Example floating
Example floating
Opini

Politisasi Penanganan Wabah Covid-19

1107
×

Politisasi Penanganan Wabah Covid-19

Sebarkan artikel ini

Oleh : Ummi Lia, IbuRumah Tangga,Cileunyi Kabupaten Bandung

Wabah pandemi Covid-19 benar-benar mengguncang dunia, mempengaruhi seluruh bidang kehidupan. Menyerang 93 negara, juga mengancam sektor ekonomi, mempengaruhi sektor pendidikan, kesehatan, politik, sosial, budaya dan lain-lain. Bahkan diprediksi pasca wabah ini akan terbentuk tata dunia baru yang berbeda dari sebelumnya.

Bagaimana tidak mengguncang, korban Covid-19 terus bertambah meskipun pemerintah sudah bekerja keras untuk menanganinya. Kebijakan PSBB se-Bandung Raya, tidak berhasil mencegah laju pertambahan yang positif Covid-19. Sekarang diberlakukan PSBB se-Jawa Barat, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 melaporkan up date terkini di Kabupaten Bandung hingga Senin (11/5/2020) ada 60 kasus, 45 orang di antaranya masih dirawat, 10 orang sembuh, dan 5 orang meninggal dunia.

Untuk itu, Fraksi PKB DPRD Kabupaten Bandung mendesak Pemkab Bandung segera melakukan realokasi anggaran untuk menangani Covid-19. Realokasi anggaran penanganan Covid-19 Kabupaten Bandung diperkirakan mencapai Rp 205 miliar. Namun tidak sedikitpun menyentuh dana hibah dan bansos.

Seperti yang dilansir AyoBandung.com (5/5/2020), anggota DPRD Kabupaten Bandung, Toni Permana, mengatakan sampai saat ini pihaknya belum menerima kejelasan besaran realokasi anggaran penanganan Covid-19 Kabupaten Bandung. “Jelasnya tidak tahu, terakhir dalam koordinasi eksekutif menyampaikan realokasi anggaran itu Rp 123,5 miliar, tapi katanya jadi Rp 160 miliaran, dan informasi terakhir katanya Rp 205 miliar,” tutur Toni.

Sampai saat ini, kata Toni, Pemkab Bandung belum melakukan koordinasi kembali mengenai besaran dan serapan anggaran realokasi anggaran penanganan Covid-19. Namun dari besaran realokasi anggaran awal sebesar Rp 123,5 miliar, kata Toni, Pemkab Bandung malah sama sekali tidak menyentuh dana hibah dan bansos. Padahal, potensi dana tersebut sangat besar.

Dalam SKB Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan, hibah dan bansos merupakan mata anggaran yang direkomendasikan untuk direalokasi dalam penanganan Covid-19. Bahkan dalam SKB tersebut disebutkan jika hibah dan bansos bisa direalokasikan sampai 100%. “Panduannya sangat jelas. Tapi malah tidak disentuh. Realokasi anggaran Pemkab Bandung itu kebanyakan dari anggaran yang tidak terserap dalam triwulan pertama,” ungkap Toni.

Toni berharap dengan tidak disentuhnya dana hibah dan bansos dalam realokasi anggaran bukan karena kepentingan politik menjelang pilkada. “Mudah-mudahan saja dengan tidak disentuhnya hibah dan bansos ini tidak terjadi politisasi anggaran. Karena ini tahun politik. Curiga pasti, khawatir iya. Bukan hanya hibah dan bansos, termasuk realokasi anggaran ini. Jangan sampai menempel kegiatan berbau politis,” tutupnya.

Kecurigaan ini muncul karena memang di sistem politik demokrasi sekuler sekarang ini, hal itu bisa mungkin terjadi. Seperti yang dilakukan pemerintah pusat. Menteri Sosial, Julian Batubara, mengakui penyaluran bansos berupa paket sembako untuk warga terdampak Corona sempat tersendat. Hal ini dikarenakan harus menunggu tas pembungkus untuk mengemas paket sembako. Dia mengungkapkan, pembungkus itu belum tersedia karena produsen tas tersebut mengalami kesulitan impor bahan baku. Sehingga menyebabkan distribusi bansos terkendala meski paket sembako sudah tersedia. (merdeka.com 29/4/2020)

Politisasi Bansos Covid-19 menunjukkan wajah pemerintah yang tidak peka penderitaan rakyat. Nama bansos itu dinilai seolah-olah bantuan dikeluarkan langsung oleh Jokowi. Padahal sumber dana bantuan sosial berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang dipungut dari pajak rakyat. Kemudian, di Kabupaten Bandung kenapa dana hibah dan bansos tidak disentuh? Padahal boleh digunakan hingga 100%.

Bagaimana bisa Pemkab Bandung tidak menyentuh dana hibah dan bansos, sementara banyak warga yang belum tersentuh bansos. Akibat Corona ini tercatat ada 4000-6000 KK warga miskin baru di setiap desa Kabupaten Bandung. (PR.com 22/4/2020)

Bukan hanya Kabupaten Bandung atau negara Indonesia saja yang mengalami kegagapan menghadapi pandemi Covid-19, negara-negara besar di dunia juga mengalaminya. Jumlah kematian dan penambahan kasus baru terinfeksi virus tersebut terus meningkat drastis di Inggris, Perancis, beberapa negara Eropa Timur, Swedia, Jepang dan Amerika Serikat (AS) dan lain-lain. Kegagalan AS menghadapi wabah ini menjadi bukti nyata kegagalan sistem kapitalis dengan AS sebagai pemimpinnya.

Sistem kapitalis telah menjadikan negara berlepas tangan dari tanggung jawabnya memelihara urusan masyarakat. Berbeda dengan sistem Islam ketika menghadapi wabah. Solusi Islam dalam mengatasi wabah tidak bisa dilepaskan dari komprehensivitas ajaran Islam.

Dalam Islam, pemimpin harus benar-benar berupaya sekuat tenaga mencurahkan segala potensi yang ada. Tampilnya seorang pemimpin dalam ikhtiar penyelesaian wabah merupakan bagian dari amanah Allah swt yang akan dipertanggungjawabkan.

Substansi dasar Islam adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Birokrasi dan administrasi hanyalah sebagai tools sehingga masalah-masalah teknis dapat berjalan dengan baik. Karena hanya masalah tools, maka ajaran Islam dalam urusan birokrasi dan administrasi sangat fleksibel, sehingga untuk menangani wabah atau yang lainnya dapat dikerjakan dengan sangat cepat.

Dengan pemimpin yang amanah dan mekanisme anggaran yang fleksibel dan cepat dalam penanganan masalah, maka sistem Islam akan mampu mengatasi wabah. Gambaran penanganan wabah yang ideal tercermin pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab ra. Saat itu syariat Islam diterapkan secara keseluruhan dalam semua aspek kehidupan oleh negara Khilafah. Negara Khilafah ini akan memastikan rahmat/kebaikan bagi seluruh alam itu benar-benar mewujud. Sebagaimana firman Allah swt, “Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (TQS al-Anbiya [21]; 107)

Wallahu a’lam bish shawwab