Example floating
Example floating
Opini

Tapera, Gotong Royong untuk Mendapatkan Rumah, Benarkah?

810
×

Tapera, Gotong Royong untuk Mendapatkan Rumah, Benarkah?

Sebarkan artikel ini
Alfiyah Kharomah

Pada Juni 2019, Kementerian PUPR mengumumkan bahwa ada 81 juta milenial yang belum memiliki rumah sehingga berpotensi menjadi target pasar perbankan dalam penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Jumlah milenial tersebut merupakan 30 persen dari populasi penduduk Indonesia.
Untuk itu, pada Mei lalu, Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Ini artinya presiden Jokowi telah menyetujui usulan pemotongan gaji pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai swasta sebesar 2,5 persen untuk membayar iuran Tapera. Sementara 0,5 persen iuran tersebut akan dibebankan kepada pemberi kerja. Peraturan baru ini direncanakan akan segera berlaku mulai Januari 2021. Program Tapera ini wajib diikuti oleh para pekerja formal maupun informal. Baik telah memiliki rumah, sedang menyicil rumah, maupun yang belum memiliki rumah.

Tentu saja apa yang dilakukan oleh pemerintah tertinggi itu menuai kontra. Ketua Umum DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (Hippi) DKI Jakarta Sarman Simanjorang menuturkan keberatan atas program baru ini. Tapera justru dianggap semakin membebani pengusaha dan pekerja. Apalagi bisnis saat ini sedang terpuruk. Bahkan pengusaha di DKI mengusulkan PP ini untuk dicabut.
Sarman menambahkan untuk membayar tanggungan BPJS karyawan saja susah. Apalagi jika ditambah Tapera, mereka mengibarkan bendera putih. Ia meminta harusnya pemerintah memberikan dukungan agar para pengusaha bisa segera bangkit. Bukan malah memberikan beban.

Sampai hati, di tengah pandemi banyak rakyat yang tak punya pekerjaan lagi. Kalaupun masih bekerja, tak memiliki keutuhan gaji, belum harus tetap membayar tagihan-tagihan yang harus dilunasi, iuran kesehatan melambung tinggi, ditambah keperluan sehari-hari dan sembako yang nyaris tak terbeli. Rakyat masih dibebani dengan iuran Tapera yang tak berarti untuk saat ini.

Tapera dengan sistem gotong royong masyarakat bertujuan untuk menghimpun dan menyediakan dana jangka panjang dan berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan bagi rakyat terutama masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Iuran Tapera ini bersifat wajib yang merupakan program jaminan sosial yang disediakan pemerintah. Mirip BPJS, pemerintah membagi kepesertaan Tapera sesuai penghasilan mereka. Yaitu peserta masyarakat dengan penghasilan di bawah UMR, peserta masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), dan peserta dengan penghasilan di atas MBR.

Meskipun seluruh pekerja wajib ikut dan membayar iuran, ternyata tidak semua pekerja dapat mengajukan kredit perumahan rakyat Tapera. Menurut Dirjen Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR, manfaat pembiayaan Tapera hanya dapat digunakan oleh pekerja yang masuk kategori masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Sementara peserta yang tidak masuk kategori MBR nantinya akan berhak menerima kembali simpanan, hasil pemupukan iuran, dan insentif lain dari BP Tapera saat masa kepesertaannya berakhir.
Di tengah sengkarut penanganan wabah yang menurunkan kredibilitas pemerintah, kasus korupsi di tanah air yang tak menunjukan angka mereda, fakta BPJS yang defisit berkali-bekali. Apakah ada jaminan dana Tapera tak ditilap? Atau minimal tak diputar di pasar modal? Tak ada yang bisa menjamin.

