Example floating
Example floating
Opini

Tak Perlu Tas, Yang Perlu Bantuan

×

Tak Perlu Tas, Yang Perlu Bantuan

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi : Presiden Jokowi dan tas dengan isi bantuan sembako di masa pandemi corona

Tak dipungkiri hadirnya wabah covid-19 ini menjadi pukulan keras bagi seluruh dunia. Baik dari sisi politik, sosial hingga ekonomi yang kian sulit. Ramadhan tahun ini memang kelabu. Selain wabah covid-19 yang mengintai setiap warga. Kini yang lebih parahnya wabah kelaparan sedang terjadi di Indonesia. Banyak kabar yang memilukan lagi tragis. Kelaparan terjadi dimana-mana. Imbas dari banyaknya yang di PHK dan pekerja pabrik yang dirumahkan. Rakyat kian sulit mencari pekerjaan ditengah pandemi saat ini. Alhasil kelaparan pun tidak bisa terelakkan.

Berita kelaparan sepertinya sudah biasa disuguhkan dalam kondisi yang serba sulit ini.
Serang, CNN Indonesia — Seorang ibu rumah tangga di Serang, Banten, menghembuskan nafas terakhirnya, Senin (20/4) sore sekitar pukul 15.09 WIB, setelah menahan lapar dengan hanya minum air galon isi ulang selama dua hari. Ibu bernama Yulie Nuramelia (43) itu menahan lapar dua hari karena tak ada pemasukan akibat wabah virus corona (Covid-19).
Ibu Yulie meninggalkan empat orang anaknya, salah satunya masih bayi. Suaminya, Mohamad Holik (49), hanya bekerja sebagai pencari barang rongsokan dan pemulung.

Iklan KPU Sultra

Dilansir dari KOMPAS.com – Nasib tragis dialami satu keluarga yang berasal dari Tolitoli, Sulawesi Tengah . Pasalnya, saat ditemukan warga di tengah kebun di Kelurahan Amassangan, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, kondisi mereka sudah lemas karena kelaparan. Satu keluarga yang terdiri dari tujuh orang tersebut tiga di antaranya masih balita dan seorang ibu diketahui sedang hamil besar. Nurhidayat (57), kepala keluarga itu, mengaku datang ke Polewali karena ingin mencari kerabatnya dengan harapan mendapat pekerjaan baru untuk menafkahi keluarganya.

Ini baru dua fakta yang disajikan. Masih banyak berita kelaparan yang terjadi dimasa pandemi ini. Uluran bantuan dari pemerintah yang dibutuhkan dalam kondisi sulit seperti ini. Masyarakat sangat menanti bantuan ini. Karena memang kondisi saat ini memang menjadi pukulan keras bagi yang terkena dampak covid-19 ini.

Sungguh tragis lagi bansos (Bantuan Sosial) dari negara yang harusnya segera diluncurkan tersendat dan tak kunjung datang ditengah masyarakat yang kelaparan. Alasannya pun dinilai tidak masuk akal.

Seperti yang disampaikan oleh Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara mengakui penyaluran bantuan sosial (bansos) berupa paket sembako untuk warga terdampak virus korona (Covid-19) sempat tersendat. Hal itu dikarenakan harus menunggu tas pembungkus untuk mengemas paket sembako.
Dia mengungkapkan, pembukus itu belum tersedia karena produsen tas tersebut mengalami kesulitan impor bahan baku. Sehingga menyebabkan distribusi bansos terkendala meski paket sembako sudah tersedia. “Awalnya iya (sempat tersendat) karena ternyata pemasok-pemasok sebelumnya kesulitan bahan baku yang harus import,” katanya kepada wartawan, Rabu (29/4).( merdeka.com ).

Miris sekali, ditengah kondisi yang kian sulit ini. Pemerintah tak lepas dari wajah pencitraannya. Hanya masalah tas bantuan bisa tersendat. Rakyat tak perlu tas itu. Rakyat hanya butuh bantuan pokok yang segera diberikan. Tidak peduli bantuan itu dibungkus dengan plastik atau kardus dan semacamnya. Tak ada gunanya label “Bantuan Presiden” ditengah kondisi kelaparan seperti ini. Karena tas itu tidak bisa mengenyangkan perut rakyat.

Jika dipikirkan anggaran untuk tas tadi lebih baik disalurkan ke rakyat segera. Tak perlu ada istilah impor bahan baku dulu yang menyebabkan tersendatnya bantuan ini tadi. Tentu pembuatan tas itu juga memakan biaya yang tidak sedikit.
Lagi pula seharusnya malu sebagai presiden, karena memang bantuan itu tidak dari kantong pribadi. Melainkan dari hasil pemalakan berupa pajak yang dipungut dari rakyat. Harusnya malu.dengan label bantuan dari presiden itu tadi. Berkacalah dari rakyat sendiri. Mereka tak memberikan label dari A atau B. Mereka memberikan dengan suka rela. Memberikan dengan niat sedekah (sunnah) dan rasa empati yang tinggi terhadap sesama.

