Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Opini

Janji Politik Mendarah Daging, Perlukah Sanksi Pidana

1219
×

Janji Politik Mendarah Daging, Perlukah Sanksi Pidana

Sebarkan artikel ini
FOTO: Arkam Asrulgazali, S.KOM (Salah satu tokoh pemuda Konawe Kepulauan)

TEGAS.CO,. NUSANTARA – Tidak terasa Pemilu serentak 2024 akan segera dilaksanakan berdasarkan tahapan-tahapan yang dilaksanakan Penyelenggara pemilu, dimana KPU telah membuka pendaftran calon anggota legislatif (Caleg) dan anggota Dewan Perwakilan  untuk pemilu 2024.

Dimana suasana pemilu kian terasa bahkan menjadi wacana yang begitu hangat untuk menjadi bahan diskusi saat ini, tidak heran jika banyak para politisi yang memiliki wacana politik yang dengan gamlang menyampaikan kepermukaan baik melalui media mainstream maupun media sosial.

Menjelang pemilu 2024 masyarakat akan kembali disajikan kampanye program-program dari setiap pigur, baik dari segi pendidikan gratis dan pelayanan kesehatan gratis.serta perataan ekonomi serta kemajuan infrastruktur  Wacana inilah yang sering kita dengar pada setiap pencalonan baik untuk calon anggota legislatif, calon Bupati dan wakil Bupati serta tingkatan Calon presiden dan wakil presiden.

Momen tersebut juga tentunya akan dirasakan masyarakat dimana berdasarkan tahapan penyelengaraan pemilu yang dilaksanakan KPU kita ketahui bersama Pemilu 2024 akan dilangsungkan secara serentak untuk memilih anggota DPR, DPRD, DPD dan Presiden, pada 14 Februari 2024 mendatang.

Dimana sebanyak 17 Partai politik yang dinyatakan lolos dalam perhelatan pesta Demokrasi Pemilihan serentak 2024, akan mengusung kadernya yang dinilai menepuni baik dari segi mental, kesiapan, pendukung, serta pinansial untuk saling merebut kursi di DPR, DPRD, DPD, dan Presiden dan Wakil Presiden.

Perhelatan pesta Demokrasi tentunya bukan hal yang lumrah lagi di lingkup masyarakat dimana setiap pigur calon Legislatif bertujuan untuk meyakinkan masyarakat untuk mendapatkan suara, bahkan ironinya ada bebera pigur menggunakan cara-cara yang bertolak belakang dengan aturan PKPU agar bisa mencapai tujuan kelompok maupun individu.

Janji-janji politik hanyalah kemasan yang terstruktur yang di kemas dalam Setiap Program-program dalam mengawal setiap kampanye politik dihadapan masyarakat, bagaimana tidak dikutip dari tulisan William Shakespeare dalam “As You Like It”, 1599/1600 : “Dia menulis ungkapan berani, bicara dengan kata-kata berani, bersumpah dengan sumpah berani, dan melanggarnya dengan berani.”Mereka berani berjanji sekaligus berani mengingkarinya.

Selain itu pula, menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (“UU Pemilu”) adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dimana kampanya tersebut adalah kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang di tunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi-misi, program dan/atau citra diri peserta pemilu.

Terbersit sebuah pertanyaan Apakah bisa menggugat janji caleg atau capres yang diumbar pada masa kampanye jika dia tidak melaksanakan janjinya ketika terpilih ?

Secara eksplisit dalam masa kampanye caleg maupun capres tidak menyampaikan janji-janji, melainkan menyampaikan visi-misi, program dan/atau citra diri dengan tujuan agar menarik pemilih untuk memilihnya.

Tentunya sedikit penjabaran diatas bisa menyimpulkan sepanjang penelusuran tidak ada aturan yang mengatur bahwa hal tersebut dapat digugat.tentunya hal tersebut sangat miris jika tak ada sanksi yang di berikan dimana berdasarkan hemat berpikir saya bahwa visi – misi yang terkemas dalam program-program tersebut yang disampaikan setiap caleg maupun cawapres merupakan presentatif harapan dari masyarakat untuk bagaimana terealisasi untuk Indonesia lebih baik.

Bukankah pula amanat undang-undang mengatakan bahwa Berdasarkan konstitusi Republik Indonesia (UUD 1945), Dewan Perwakilan Rakyat diwajibkan untuk melaksanakan tiga fungsi: Legislasi, Anggaran, dan Pengawasan.

Ketiga fungsi tersebut dijalankan dalam kerangka representasi rakyat, dimana setiap Anggota Dewan wajib mengutamakan kepentingan rakyat yang diwakilinya (konstituen) sehingga menjadikan mereka “Wakil Rakyat”.

Selain itu pula dalam 10 Pilar Demokrasi Konstitusional Indonesia menurut Pancasila dan UUD 1945, mengamanatkan untuk kemakmuran rakyat bukan untuk kemakmuran kelompok maupun individu ?

Secara subtansial program pembangunan untuk rakyat. Oleh karena itu ketepatan sasaran harusnya diberikan pula ruang untuk rakyat untuk menilainya dan hasilnya berimbang.

Penilaian program pembangunan dikenal dengan istilah audit sosial, audit yang melibatkan masyarakat atau komunitas, kelompok rentan/marginal/miskin (Perempuan, orangtua, kelompok difabel dan anak-anak).

Agar tercapai keseimbangan atas program-program yang telah dijanjikan pada saat kampanye, diperlukan audit sosial  berbasis komunitas agar terjadi tingkat kepercayaan bagi warga dimasa mendatang. Semoga pemilu 2024 menghasilkan calon wakil rakyat yang selalu mementingkan kepentingan rakyat bukan individu maupun kelompoknya.

Jika berangkat dalam pemikiran rasional melihat fakta bahwa Politik uang yang kini menjadi tradisi di lingkup Perpolitikan, tentunya hal tersebut akan memicu terjadinya Korupsi yang kerap terjadi  seperti saat ini, karena setiap Caleg yang rela menghabiskan puluhan juta hingga Miliaran hanya untuk merebut satu kursi tersebut, tentunya bukanlah tanpa sebab dan tujuan

Mengutip dari peyampaiyan Pusat Edukasi Antikorupsi dalam pemberitaannya di media sosial dengan gamblang menuliskan Praktik Politik uang (money politic) adalah sebuah upaya memengaruhi pilihan pemilih (voters) atau penyelenggara pemilu dengan imbalan materi atau yang lainnya ini akhirnya memunculkan para pemimpin yang hanya peduli kepentingan pribadi dan golongan, bukan masyarakat yang memilihnya. Dia merasa berkewajiban mencari keuntungan dari jabatannya, salah satunya untuk mengembalikan modal yang keluar dalam kampanye.

Akhirnya setelah menjabat, dia akan melakukan berbagai kecurangan, menerima suap, gratifikasi atau korupsi lainnya dengan berbagai macam bentuk. Tidak heran jika politik uang disebut sebagai “mother of corruption” atau induknya korupsi.

Penulis: Arkam Asrulgazali. S. Kom

Terima kasih