Menurut dia, perjalanan kemerdekaan pers di Indonesia mengalami pasang surut sejak era kolonial hingga sekarang.
Zaman Hindia Belanda mewariskan cara-cara membatasi kemerdekaan pers dengan cara pembredelan. Pada awal kemerdekaan (orde lama) hingga pada masa orde baru pembredelan terhadap media massa beberapa kali terjadi.
Kemerdekaan pers mendapatkan momentum ketika reformasi pada 1998 dengan runtuhnya orde baru. Reformasi jadi tonggak awal yang membawa angin segar bagi lahirnya kemerdekaan pers di Indonesia.
Namun kata Gita, kini kemderdekaan pers terancam dengan adanya Undang-Undang ITE dan RKUHP. LBH pers menemukan 15 klaster pasal-pasal yang mengancam kemerdekaan pers di RKUHP yang di dalamnya berpotensi menjadi alat kriminalisasi. Salah satunya terkait klausul yang sangat kental dengan kerja-kerja jurnalistik.
“Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi …. dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum ….,” jelas Gita yang mengutip isi pasal dalam draf RKUHP.
Pasal-pasal lainnya yang dianggap bermasalah, di antaranya pasal penyerangan harkat dan martabat presiden; penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara; pasal penghasutan untuk melawan penguasa umum; pasal penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong.
Sebelum adanya RKUHP, selama ini senjata andalah untuk mengkriminalisasi jurnalis dan aktivis adalah dengan menggunakan UU Nomor 1 Tahun 1946 dan UU ITE.
Komentar