TEGAS.CO, KENDARI – Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (P3APPKB) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) menggelar Rapat Koordinasi (Rakor) Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2024.
Kegiatan yang digelar di salah satu hotel di Kota Kendari, Senin (9/12/2024) dibuka langsung oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Sultra yang diwakili Staf Ahli Gubernur Sultra Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan La Ode Saifuddin.
Rakor dihadiri Kepala Dinas P3APPKB Sultra Abdul Rahim, Kepala Bidang, staf, serta Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten/Kota atau yang mewakili.
Staf Ahli Gubernur Sultra Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan La Ode Saifuddin dalam sambutannya mengatakan bahwa perempuan dan anak merupakan kelompok penduduk yang memiliki kriteria spesifik sehingga dibutuhkan pendekatan yang berbeda demi menjamin kualitas hidup mereka.
Dia mengatakan, pemberdayaan perempuan menjadi faktor penting untuk melibatkan perempuan secara bermakna di dalam pembangunan sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang dasar negara Republik Indonesia.
Sedangkan pemenuhan hak dan perlindungan anak penting untuk memastikan anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal serta terlindungi dari berbagai tindakan kekerasan diskriminasi dan eksploitasi.
“Namun demikian perolehan akses manfaat dan partisipasi dalam pembangunan serta kontrol terhadap sumber daya antar penduduk perempuan dan laki-laki dirasakan belum memenuhi keyakinan dan kesejahteraan,” katanya.
Hal ini katanya, dikarenakan otoritas sistem sosial yang sangat kental masih dipengaruhi oleh budaya Patriarki meskipun secara normatif perbedaan laki-laki dan perempuan dalam pembangunan sudah tidak terjadi lagi.
“Namun dalam kehidupan di tengah-tengah masyarakat masih saja terjadi pandangan bahwa perempuan lebih tepat bekerja di sektor-sektor non formal seperti menyelesaikan pekerjaan rumah tangga dengan gejala aktivitas yang ada di dalamnya,” ujarnya.
Untuk mengatasi adanya kesenjangan partisipasi antara laki-laki dan perempuan dalam pembangunan maka dikeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional yang mengharuskan semua Kementerian, Lembaga termasuk Pemerintah Daerah untuk melaksanakan pengarusutamaan gender. Permendagri Nomor 67 tahun 2011 tentang perubahan atas peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008 tentang pedoman umum pelaksanaan pengarusutamaan gender di daerah.
“Kemudian surat kesepakatan bersama empat menteri yaitu Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Bappenas, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tentang strategi nasional percepatan gender melalui perencanaan pengarusutamaan gender,” katanya.
Saifuddin mengungkapkan, indeks pemberdayaan gender atau IPG di Sultra cenderung mengalami peningkatan dalam kurun waktu tahun 2018 sampai 2022 yaitu 71,54 persen pada tahun 2018 menjadi 73,72 pada tahun 2020. Tetapi tahun 2023 capaian IPG sedikit mengalami penurunan yang diakibatkan persentase keterlibatan perempuan dalam parlemen dan persentase perempuan dalam pendapatan kerja.
Kesetaraan gender juga dapat dilihat dari capaian indeks Gender Sultra selama 5 tahun terakhir secara konsisten menurun, di mana sejak tahun 2018 tidak ketimpangan gender berkurang sebesar 0,085 poin rata-rata turun 0,01 poin per tahun kecuali pada tahun 2021 ke tahun 2022 turun sebesar 0,65 poin.
“Hal ini mengindikasikan ketimpangan gender yang semakin mengecil atau kesetaraan gender yang semakin membaik,” ujarnya.
Meskipun hak-hak perempuan dan anak telah dijamin dan dilindungi. Tetapi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di Sultra semakin meningkat dalam waktu 5 tahun terakhir. Di mana tahun 2019 terdapat 93 kasus kekerasan terhadap anak atau KTA dan 47 kasus kekerasan terhadap perempuan atau KTP. Sedangkan pada tahun 2023 kekerasan terhadap anak meningkat menjadi 329 kasus dan kekerasan perempuan meningkat menjadi 216 kasus.
“Tentu angka ini adalah data kasus yang dilaporkan bukan tidak menutup kemungkinan jumlah kasus-kasus kekerasan yang terjadi di Kabupaten Kota seluruh Sulawesi Tenggara jauh lebih besar terjadi di tengah-tengah kita. Dengan melihat kondisi tersebut tentu permasalahan perempuan dan anak ini menjadi isu lintas bidang dan lintas sektor yang harus diselesaikan dengan melibatkan beberapa atau berbagai pelaku pembangunan baik pemerintah tingkat pusat daerah akademisi lembaga masyarakat maupun dunia usaha,” tuturnya.
Pihaknya juga menyadari bahwa ketika berbicara mengenai perlindungan terhadap perempuan tentu tidak terlepas dari persoalan tentang perlindungan anak. Negara berkewajiban memenuhi hak setiap anak dan memberikan perlindungan dari tindakan kekerasan dan diskriminasi hal ini berjalan dengan amanat undang-undang Dasar tahun 1945 pasal 28b poin kedua yang menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan.
Sebelum menutup sambutan, Saifuddin berharap apa yang dihasilkan pada rakor hari ini akan menjadi momentum permasalahan perempuan dan anak di Sultra.
“Saya juga berharap adanya rekomendasi strategis dalam rangka percepatan pencapaian pembangunan di bidang pengaruh tambahan gender kemudian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak baik di Provinsi maupun Kabupaten/Kota se-Sulawesi Tenggara sehingga menghasilkan masyarakat Sulawesi Tenggara yang sejahtera mandiri dan berdaya saing,” tutupnya.
Redaksi
Komentar