Example floating
Example floating
HukumJakartaOpiniTegas.co Nusantara

Saling Lempar Tuduhan di Pertamina, Siapa yang Salah?

×

Saling Lempar Tuduhan di Pertamina, Siapa yang Salah?

Sebarkan artikel ini
Nur Laily (Aktivis Muslimah)

TEGAS.CO., NUSANTARA – Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) Basuki Tjahaja Purnama jadi perbincangan hangat. Pria yang beken disapa Ahok itu mengungkap borok Pertamina, mulai dari direksi hobi lobi menteri hingga soal doyan berutang.

Pernyataan Ahok itu ada dalam video yang diunggah akun Youtube POIN seperti dikutip detikcom Selasa (15/9/2020).

Iklan KPU Sultra

“Dia ganti direktur pun bisa tanpa kasih tahu saya, saya sempat marah-marah juga, jadi direksi-direksi semua mainnya lobinya ke menteri karena yang menentukan menteri. Komisaris pun rata-rata titipan kementerian-kementerian,” kata Ahok.

Ahok pun membongkar ‘borok’ Pertamina yang lain, dengan menyebut bahwa Pertamina memiliki kebiasaan mencari pinjaman terus, padahal sudah memiliki utang US$ 16 miliar. Utang tersebut untuk mengakuisisi ladang minyak di luar negeri. Padahal menurutnya lebih baik melakukan eksplorasi di dalam negeri karena di Indonesia masih ada 12 cekungan yang berpotensi menghasilkan minyak dan gas di dalamnya.

Masalah lain di Pertamina yang dibongkar Ahok juga terkait sistem gaji. Dia bilang, direktur utama anak usaha tetap digaji meski sudah dicopot.

Melihat dari fakta diatas menunjukkan begitu jelas borok dalam pengelolaan BUMN di Indonesia. Para pengelola saling lontar tuduhan satu dengan yang lainnya. Seakan-akan melepas diri dari tanggung jawab. Seolah-olah permasalahan hanya dibuat oleh individu saja. Padahal sejati akar masalah dari permasalahan ini tidak hanya terletak dari individu pelaksananya, melainkan sistem dan peraturan yang menaungi penerapan dan pengelolaan BUMN.

Sejatinya, perusahaan BUMN diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan dan menyejahterakan rakyatnya. Namun dengan penerapan kapitalisme sebagai dasar peraturan, kini perusahaan BUMN kehilangan arah dan tujuan pembangunannya. Kini BUMN seolah berubah menjadi korporasi yang hanya berlandaskan keuntungan semata.

Walaupun berdalih keuntungan yang didapatkan dari pengelolaan BUMN dipergunakan untuk kepentingan masyarakat, nyatanya hanya sedikit dari keuntungan yang bisa dirasakan oleh rakyat. Namun hal ini berbeda dengan sistem Islam. Islam hadir tentu tidak hanya sebagai agama ritual dan moral belaka. Islam juga merupakan sistem kehidupan yang mampu memecahkan seluruh problem kehidupan, termasuk dalam pengelolaan kekayaan sumber daya alam negara.

Allah SWT berfirman:

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ

Kami telah menurunkan kepada kamu (Muhammad) Al-Quran sebagai penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk, rahmat serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (TQS an-Nahl [16]: 89).

Dalam sistem Islam, kekayaan alam adalah bagian dari kepemilikan umum. Kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara. Hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat secara umum. Sebaliknya, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta apalagi asing.

Di antara pedoman dalam pengelolaan kepemilikan umum antara lain merujuk pada sabda Rasulullah saw.:

الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ

Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api (HR Ibnu Majah).

Rasul saw. juga bersabda:

ثَلَاثٌ لَا يُمْنَعْنَ الْمَاءُ وَالْكَلَأُ وَالنَّارُ

Tiga hal yang tak boleh dimonopoli: air, rumput dan api (HR Ibnu Majah).

Terkait kepemilikan umum, Imam at-Tirmidzi juga meriwayatkan hadis dari penuturan Abyadh bin Hammal. Dalam hadis tersebut diceritakan bahwa Abyad pernah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul saw. lalu meluluskan permintaan itu. Namun, beliau segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mâu al-iddu).” Rasul saw. kemudian bersabda, “Ambil kembali tambang tersebut dari dia.” (HR at-Tirmidzi).

Mau al-iddu adalah air yang jumlahnya berlimpah sehingga mengalir terus-menerus. Hadis tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir. Semula Rasullah saw. memberikan tambang garam kepada Abyadh. Ini menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam (atau tambang yang lain) kepada seseorang. Namun, ketika kemudian Rasul saw. mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar digambarkan bagaikan air yang terus mengalir maka beliau mencabut kembali pemberian itu.

Dengan kandungannya yang sangat besar itu, tambang tersebut dikategorikan sebagai milik bersama (milik umum). Berdasarkan hadis ini, semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu, termasuk swasta dan asing.

Tentu yang menjadi fokus dalam hadis tersebut bukan “garam”, melainkan tambangnya. Dalam konteks ini, Al-Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengutip ungkapan Abu Ubaid yang mengatakan, “Ketika Nabi saw. mengetahui bahwa tambang tersebut (laksana) air yang mengalir, yang mana air tersebut merupakan benda yang tidak pernah habis, seperti mata air dan air bor, maka beliau mencabut kembali pemberian beliau. Ini karena sunnah Rasulullah saw. dalam masalah padang, api dan air menyatakan bahwa semua manusia bersekutu dalam masalah tersebut. Karena itu beliau melarang siapapun untuk memilikinya, sementara yang lain terhalang.”

Alhasil, menurut aturan Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar baik garam maupun selain garam seperti Batubara, emas, perak, besi, tembaga, timah, minyak bumi, gas dsb semuanya adalah tambang yang terkategori milik umum sebagaimana tercakup dalam pengertian hadis di atas.

Saatnya kita bersegera menjalankan semua ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya, dengan cara melaksanakan dan menerapkan seluruh syariah Islam. Penerapan seluruh syariah Islam tentu membutuhkan peran negara. Pasalnya, banyak ketentuan syariah Islam berurusan langsung dengan hajat hidup orang banyak, seperti pengelolaan sumber daya alam. Tanpa peran negara yang menerapkan syariah Islam, rakyat secara umumlah yang dirugikan, sebagaimana terjadi saat ini. WalLâhu alam.

Penulis: Nur Laily (Aktivis Muslimah)
Editor: H5P

Example 120x600
error: Jangan copy kerjamu bos