Example floating
Example floating
Opini

Ketika Tindakan Korupsi Adalah Kewajaran, Bukan Rendahan

1046
×

Ketika Tindakan Korupsi Adalah Kewajaran, Bukan Rendahan

Sebarkan artikel ini

Oleh: Erni Yuwana (Aktivis Muslimah)

“Ketika di masa Orde Lama, Korupsi dilakukan  di bawah meja. Ketika Orde Baru, Korupsi dilakukan di atas Meja. Ketika era Reformasi di zaman now, justeru semua yang berada di bawah Meja, maupun yang berada di atas Meja, bahkan termasuk mejanya sekalipun akan tetap dikorupsi.” Pepatah itu tampak benar adanya di negeri ini.

Urat malu pejabat dan penguasa seolah telah putus. Para koruptor masih bisa mengumbar tawa lebar di depan kamera meski kedua tangannya dalam keadaan diborgol oleh KPK. Perilaku dan mentalitas seperti ini menjadi salah satu indikator yang menggambarkan bahwa elit Pejabat dan Politisi di negeri ini mengalami dekadensi moral yang berat, bahkan mungkin mengalami sakit jiwa yang menahun. Status koruptor bukan menjadi status rendahan dan hina yang melukai harga diri, namun status yang menjadi kewajaran. Atau mungkin, karena negeri ini sudah menjadi surga koruptor yang ramah akan kasus korupsi, sehingga tak ada rasa takut lagi.

Tindakan Kejahatan Korupsi yang dilakukan oleh Pejabat Negara, hampir tidak pernah berhenti, meski sudah berulang kali ditangkap oleh KPK dan dijebloskan ke dalam penjara. Menurut survei PERC tahun 2010 (Political & Economic Risk Consultancy), Indonesia dinobatkan menjadi Negara paling korup se Asia-Pasifik. Dalam riset global barometer 2009 oleh Tranparancy International (TI) korupsi tertinggi adalah di parlemen dengan skor : 4,4. Kemudian peringkat kedua institusi peradilan skornya: 4,1, sementara itu Parpol bertengger di urutan ketiga (4,0), pegawai public (4,0), disusul sektor bisnis (3,2).

Sedangkan urutan daerah terkorup peringkat 1-8 diduduki oleh Kupang, Tegal, Manokwari, Kendari, Purwokerto, Pekanbaru, Padang Sidempuan dan bandung. (klik-galamedia.com 27/02/2009)

Bagaimanapun, lembaga sekelas KPK tidak akan mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat dalam memberantas korupsi. Hanya sedikit yang mempu terungkap ke permukaan, itupun dalam pelaksanaanya selama ini masih tebang pilih. Ada beberapa pihak yang masih kebal terhadap penyidikan KPK.

Pelaku korupsi yang tertangkap hanya sebagian yang kemudian dipidanakan atau paling banter cuma divonis dengan sanksi yang sangat ringan oleh lembaga peradilan. Bahkan banyak pelaku korupsi kelas kakap yang sekarang ini masih bebas berkeliaran di luar negeri. Sistem pencegahan (preventif) dan sistem efek jera pun juga tidak berjalan. Padahal keduanya merupakan faktor penting dalam memberantas korupsi.

Untuk menuju Indonesia yang bersih, satu-satunya solusi yang efektif adalah dengan syariah Islam. Dalam sistem Islam, negara akan memberikan edukasi untuk meningkatkan ketakwaan individu, mendorong kaum muslimin untuk taat pada Allah dan Rasulnya. Selain itu juga menanamkan pada jiwa setiap pemimpin dan pejabat bahwa jabatan bukan bisnis. Jabatan bukan perkara keuntungan dan laba. Jabatan adalah amanah dari Allah untuk melayani urusan umat. Jabatan adalah pelayan umat. Tidak lebih dari itu.

Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, terselip perangai indah berakhlak langit. Saat itu, Khalifah sedang sibuk dengan tugas kenegaraan. Tak dinyana, putranya masuk ruangan dan hendak membericarakan sesuatu. ”Untuk urusan apa putraku datang ke sini? urusan negarakah atau keluargakah?” tanya Umar. ”Urusan keluarga, ayahanda,” jawab si anak. Tiba-tiba Umar mematikan lampu penerang di atas mejanya. Seketika suasana menjadi gelap. ”Kenapa ayah memadamkan lampu itu?” tanya putranya merasa heran. ”Putraku, lampu yang sedang ayah pakai bekerja ini milik negara. Minyak yang digunakan juga dibeli dengan uang negara. Sementara perkara yang akan kita bahas adalah urusan keluarga,” jelas Umar. Umar kemudian meminta pembantunya mengambil lampu dari ruang dalam. “Nah, sekarang lampu yang kita nyalakan ini adalah milik keluarga kita. Minyaknya pun dibeli dengan uang kita sendiri. Silakan putraku memulai pembicaraan dengan ayah.” Begitulah perangai pejabat sejati.

Selain pembinaan ketaqwaan yang luar biasa, diberlakukan juga seperangkat hukuman pidana yang keras. Hal ini bertujuan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku dan pencegah bagi calon pelaku. Sistem sanksi yang berupa ta’zir bertindak sebagai penebus dosa (al-jawabir), sehingga mendorong para pelakunya untuk bertobat dan menyerahkan diri. Hal inilah yang tidak dimiliki oleh sistem yang diterapkan sekarang.

Sistem Islam juga sangat memperhatikan kesejahteraan para pegawainya dengan cara menerapkan sistem penggajian yang layak. Rasulullah SAW bersabda: “Siapapun yang menjadi pegawai kami hendaklah mengambil seorang istri, jika tidak memiliki pelayan , hendaklah mengambil seorang pelayan, jika tidak mempunyai tempat tinggal hendaknya mengambil rumah. (HR. Abu Dawud). Dengan terpenuhinya segala kebutuhan mereka, tentunya hal ini akan cukup menekan terjadinya tindakan korupsi.

Kemudian, untuk menghindari membengkaknya harta kekayaan para pegawai, sistem Islam juga melakukan penghitungan harta kekayaan. Pada masa kekhilafahan Umar Bin khatab, hal ini rutin dilakukan. Beliau selalu menghitung harta kekayaan para pegawainya seperti para Gubenur dan Amil.

Sedangkan dalam upayanya untuk menghindari terjadinya kasus suap dalam berbagai modusnya, sistem Islam melarang pejabat Negara atau pegawai untuk menerima hadiah. Bisa kita lihat, pada masa sekarang ini banyak diantara pejabat/pegawai, ketika mereka melaporkan harta kekayaanya, kemudian banyak ditemukan harta yang tidak wajar, mereka menggunakan dalih mendapatkan hibah. Kasus seperti ini tidak akan terjadi dalam sistem Islam. Rasulullah SAW bersabda: “Siapa saja yang kami (Negara) beri tugas untuk melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami beri rezeki (upah/gaji), maka apa yang diambil olehnya selain (upah/gaji) itu adalah kecurangan. (HR. Abu Dawud).

Itulah strategi Islam dalam pemberantasan korupsi yang mengharuskan penerapan menyeluruh, tidak sebagian-bagian, demi sempurnanya kemaslahatan umat. Karenanya, bersegeralah Indonesia untuk menerapkan Islam secara kaffah. Ini bukan tentang mendukung atau tidak mendukung KPK, namun ini tentang realita yang ada di depan mata, juga tentang keimanan yang menancap di dalam dada.

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik hukumnya bagi orang-orang yang yakin? (QS. Al-Maidah: 50).

Wallahu a’lam bi ash-shawab