Lebih dari itu, PP Tapera membuktikan bahwa pemerintah melemparkan tanggung jawab pemenuhan kebutuhan papan kepada rakyat dengan dalih gotong royong. Padahal, papan adalah kebutuhan pokok rakyat harus dipenuhi oleh negara. Jangan namanya saja jaminan sosial, tetapi sejatinya, rakyat disuruh memenuhi kebutuhan papan mereka di tengah kemiskinan yang merajalela.
Alih-alih pemerintah membantu dengan aset negara dan kekayaan alam Indonesia yang melimpah. Individu rakyat yang lainnya yang lebih baik taraf hidupnya dipaksa untuk bergotong royong menanggung kebutuhan papan individu rakyat yang tak mampu. Lalu, dikemanakan hasil kekayaan alam yang melimpah di seluruh penjuru nusantara. Mulai dari minyak bumi hingga batu bara, emas, nikel juga hasil hutan dan kekayaan biota laut Indonesia. Ironinya itu semua dimiliki swasta.

Tentu saja, program ini sarat akan kepentingan bernafas kapitalis. Alasan pemenuhan kebutuhan papan hanyalah pemanis semata. Hal ini tak ubahnya cara pengumpulan dana segar dari pos baru yang akan diinvestasikan di pasar modal maupun pasar uang dengan pola kontrak investasi. Peserta tak bisa mengklaim dana tersebut sebelum pensiun.

Sampai kapanpun, jika negara masih menggunakan sistem sekulerisme kapitalisme, atas nama demokrasi, atas nama rakyat mereka akan terus mencari cara agar bisa tetap memalak rakyatnya. Karena sistem kapitalisme sejatinya adalah sistem yang rusak dan merusak yang berambisi untuk memberikan keuntungan sebesar-besarnya kepada pemili modal. Dimana industri dan alat-alat produksi dikendalikan oleh mereka. Mereka akan mencari cara sebanyak-banyaknya, sebusuk-busuknya agar tercapai segala kemanfaatan di dalam hidup mereka. Fungsi pemerintah hanyalah sebagai regulator bagi pemilik modal. Celakanya, pemerintah saat ini dikuasai oleh para oligark.

Sehingga, kedzaliman demi kedzaliman sampai kapanpun akan menimpa rakyat akibat penerapan sistem ini. Cukup sudah kesempitan hidup yang telah dirasakan rakyat Indonesia.
Umat membutuhkan pemimpin yang hadir untuk melayani pemenuhan tak hanya papan, tetapi juga pangan dan sandang. Islam melalui sistem ekonomi yang komprehensif akan memenuhi kebutuhan papan rakyat melalui mekanisme yang khas dan sesuai tuntunan syariat. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW:
“Seorang imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat) dam ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatmya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sistem ekonomi Islam telah menunjukan kecemerlangannya selama belasan abad lamanya. Adalah Khalifah Umar Bin Adul Aziz, seorang Khalifah dari Masa Umayyah yang berhasil mensejahterhkan rakyatnya, hingga rakyatnya tak ada yang berhak mendapatkan zakat. Ini artinya, kebutuhan pokoknya semuanya terpenuhi dan mereka hidup berkecukupan. Tentu saja, kebutuhan papan mereka.

Rakyat membutuhkan sosok pemimpin seperti Umar bin Abdul Aziz, apalagi di tengah pandemi yang luar biasa mendera rakyat Indonesia bahkan dunia ini. Sosok pemimpin yang zuhud lagi takut kepada Allah SWT. Yang mengembalikan barang-barang yang diambil dengan zalim dan jatah-jatah tanah rakyat yang dikapling-kapling sewenang-wenang atas nama negara.
Tentu saja, rakyat merindukan sosok pemimpin sedemikian rupa.

Sosok pemimpin yang lahir dari rahim sistem yang mulia luar biasa, yakni Islam yang hanya akan mengakomodir hukum-hukum Allah Subhanahu wa ta’ala. Bukan sistem yang membuat malaikat ketika masuk ke dalam sistem pemerintahannya justru berubah menjadi iblis yang tak punya hati, mata dan telinga untuk mendengar jeritan rakyatnya. Wallahu’alam Bisshowab

Oleh. Alfiyah Kharomah
Praktisi Kesehatan, Member Revowriter