Example floating
Example floating
Opini

Tolak RUU Omnibus Law!

2337
×

Tolak RUU Omnibus Law!

Sebarkan artikel ini
Tolak RUU Omnibus Law!
Spanduk Penolakan Omnibuslaw

Badan Eksekutif Mahasiwa (BEM) Universitas Majalengka (UNMA) menyatakan menolak terhadap RUU Omnibus Law. Mereka menganggap, RUU tersebut tidak prorakyat.

Ketua BEM UNMA, M. Yusril Amin menegaskan, langkah Pemerintah dalam merampingkan UU menjadi Omnibus Law belakangan justru tidak mencerminkan semangat keberpihakan pemerintah terhadap nasib rakyat. (Tinta Hijau, 29/2/2020)

Memang, salah satu peristiwa penting di Tanah Air yang cukup banyak menyita perhatian kita hari ini adalah pembahasan Omnibus Law. Omnibus Law adalah semacam UU ‘sapujagat’. Pasalnya, Omnibus Law menggabungkan beberapa peraturan yang substansi pengaturannya berbeda menjadi satu peraturan dalam satu payung hukum (UU).

Pemerintahan Presiden Jokowi mengidentifikasi sedikitnya ada 74 UU yang terdampak dari Omnibus Law. Salah satunya, yang paling banyak memicu protes kaum buruh, adalah sektor ketenagakerjaan, yakni RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka). Di sektor ketenagakerjaan, Pemerintah berencana menghapus, mengubah dan menambah pasal terkait dengan UU Ketenagakerjaan (money.kompas.com, 18/02/2020).

Yang menjadi soal, banyak pengamat mensinyalir Omnibus Law tak lebih merupakan UU ‘pesanan’ dari para pengusaha atau para pemilik modal. Faktanya, Omnibus Law ini, oleh banyak pengamat, disinyalir banyak memberikan kemudahan kepada para pengusaha dan pemilik modal untuk lebih leluasa menguasai sumber-sumber kekayaan alam negeri ini.

Omnibus Law ini tidak banyak berpihak kepada kesejahteraan rakyat, termasuk para buruh. Misal, dengan dalih demi kemudahan investasi, ditengarai ada pasal-pasal dalam Omnibus Law yang menghapus sertifikasi halal dan perda syariah, penghapusan upah minimum, penghapusan aneka cuti (seperti cuti nikah, haid, melahirkan, ibadah dan cuti keluarga wafat), penghapusan izin lingkungan dan amdal, dan lain-lain.

Lebih dari itu, Omnibus Law ini dituding memberikan kewenangan yang terlalu luas kepada Presiden. Di antaranya, Presiden berwenang mengubah UU hanya melalui PP (Peraturan Pemerintah). Setelah ketahuan oleh publik, pasal tentang kewenangan Presiden tersebut diklaim hanya ‘salah ketik’.

Namun demikian, hal itu tidak menutupi kecurigaan bahwa melalui Omnibus Law ini ke depan Presiden akan makin otoriter. Apalagi pembahasan Omnibus Law yang menentukan nasib ratusan juta rakyat negeri ini terkesan diam-diam dan dirahasiakan oleh Pemerintah. Tidak melibatkan publik sama sekali.

Jika benar tudingan bahwa Omnibus Law merupakan ‘pesanan’ para pengusaha dan pemilik modal, maka hal demikian hanya membenarkan pengakuan Ketua MPR-RI, Bambang Soesatyo (Bamsoet), baru-baru ini. Intinya menyebut bahwa Indonesia sudah lama dikuasai oleh para pemilik modal. Ia menyebut pemodal cukup merogoh ongkos Rp 1 Triliun untuk menguasai partai politik di Indonesia. Menurut Bamsoet, nominal itu berdasarkan pengalamannya selama berkiprah di dunia politik di Indonesia.

“Semahal-mahalnya Rp 1 Triliun sudah bisa menguasai partai politik. Ini pengalaman. Boleh dibantah atau tidak, tapi inilah kenyataan sistem yang masih dipertahankan,” ungkapnya, Senin (17/2) di Jakarta.

Ia pun menerangkan perselingkuhan penguasa dengan pemilik modal bisa saja mewakili kepentingan asing. Bahkan yang lebih parah, pemilik modal melalui orang-orangnya bisa mempengaruhi kebijakan partai politik.

“Jika partai politik dikuasai maka dia akan menguasai Parlemen. Jika dia kuasai Parlemen maka dia akan kuasai pasar-pasar dan sumberdaya alam kita. Dialah yang berhak mengusung siapa pemimpin kita, presiden kita, bupati kita, gubernur dan walikota, karena sistem yang kita punya,” tambahnya.

Menurut Bamsoet pula, perselingkuhan penguasa dengan pemilik modal dan kepentingan asing membuat distribusi keadilan sosial maupun ekonomi menjadi jomplang. Akibatnya, hanya segelintir orang yang menikmati kue pembangunan, sedangkan yang lain terpinggirkan (Mediaindonesia.com, 17/02/2020).

Dalam bahasa yang lebih lugas, Bamsoet seolah ingin mengatakan parpol dan para pejabat kita sesungguhnya tidak lebih hanya sekadar proxy, boneka dari para pemilik modal. Mereka adalah orang-orang yang dimodali untuk menjalankan agenda kepentingan para pemilik modal. Urusannya tidak jauh-jauh dari penguasaan sumberdaya alam dan ekonomi melalui politik kekuasaan. Salah satunya melalui pembuatan Omnibus Law. Wajar jika Omnibus Law lebih banyak berpihak kepada para pemilik modal ketimbang pada kepentingan rakyat banyak.

Dari paparan singkat di atas, jelas bahwa sistem demokrasi selama ini hanya melahirkan oligarkhi serta perselingkuhan penguasa dan pengusaha (para pemilik modal). Dampaknya, demokrasi sesungguhnya hanya melahirkan diktator minoritas. Mereka adalah sekelompok kecil penguasa dan para pemilik modal tersebut. Merekalah sejatinya yang memaksakan pemberlakuan UU dan kebijakan semata-mata untuk memenuhi ambisi dan kepentingan mereka. Bukan demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat.

Wallahua’lam.

Oleh: Tawati (Muslimah Revowriter Majalengka)