Example floating
Example floating
Opini

Tarik Ulur RUU Ketahanan Keluarga

993
×

Tarik Ulur RUU Ketahanan Keluarga

Sebarkan artikel ini

Mia Annisa (Ibu Rumah Tangga)

Kemunculan RUU Ketahanan Keluarga menuai kontra dari para pegiat gender. Pasalnya RUU ini disinyalir malah mengakomodir salah satu kepentingan agama tertentu. RUU yang masuk ke dalam satu Prolegnas Prioritas 2020 tersebut merupakan inisiasi dari para anggota dewan yaitu Sodik Mudhajid dari Fraksi Partai Gerindra, Netty Prasetiyani dan Ledia Hanifa dari Fraksi PKS, Endang Maria Astuti dari Fraksi Partai Golkar, serta Ali Taher dari Fraksi PAN.

Beberapa pasal RUU tersebut dianggap bermasalah. Pada pasal 25 tercantum pembagian kerja antara suami dan istri yang hendak diatur oleh negara. Dari pasal tersebut menegaskan jika suami harus betul-betul menjalakan perannya sebagai  kepala keluarga yang memiliki tanggung jawab lebih dan istri fokus menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga dan pendidik bagi anak-anak. 

Pada pasal 31 ayat 1 RUU juga melarang adanya donor sperma di luar hubungan pernikahan yang sah untuk diperjualbelikan dengan ancaman pidana berupa penjara tercantum pada pasal 139 dan pasal 140 tanpa alasan apapun yang dibenarkan, apakah karena kebutuhan biologis atau alasan kesehatan.

Tak berhenti pada 2 pasal di atas yang dinilai sebagai “pasal bermasalah” salah satunya tentang ‘penyimpangan seksual’. Dalam bab penjelasan, ada empat perbuatan yang dikategorikan sebagai penyimpangan, di antaranya ialah homoseksualitas atau hubungan sesama jenis, juga sadisme, masokisme, dan inses.

Dikatakan jika ada anggota keluarga yang mengalami krisis keluarga karena penyimpangan seksual wajib untuk melaporkannya kepada badan/pihak yang menangani ketahanan keluarga atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan. Hal ini tertuang pada pasal 86 dan dilanjutkan pada pasal 87 menyebut: “Setiap orang dewasa yang mengalami penyimpangan seksual wajib melaporkan diri kepada badan yang menangani ketahanan keluarga atau lembaga rehabilitasi untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan.

Demokrasi Melarang Peran Negara dalam Ranah Privat

Dari para penentangnya, segerombolan pejuang HAM, pasal-pasal tersebut dikatakan pasal yang sangat brutal karena telah melibatkan negara turut serta dalam urusan pribadi warga negaranya. Sehingga mereka bersikukuh agar pemerintah tidak meloloskan RUU ini menjadi Undang-Undang 

Kontroversi RUU Ketahanan Keluarga juga jadi tarik ulur di parlemen senayan.

Dikutip dari–Tito.id. NasDem partai terdepan yang lantang menolak RUU ini diwakili oleh Lestari Mordijat. Ia menilai tidak perlu ada karena terlalu mengintervensi entitas keluarga yang masuk ke ranah privat. “RUU Ketahanan Keluarga mestinya tidak tendensius. RUU ini mengabaikan HAM sekaligus melegitimasi posisi perempuan sebagai tiyang wingking (orang yang di belakang/manusia kelas dua). Banyak persoalan bangsa dan negara yang lebih mendesak untuk diatur. Persoalan privat dalam pandangan saya tidak perlu diatur oleh negara,”

Bahkan Golkar bersama Gerindra yang diawal menerima RUU Ketahanan Keluarga belakangan mencabut dukungannya setelah draft RUU diusulkan oleh salah satu dewan dari fraksi yang sama yaitu Endang Maria Astuti. Nurul Arifin sebagai Anggota Badan Legislasi fraksi DPR RI dari Golkar, mengaku kecolongan dan mencabut dukungan sebagai salah satu pengusul dalam RUU Ketahanan Keluarga.

Bisa dipahami apa yang diperjuangkan para pengasong demokrasi menolak RUU Ketahanan Keluarga nampak sekali aroma sekulerisme-liberalisasi di dalamnya. Pertama, dengan alasan kesetaraan gender atau emansiapasi wanita tetap memelihara kaum perempuan lebih menyibukkan diri di luar rumah mereka dari pada menjadi istri dan menjauhkan tugas ibu bagi anak-anaknya. Menampilkan sosok perempuan yang ideal menurut kacamata sekuler-kapitalis.

Kedua, melanggengkan free seks dan gaya hidup bebas warisan barat tetap terpelihara. Demi merusak para generasi muslim dan juga melupakan mereka dari aktivitas dakwah dan perjuangan sehingga pemuda-pemudinya tetap dalam dalam dekapan syawat.

Ketiga, munculnya draft RUU Ketahanan Keluarga yang juga menyasar para pelaku LGBT juga membuat kaum pelangi berikut pembelanya ketar-ketir sehingga sebisa mungkin menjegal RUU ini gagal lolos menjadi Undang-Undang. Dengan berbagai dalih bahwa para perilaku seks menyimpang atau LGBT juga manusia yang juga perlu mendapatkan hak-hak sama sebagaimana manusia normal lainnya.

Dalam sistem demokrasi sangat wajar dirasakan terjadi tarik ulur berbagai aturan-aturan yang jlimet bahkan jika aturan itu bertentangan dengan sekelompok elit penguasa. Bagaimana demokrasi dari bentukannya mencoba mengeliminir keterlibatan peran negara tak hanya disektor publik bahkan sampai ke ranah privat. Sistem ini sudah membuktikan bahwa negara tak berkutik jika di bawah kepentingan. Negara juga telah kehilangan fungsinya tak hanya sebagai pengatur urusan rakyat tapi juga pelindung keluarga sebagai benteng pertama melahirkan dan pencetak para generasi khairu ummah.

Sepanjang sejarah penerapan Islam Undang-Undang yang diberlakukan berdasarkan hasil ijtihad seorang Khalifah berdasarkan dalil-dalil syara’ wajib ditabani oleh siapapun, penguasa yaitu Khalifah sendiri, mu’awin, wali/gubernur, qadhi beserta jajaran yang ada di struktur pemerintahan dan juga rakyatnya.

Jika ada sebagian yang menolak apa yang sudah diadopsi oleh negara maka Khalifah boleh memberikan hukuman sesuai ketetapan Khalifah, bahkan diperangi apabila ia secara terangan-terangan menyerang hukum syara’ dan tidak mau bertobat.

Begitulah seharusnya bagaimana Undang-undang dijalankan. Tanpa ada pro kontra di tengah-tengah kehidupan umat manusia yang holistik. Tarik ulur RUU Ketahanan Keluarga ini menjadi bukti bahwa aturan Islam tidak akan pernah bisa diterapkan selama dalam jalan demokrasi karena baik secara langsung maupun tidak langsung akan mengalami benturan. Wallahu’alam.