Bukan Petrus Selestinus SH sebagai Kordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (T-PDI) kalau tidak membuat berita atau menjadi berita sejak beberapa tahun lalu sampai sekarang. Seolah tidak ada rasa takutnya mengungkap berbagai pelanggaran hukum dan hak asasi manusia baik oleh perorangan, pejabat, aparat penegak hukum maupun pemerintah.
Petrus sebagai Advokat memang selalu berdasarkan data dan fakta ungkap sesuatu, benar terjadi atau tidak suatu pelanggaran hukum adalah kewenangan lembaga peradilan, karenanya sulit membantahnya.
Dia tidak seperti tokoh lain mengkritik tanpa data, nimbrung seperti istilah Laksamana Sudomo, “asal bunyi” (asbun), Petrus Selestinus sadar bahwa menuduhkan yang tidak benaradalah pelanggaran hukum juga, karena dia memiliki data maka berani mengungkap kasus, dan hampir tidak pernah dibantah orang, walaupun laporannya sendiri sering tidak ditindak lanjuti pihak berwenang. Sehingga Petrus Selestinus sering dianggap mengada-ada, kadang seperti tidak punya perasaan serta si raja tega, sebab dengan beraninya dia “menuding” secara terbuka di depan pers.
Demikian halnya, setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan advokat terkenal Lucas SH sebagai saksi dan mencekalnya ke luar negeri berkaitan dengan kabur dan menjadi buronan pengusaha Eddy Sindoro, berkaitan dengan terkena OTT Panitera Pengganti PN Jakarta Pusat 2016 lalu. Di mana terungkap bahwa uang yang terkena OTT itu ada kaitan dengan pengurusan perkara-perkara perusahaan Eddy Sindoro di PN Jakarta Pusat dan Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA).
KPK memanggil Eddy Sindoro tahun 2016 tetapi sedang di Luar Negeri, kemudian otoritas Malaysia mendeportasinya ke Indonesia, dan atas jasa berbagai pihak (mungkin) Eddy Sindoro kabur lagi meninggalkan Indonesia.
Lucas SH bersama Dina Soraya dicegah ke LN, tanggal 18 September lalu dan ditetapkan sebagai tersangka. Setelah diperiksa kemarin (1/10) selama 11 jam kemudian ditahan.
Lucas menurut Wakil Ketua KPK Saut Situmorang diduga menghalang-halangi proses hukum terhadap Eddy Sindoro dalam kasus suap terkait perkaran di PN Jakpus serta PK di MA.
Jumat lalu Kordinator T-PDI Petrus Selestinus berkomentar: “langkah KPK mencekal pengacara Lucas ke LN dalam kasus pelarian tersangka korupsi seorang pengusaha Eddy Sindoro, sangat tepat karena ini akan menjadi pintu masuk bagi KPK dalam membongkar jaringan mafia peradilan yang selama ini sering dialamatkan kepada Pengacara Lucas, tetapi sulit disentuh”, (Indonesiakoran.com Jumat, 28 September 2018).
Menurut Petrus memastikan, KPK memiliki beberapa alat bukti termasuk alat bukti petunjuuk yang mengarah kepada keterlibatan Pengacara Lucas yang diduga membantu dan memfasilitasi pelarian sekaligus persembunyian Eddy Sindoro dari kejaran KPK.
Ditambahkan Petrus Selestinus, KPK perlu mengurai kembali jejak Pengacara Lucas dalam sejumlah kasus yang sudah dilaporkan ke KPK, bahwa T-PDI juga telah pernah melaporkan Lucas ke KPK dalam perkara suap kepada beberapa pejabat Mahkamah Agung dan Polri tanggal 4 Aprilm 2013, dan sejumlah dokumen telah disampaikan ke KPK oleh Pelapor Sanusi Wiradinata bersama T-PDI berdasarkan catatan transaksi keuangan (Pemasukan dan pengeluaran) tulisan tangan Safersa seorang Sekretaris Kantor Pengacara Lucas di mana tertera nama sejumlah pejabat Penegak Hukum di Mahkamah Agung dan Mabes Polri, sebagai penerima uang dari kantor Lucas SH.
Lucas sendiri membantah ia membantu pelarian petinggi Lippo Eddy Sindoro untuk menghindari proses hukum di KPK dan mengatakan dia tidak mengerti sangkaan yang dituduhkan kepadanya.
Ketika ditanya pers, apakah akan mengajukan Praperadilan? Lucas dengan tegas mengatakan, “segala upaya hukum akan kami lakukan”.
Upaya hukum atau perlawanan adalah hak tersangka yang diatur Peraturan perundang-undangan, proses persidangannya nanti menjadi “tontonan” menarik, dan apakah kasus ini bisa sebagai “pintu masuk membongkar mafia Peradilan” seperti keinginan Petrus Selestinus? Prosesnya masih panjang, apakah KPK bisa cepat memprosesnya ke Pengadilan, sehingga tidak ada peluang Praperadilan yang sering dianggap “rawan” merontokkan upaya penindakan KPK, karena ada dugaan tergantung hakim bukan hukum, tentu KPK telah menyadari dan mengantisipasinya.***
Bachtiar Sitanggang
Penulis adalah wartawan senior dan advokat berdomisili di Jakarta.
Komentar