Example floating
Example floating
Opini

Bandara Kolaka Utara Dibangun untuk Siapa ?

2554
×

Bandara Kolaka Utara Dibangun untuk Siapa ?

Sebarkan artikel ini
Risnawati, S.Tp. (Pegiat Opini Muslimah Kolaka)

TEGAS.CO.,KOLUT – Sebuah Ironi, di tengah pandemi pembangunan infrastruktur masif dilakukan di negeri ini, berbagai upaya yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah. Pembangunan infrastruktur yang akan dibangun cukup beragam, mulai dari jalan baru, jalur kereta api, bendungan hingga bandar udara. Lokasinya tersebar di banyak daerah di tanah air.

Saat ini pemerintah akan membangun enam bandara baru, yakni Bandara Nabire Baru, Bandara Siboru, Bandara Mentawai Baru, Bandara Madina, Bandara Bolaang Mongondow, dan Bandara Pohuwato.

Adapun dana yang disiapkan pemerintah pusat berdasarkan Buku Nota Keuangan dan RAPBN 2022 dalam fungsi ekonomi adalah Rp 402,3 triliun. Meski pembangunan bandara di Kolaka Utara tidak disebutkan dalam rencana pembangunan, namun pemerintah daerah Kolut tetap optimis bisa membangun bandara tersebut. Padahal, realitasnya bandara kini masih sepi dari penumpang.

Seperti dilansir dari Kolaka Utara, salah satu media online – Pemda Kolaka Utara (Kolut) optimis akan mendapatkan kucuran anggaran dari Pemerintah Pusat, untuk biaya pembangunan Bandar Udara (Bandara) di tahun 2022. Pernyataan optimis tersebut dikemukakan Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Kolut, Ir. Djunus, M.Si, saat ditemui di ruang kerjanya Selasa (24/8/2021).

Menurutnya, ada dua faktor yang membuat dirinya optimis. Pertama, dua minggu lalu ia mendapat undangan dari Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) untuk zoom meeting bersama beberapa kabupaten/kota untuk persiapan penganggaran pembangunan bandara di tahun 2022. Dari sekian kabupaten/kota yang diundang untuk zoom, Kabupaten Kolaka Utara termasuk kabupaten yang paling siap baik dari aspek kesiapan dokumentasi maupun kesiapan Pemda.

“Sementara yang lain rata-rata masih terkendala pembebasan lahan, perencanaan, dan faktor-faktor lainnya,” kata Djunus.

Kedua, lokasi pembangunan Bandara Kolaka Utara yang terletak di Desa Lametuna dan Kalu-kaluku, Kecamatan Kodeoha telah mengantongi Surat Keputusan Penetapan Lokasi dari Kementerian Perhubungan. Dengan begitu, lokasi bandara tersebut telah masuk dalam perencanaan pembangunan dari Kemenhub RI.

“Kita sudah memiliki legalitas dari Kementerian Perhubungan. Di Sulawesi Tenggara, dari beberapa kabupaten yang mengusulkan pembangunan Bandara hanya Kolut dan Wakatobi yang telah memiliki SK penetapan lokasi pembangunan Bandara dari Kemenhub,” terangnya. Selanjutnya, jelas Djunus, luas lokasi Bandara yang tercantum dalam Penlok berdasarkan regulasi dari Kemenhub yakni 64 hektare.

Sementara luas lokasi Bandara Kolut saat ini setelah dilakukan pematangan lokasi dan pembangunan dinding penahan tanah (talud) mencapai 70,4 hektare. “Melebihi standar yang dibutuhkan Kementerian Perhubungan,” tukasnya.

Tidak hanya itu, Mantan Asisten I Sekda Kolut ini juga menyampaikan jika selama ini dirinya telah membangun komunikasi dengan Pemerintah Pusat, meski belum keluar dari Kemenhub namun Bappenas telah menyampaikan bahwa tahun 2022 Bandara Kolut akan mendapat kucuran anggaran dari pemerintah pusat. “Hanya saja untuk nominal anggaran belum dapat dipastikan,” bebernya.

 

Proyek Liberalisasi Sarat Kepentingan

Sering kali dalam pembangunan bandara menyisakan polemik dari awal hingga akhir prosesnya. Seperti apa yang tengah terjadi di Bandara Kertajati di Majalengka, Jawa Barat. Realitasnya, sejak diresmikan 2018 lalu, Bandara ini sepi dari penumpang. Bahkan kini, untuk sekedar membayar operasional seperti listrik pun sudah kewalahan. Sementara, maskapai yang bertahan hanya satu, yaitu Citilink.

Berbagai upaya dilakukan agar tidak dianggap proyek mangkrak, namun semua itu seolah terlalu kecil untuk menutupi kesalahan besar pada awal perencanaannya yang kurang matang serta unsur politis yang lebih dominan.

Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menilai bahwa Bandara Kertajati adalah contoh infrastruktur yang dibangun dengan unsur politis yang lebih kental dibandingkan dengan studi kelayakannya. Karena di awal pembangunan proyek ini, dirinya sudah mengatakan bahwa Kertajati tidak cocok dijadikan bandara. Terlalu jauh dari Bandung kurang lebih dua jam perjalanan. (tribunnews.com, 31/4/2021)

Selain itu, polemik pembebasan lahan kerap terjadi di hampir setiap pembangunan infrastruktur. Para petani pun menganggur tersebab sawahnya telah dialihfungsikan . Penggusuran rumah warga seolah menjadi konsekuensi logis dalam pembangunan yang diyakini dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi itu. Namun mengapa, pertumbuhan ekonomi yang katanya bermuara pada kesejahteraan rakyat, namun selalu membuat rakyat menderita. Lalu, benarkah pembangunan infrastruktur ini untuk rakyat atau korporasi ?

