Example floating
Example floating
Opini

Melepas Vaksin Covid-19 Pada Mekanisme Pasar, Berbahaya?

476
×

Melepas Vaksin Covid-19 Pada Mekanisme Pasar, Berbahaya?

Sebarkan artikel ini
Nahmawati, S.IP (Member Komunitas Aktif Menulis)

TEGAS.CO., NUSANTARA – Vaksin Covid 19 menemukan titik terang, dilansir dari Republika.co.id, 2/10/2020 sebanyak tiga juta vaksin akan didatangkan dari China ke Indonesia pada November 2020 pada tahap pertama sedangkan tahap kedua akan didatangkan secara bergelombang. Jubir Wapres Masduki Baidlowi mengungkap tim dari Pemerintah, bersama Direktur Utama PT Bio Farma akan ke China mengecek kesiapan proses produksi vaksin sebelum didistribusikan ke Indonesia.

Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, ada harapan bagi vaksin Covid-19 untuk siap di akhir tahun ini (kompas.com, 08/10/2020).

Sebelumnya, Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Erick Thohir menjelaskan bahwa vaksin Covid-19 di Indonesia bakal tersedia dalam dua jenis, yakni yang bersubsidi dan non-subsidi atau mandiri. Untuk jenis mandiri, harga vaksin akan sangat bergantung kepada dinamika pasar.

“Mengenai harga dinamikanya tinggi tergantung masing-masing penjual,” kata Erick (Tempo.co, 06/09/2020).

Pada media yang sama, Ketua Pengkajian dan Pengembangan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Arief Safari mengatakan berbahaya bila pemerintah terpaksa melepas vaksin untuk dibeli masyarakat dengan mekanisme pasar. Karena akan menciptakan kenaikan harga yang gila-gilaan sebagaimana kejadian pada masker dan hand sanitizer di awal-awal pandemi.

Jika diserahkan pada mekanisme pasar maka akan berlaku hukum permintaan dan penawaran yang terjadi secara alamiah. Jika jumlah barang lebih sedikit dari permintaan, maka akan terjadi kenaikan harga. Belum lagi para penimbun dan pengambil keuntungan diatas kebutuhan orang banyak tentu menyebabkan harga Vaksin semakin melonjak.

Sistem kapitalisme yang sejatinya merupakan negara korporasi, negara menjadikan layanan kesehatan yang seharusnya adalah hak mendasar rakyat, menjadi lahan bisnis.

Mindset kapitalisme inilah yang membuat kesehatan menjadi mahal. Sampai-sampai ada pameo, orang miskin dilarang sakit. Negara tak bertanggung jawab menyediakan layanan kesehatan yang murah dan manusiawi. Karena berpikir untung rugi dalam melayani rakyatnya.

Padahal jelas dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dinyatakan masyarakat berhak mendapatkan hak kesehatan dan fasilitas kesehatan yang berkeadilan. Dan pemerintah bertanggungjawab dalam menyelenggarakan kesehatan bagi masyarakat secara merata dan terjangkau.

Dalam pandangan Islam, tugas utama penguasa adalah mengurus kebutuhan rakyatnya, memberikan pelayanan terbaik, serta menjamin keberlangsungan kehidupan rakyatnya, sebagaimana syariat Islam memerintahkan.

Khalifah ketika terjadi pandemi akan langsung memisahkan antara orang yang sakit dengan orang yang sehat. Sebab ini adalah langkah awal untuk menekan penyebaran penyakit.

Selain itu, Khalifah akan mengeluarkan kebijakan yang akan memutus rantai penyebaran penyakit. Khalifah juga akan memberlakukan kebijakan protokol kesehatan yang dipastikan dapat dilakukan oleh warganya dengan mudah. Sebagaimana sabda Nabi SAW, “Jika kamu melihat bumi tempat wabah, maka jangan memasukinya. Jika kamu berada di sana, maka jangan keluar darinya.”

Islam telah menjamin seluruh dunia dalam menyiapkan berbagai rumah sakit yang layak, sekaligus memenuhi keperluannya. Contohnya, Bimaristan yang dibangun oleh Nuruddin di Damaskus tahun 1160 yang telah bertahan selama tiga abad dalam merawat orang-orang sakit, tanpa bayaran dan menyediakan obat-obatan gratis. Para sejarawan berkata, bahwa cahayanya tetap bersinar tidak pernah padam selama 267 tahun. (Will Durant dalam The Story of Civilization).

Semua rumah sakit di dunia Islam dilengkapi dengan tes-tes kompetensi bagi setiap dokter dan perawatnya, aturan kemurnian obat, kebersihan dan kesegaran udara, sampai pemisahan pasien penyakit-penyakit tertentu. Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa kaum Muslim terdahulu memahami bahwa sehat tidak hanya urusan dokter, tetapi menjadi prioritas pertama dan utama urusan individu masyarakat untuk menjaga kesehatan. Serta ada peran sinergis yang luar biasa antara negara yang memfasilitasi manajemen kesehatan yang terpadu dan sekelompok ilmuwan Muslim yang memikul tanggung jawab mengembangkan teknologi kedokteran.
WalLâhu a’lam bi ash-shawab.

Penulis: Nahmawati, S.IP (Member Komunitas Aktif Menulis)
Editor: H5P