Pertama, untuk kepentingan relasi dengan kekuasaan. Relasi ini akan memudahkan pemilik modal untuk mempengaruhi keputusan penguasa dengan kebijakan yang sesuai dengan kepentingan usahanya. Pengaruh itu bisa saja kemudahan perijinan, mempengaruhi pasal-pasal yang mengatur tentang usaha baik dalam UU, PP maupun perda, penguasaan pengelolaan sumber daya alam di daerah serta memonopoli lelang tender (collusive tender). Meski di lelang terbuka tapi ada pemilik modal yang memonopoli semua lelang bermodus penggunaan nama perusahaan yang berbeda tapi satu pemilik. Kebijakan parpol pengusung kepala daerah harus dari pengurus pusat bukan oleh pengurus daerah bisa jadi ada relevansi dengan kepentingan ini.
Faktor kedekatan pengusaha besar dengan penguasa mengakibatkan banyak pengusaha-pengusaha kecil yang terpaksa harus “sowan” ke pengusaha besar agar mendapat ijin usaha di wilayah-wilayah tertentu. Pengusaha-pengusaha besarpun harus menuntut kompensasi atas “jasa-jasanya” itu.
Apalagi dalam hal persaingan usaha, ada dugaan para pengusaha pemodal politik kerap merekomendasikan perusahaan mana yang bisa beroperasi di daerah dan mana yang tidak.
Relasi politik dan bisnis tumbuh subur di Indonesia disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor elektoral dan non elektoral. Kelembagaan parpol dan sistem hukum pemilu kita masih perlu dibenahi. Perilaku pemilih di Indonesia masih cenderung irasional. Daya tarik pemilih untuk datang ke TPS sebagian besar masih dipengaruhi oleh faktor hadiah dari calon.
Komentar