Dalam konsep ekonomi neoliberal kapitalisme, pembangunan infrastruktur memang menjadi prasyarat mutlak untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi. Dan salah satu tolok ukur pertumbuhan ekonomi ini adalah besaran akumulasi modal dan produksi barang jasa sebagai dampak tumbuhnya industri-industri manufaktur atau ekstraktif yang mau tidak mau membutuhkan fasilitas penunjang seperti akses jalan, pelabuhan, bandara, kawasan pergudangan, jalur kereta api dan lain-lain untuk memperlancar arus modal, barang dan jasa.

Itulah kenapa, konektivitas dan koridorisasi yang kemudian diistilahkan dengan istilah-istilah keren seperti kawasan ekonomi khusus menjadi hal mutlak bagi suksesnya proyek liberalisasi yang diklaim akan menggenjot pertumbuhan ekonomi.

Maka dari itu, alasan pembangunan infrastruktur untuk memuluskan investasi asing, yang pada gilirannya akan menciptakan kesejahteraan hanya korporasi bukan rakyat.

Karena itu, pembangunan infrastruktur dalam sistem kapitalisme berfokus pada sentra. Sehingga infrastruktur untuk kemaslahatan umat dan terselesaikannya persoalan hidup masyarakat kurang diperhatikan.

Maka, aspek liberalisasi dalam kapitalisme inilah yang juga dipastikan akan mendasari gencarnya proyek-proyek investasi yang diencanakan. Terlebih kebijakan pembangunan infrastruktur di bawah cengkraman liberalisasi kapitalisme ini seringkali dilakukan tanpa mengukur kebutuhan rakyat, melainkan kebutuhan bisnis para pemilik modal.

Sungguh umat butuh sistem Islam. Yang tegak di atas akidah yang benar dan mewujud dalam seperangkat aturan kehidupan yang memanusiakan. Sebuah sistem yang menempatkan negara dan penguasa sebagai penanggungjawab semua urusan rakyat sekaligus sebagai penjaga urusan-urusan rakyatnya.

 

Pembangunan Infrastruktur Dalam Islam

Salah satu kebutuhan dasar rakyat yang harus dipenuhi negara adalah ketersediaan infrastruktur yang layak. Pembangunan infrastruktur memang dibutuhkan untuk memudahkan kehidupan rakyat dalam memenuhi hajat hidup mereka.

Secara umum, infrastruktur ini adalah fasilitas umum, yang dibutuhkan oleh semua orang, sehingga termasuk dalam kategori marâfiq al-jamâ’ah, seperti air bersih, listrik, dan sejenisnya. Begitu juga termasuk fasilitas umum yang tidak mungkin dimonopoli oleh individu, seperti jalan raya, laut, udara, dan sejenisnya.

Semuanya ini merupakan bagian dari infrastruktur yang dibutuhkan oleh seluruh manusia dan wajib disediakan oleh negara. Karena ini merupakan fasilitas umum, maka penggunannya pun gratis, tanpa dipungut biaya.

Sehingga infrastruktur dalam Islam adalah prasarana yang dibuat demi kemaslahatan umat. Sehingga pembangunannya tak berpusat pada sentra ekonomi, tapi menyebar merata pada setiap pemukiman warga. Maka, pembangunan di kota dan di desa tidak akan timpang seperti kondisi saat ini, yang hanya fokus pada perkotaan dan mengabaikan pedesaan.

Sistem ekonomi Islam menjadikan Baitulmal yang dikelola negara sebagai jantung peredaran perekonomian. Berbeda dengan sistem kapitalisme yang menjadikan jantung perekonomiannya pada perbankan dan pasar modal, dari sini saja sudah terlihat minimnya peran negara. Sedangkan dalam Islam justru negara sebagai pihak sentral yang mengatur pembangunan demi tercapainya keadilan dan pemerataan.

Selanjutnya, pembiayaan infrastruktur bukan berasal dari investasi asing atau utang, tapi dari Baitulmal. Aturan pembatasan kepemilikan menjadikan sumber APBN Khilafah tidak bertumpu pada pajak dan utang. Keharaman swasta apalagi asing dalam menguasai SDA yang melimpah menjadikan negara mandiri dalam proses pembangunannya, sehingga tak akan ada intervensi dalam setiap kebijakannya.

Dengan demikian, jangan pernah berharap dalam sistem ekonomi neoliberal kapitalisme, pembangunan infrastruktur semata untuk kemaslahatan umat. Hanya dalam sistem ekonomi Islam, pembangunan infrastruktur ditujukan untuk kemaslahatan umat, dan sistem pemerintahan Khilafah yang akan menerapkannya secara kaffah. Semoga umat semakin menyadari, bahwa hanya dengan Islam, mereka akan beroleh kebaikan dan kemuliaan hakiki. Wallahu a’lam.

 

Penulis: Risnawati, S.Tp (Pegiat Opini Muslimah Kolaka)

Editor: H5P

 

Terima kasih

error: Jangan copy kerjamu bos