Terlebih harusnya itu menjadi bagian dari kewajiban sebagai seorang pemimpin. Harus tugasnya meriayah atau mengurusi urusan umat. Tak perlu ada pencitraan disana sini. Karena.rakyat kini sudah bisa menilai sendiri.

Dari bansos ini kita bisa lihat wajah rezim saat ini. Yang tidak peka dengan penderitaan rakyatnya dan sarat dengan pencitraan. Inilah wajah asli dari sistem kapitalis. Yang lebih mementingkan eksistensinya dan kedudukannya daripada perut rakyat. Dalam kapitalis memang hal biasa melakukan seperti ini. Segala keputusannya tak terlepas dari politisasi dalam rangka mempertahankan eksistensinya. Tak peduli rakyatnya kelaparan atau kesulitan dari hasil keputusan yang diperbuatnya.
Jelas yang seperti ini tidak bisa disamakan dengan Khalifah Abu Bakar atau Khalifah Umar. Karena dalam Islam tugas melayani dan melindungi rakuat adalah kewajiban dari penguasa. Mereka sadar betul bahwa kepemimpinannya kelak akan dimintai pertanggungjawaban kelak diakhirat.

“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan dia bertanggungjawab atau pengurusannya”. (HR. Al-Bukhari).
Khalifah menyadari penuh bahwa pengurusan dan penjagaan terhadap rakyatnya akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah di hari akhir kelak. Satu saja rakyatnya yang lapar, maka begitu besar murka Allah kepadanya. Apalagi jika kelaparan itu sampai mengantarkan kepada kematian.
Sudah masyhur dalam sejarah Islam bagaimana kisah Khalifah Umar bin Khaththab ra. yang rela memanggul sendiri sekarung gandum demi untuk seorang wanita rakyatnya yang kelaparan dengan kedua anaknya, sementara ia sebagai penguasa baru mengetahuinya.

Negara Khilafah akan melahirkan sosok-sosok penguasa yang bertakwa kepada Allah, takut kepada -Nya , dan selalu merasa diawasi oleh-Nya hingga membuatnya bersungguh-sungguh berusaha mengurus seluruh urusan rakyatnya.
Negara Khilafah akan memenuhi kebutuhan pokok tiap rakyatnya baik berupa pangan, pakaian, dan papan. Mekanismenya adalah dengan memerintahkan para laki-laki untuk bekerja (lihat QS al-Baqarah: 233) dan menyediakan lapangan kerja seluas-luasnya bagi mereka.
Bagi yang tidak mampu bekerja karena sakit, cacat, ataupun yang lainnya, maka Islam telah menetapkan nafkah mereka dijamin kerabatnya. Tapi jika kerabatnya juga tak mampu, maka negara Khilafah yang akan menanggungnya .
Adapun di masa wabah, maka negara Khilafah akan menerapkan kebijakan lockdown sehingga rakyat di wilayah terdampak tak bisa keluar dan yang di luar tak bisa masuk. Dalam kondisi seperti ini maka semua rakyat di wilayah terdampak akan dijamin kebutuhan pokoknya.
Adapun wilayah yang tak terdampak bisa tetap menjalankan aktivitas ekonominya sehingga roda perekonomian bisa berjalan dengan baik. Negara Khilafah bisa fokus menyehatkan rakyat yang sakit dan mengedukasi agar yang sehat tidak tertular yang sakit di daerah terdampak.
Sungguh berbeda dalam sistem kapitalisme, rakyat harus menjadi miskin dulu untuk mendapat bantuan dari pemerintah. Itu pun harus dengan berbagai syarat sebagai bukti bahwa ia benar benar miskin.

Peran negara kapitalis hanya sebatas fasilitator dan motivator , sementara urusan rakyat diserahkan kepada mereka sendiri. Bahkan, saking berlepas tangannya, harta zakat dan haji dijadikan salah satu sumber dana penanganan wabah sehingga penarikan dan pendistribusiannya dianjurkan dimajukan.
Sementara negara Khilafah akan hadir dalam setiap kondisi dan akan menjalankan fungsinya sebagai raain dan junnah. Melindungi keimanan mereka, ketaatannya, juga keselamatannya jiwanya.

Inilah sistem Islam dalam naungan Khilafah. Yang akan membawa perubahan, sangat jauh berbeda dengan sistem kapitalis. Karena khilafah melahirkan pemimpin yang takut akan Allah. Mereka menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Dan akan membawa rahmat bagi seluruh umat dab bagi seluruh alam.
Wallahu a’lam

Oleh : Ade Irma

Example 120x600
error: Jangan copy kerjamu bos