Tanpa itu maka ada keengganan untuk memilih. Sehingga patut diduga bahwa tingginya partisipasi pemilih pada pemilu 2019 dan pilkada 2020 bisa jadi karena pengaruh uang suap dari calon.
Pada proses pencalonan sebagian parpol mewajibkan calon untuk menyerahkan uang pelicin atau mahar sebagai syarat untuk dicalonkan.
Uang suap pemilih dan mahar parpol menjadi penyebab pemilu dan atau pilkada menjadi mahal. Karena modal pembiayaan kampanye sangat mahal maka tindakan yang dilakukan oleh calon adalah mencari sponsor. KPK menyebut sebesar 82 persen calon pilkada 2020 dibiayai oleh sponsor.
Produk hukum pemilu juga belum terlalu ideal dalam menetapkan standar persyaratan khusus untuk menjadi calon pejabat publik.
Demikian juga dengan produk hukum parpol. Kedua produk hukum itu tidak mewajibkan durasi waktu harus berapa tahun untuk menjadi kader lalu bisa dipilih menjadi ketua parpol atau untuk dicalonkan menjadi kepala daerah atau calon anggota legislatif. Ketiadaan norma itu menjadi pemicu kuatnya transaksi dalam pengambilan keputusan parpol.
Kartu tanda anggota tidak diperoleh atas dasar reputasi dan dedikasi sebagai kader tetapi diperjualbelikan menjelang pendaftaran calon di KPU.
Dari aspek non elektoral, terjadi karena beberapa hal. Pertama, proses pengurusan perijinan usaha di sejumlah pemerintah daerah sangat sulit. Sulit karena dua hal yaitu pelayanan perijinan oleh birokrasi pemerintah yang berbelit-belit atau karena memang kriteria baku dalam perijinan memang sangat sulit. Hal ini menimbulkan frustasi bagi kalangan pengusaha.
Sehingga cara yang paling muda adalah membuka akses pada penguasa daerah agar dapat diberikan kemudahan. Kedua, pengelolaan kekayaan sumber daya alam makin terbatas. Bukan terbatas karena kekayaan menipis tetapi pengelolaannya telah dikendalikan oleh banyak perusahaan. Sehingga terjadi kompetisi yang amat ketat antar pengusaha untuk memperebutkan pengelolaannya.
Laporan : FAISAL
Editor : YUSRIF
Komentar