuk rasa di kantor sekretariat DPRD Sultra. ( DetikSultra.com, 19/09/19).

Revisi UU KPK  yang telah disahkan oleh DPR dan pemerintah dinilai sewenang-wenang dan dianggap sebagai penghianat rakyat. Dalam beberapa pasal yang dianggap kontroversi ialah pasal 3, pasal 12b, pasal, 37a, pasal 40 dan pasal 47.

Pengesahan RUU KPK tersebut pula dinilai semakin menguntungkan para koruptor, sebab salah dalam draf Revisi UU KPK tersebut disebutkan “Penyadapan hanya dapat dilakukan setelah ada izin dari Dewan Pengawas”. Artinya, setiap penyadapan yang hendak dilakukan oleh KPK harus melalui izin Dewan Pengawas terlebih dahulu.

Dengan kata lain pula, jika ada elit politik yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi KPK pun tidak serta merta langsung melakukan tindakan penangkapan. Karena hal tersebut harus melalui izin Dewan Pengawas.

Lantas RUU KPK dibuat sebenarnya untuk apa? Dan mengapa DPR seolah-olah ingin melemahkan KPK? Hal ini tentu menimbulkan keresahan publik sehingga mempertanyakan kebijakan DPR yang sewenang-wenang dalam merevisi undang-undang yang justru memanjakan elit politik yang terlibat korupsi.

Revisi terhadap UU tentang KPK bukanlah barang baru, karena sejak tahun 2010 pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)  usulan revisi UU tentang KPK sudah dibahas sebelumnya oleh DPR. Walaupun demikian karena kuatnya tekanan publik akhirnya rencana revisi UU tersebut dihentikan.

Namun dalam era kepemimpinan presiden Joko Widodo periode pertama wacana revisi UU KPK kembali mencuat. Proses tarik-ulur revisi UU KPK pada era Jokowi jauh lebih kencang. Selama 2015, revisi UU KPK dua kali mencuat.

Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), DPR sepakat revisi UU KPK termasuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016 Prioritas pada 26 Januari 2016. Saat itu hanya Fraksi Gerindra yang menolak revisi, lalu Fraksi Demokrat dan PKS. Upaya revisi UU KPK kembali redup hingga muncul lagi pada periode 2017: DPR membentuk panitia khusus (pansus) hak angket terhadap KPK, lalu muncul lagi sebagai salah satu rekomendasi.

Beberapa hal yang telah disepakati mengenai perubahan menyangkut antara lain terkait penyadapan, keberadaan dewan pengawas, kewenangan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3), dan status kepegawaian KPK.

2 tahun tanpa pengesahan wacana revisi UU KPK kembali muncul setelah sekian lama mengendap di DPR. Bak operasi senyap, tiba-tiba saja DPR mengagendakan rapat paripurna pada Kamis (5/9/2019) untuk membahas usulan Badan Legislasi atas revisi UU KPK. Sekiranya ada 6 partai pendukung Jokowi yang melatarbelakangi di revisinya RUU KPK tersebut.

Dalam menyikapi polemik RUU KPK, telah kita ketahui bersama perubahan terkait perundang-undangan tak lepas dari adanya kepentingan elit politik. Tentu hal ini dimaksudkan agar eksistensi mereka tidak terusik apalagi elit-elit politik yang berpotensi menjadi koruptor.

Maka dengan adanya revisi Undang-undang KPK inilah yang akan semakin membuka ruang bebas bagi para pelaku koruptor dalam melancarkan aksinya. Jangankan tanpa direvisi, tindak pidana korupsi saja semakin merajalela ditubuh para elit politik apalagi setelah disahkannya RUU tersebut.

Maka bisa dibayangkan, bagaimana nasib bangsa ini kedepannya. Terlebih lagi ketika dilemahkan KPK yang seharusnya menjadi badan independen dalam memberantas korupsi.

Terlepas dari polemik RUU KPK, faktor yang menjadi permasalahan saat ini adalah keberadaan sistem demokrasi sekulerisme. Dari penerapan sistem inilah yang menyebabkan banyaknya ketimpangan atas permasalahan bangsa yang merembes pada kehidupan masyarakat.

Yang mana hal ini pula merupakan akibat dari kebijakan pemerintah yang sewenang-wenang dalam membuat aturan. Sehingga maraknya kasus korupsi yang tak hanya melibatkan elit-elit politik bahkan hingga merambah sampai ketubuh aparat kepolisian dan masyarakat.Korupsi inilah yang merupakan penyakit yang menjadikan bangsa kita tetap miskin ini telah menggurita, menjadi budaya dan trend dimasyarakat kita.

Bahkan hingga sampai pergantian pemimpin semenjak lengsernya Soeharto pada pasca reformasi 1998, korupsi tetap tumbuh subur dinegri ini.

Sudah berapa kali kasus korupsi terbongkar dan menyeret sejumlah nama dari kalangan politisi, pejabat serta penegak hukum. Kasus terakhir yang ramai menghiasi media adalah kasus korupsi dana hibah Komite Olahraga Nasional ( KONI) 2018 yang menyeret Imam Nahrawi.

Mengapa hal ini bisa terjadi, karena persoalan pokoknya adalah sistem sekulerisme yang diterapkan dalam menggelola negeri ini. Ibaratnya, casing terus gonta-ganti, namun smartphone usang dan penyakitan dibiarkan saja, maka tetap saja krisis multi dimensi tak kunjungi selesai. Sekulerisme telah gagal mengantarkan negeri ini tumbuh maju dan memberikan kesejahteraan kepada warganya.

Maka sudah saatnya kita berfikir kedepan dengan mengambil sistem alternatif yang mampu mengubah kehidupan umat manusia saat ini. Sebuah sistem yang mampu memberangus ketimpangan atas problematika umat yang tak kunjung selesai. Sistem yang tak lain adalah islam yang mampu memberi solusi dalam memberantas kasus korupsi.

Dalam sistem Islam, salah satu pilar penting dalam mencegah korupsi ialah di tempuh dengan menggunakan sistem pengawasan yang bagus.

Pertama, pengawasan yang dilakukan oleh individu. Kedua, pengawasan dari kelompok. Ketiga, pengawasan oleh negara. Dengan sistem pengawasan ekstra ketat seperti ini tentu akan membuat peluang terjadinya korupsi menjadi semakin kecil, karena sangat sedikit ruang untuk melakukan korupsi.

Selain itu diberlakukannya juga seperangkat hukuman pidana yang keras, hal ini bertujuan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku dan pencegah bagi calon pelaku. Sistem sanksi yang berupa ta’zir bertindak sebagai penebus dosa (al-jawabir), sehingga mendorong para pelakunya untuk bertobat dan menyerahkan diri. Hal inilah yang tidak dimiliki oleh sistem yang diterapkan sekarang.

Itulah strategi Islam dalam pemberantasan korupsi, ini memang harus diterapkan secara menyeluruh, tidak sebagian-bagian demi sempurnanya kemaslahatan yang diinginkan. Karenanya, bersegeralah  untuk menerapkan Islam secara kaffah.

Ini bukan tentang menolak RUU KPK maupun mendukung atau tidak mendukung KPK. Namun ini tentang kenyataan yang terjadi didepan mata saat ini. Hanya aturan islamlah yang paling efektif dalam memberantas korupsi.

Allah Subhanahu wata’ala berfirman:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik hukumnya bagi orang-orang yang yakin? (QS. Al-Maidah: 50). Wallahu a’lam bi ash-shawab.

HAMSINA HALISI ALFATIH