10 November: Dulu untuk Merdeka, Kini untuk Berebut Kuasa

10 November: Dulu untuk Merdeka, Kini untuk Berebut Kuasa
Falihin Barakati. DOC. PRIBADI FOR TEGAS.CO

Oleh: Falihin Barakati

“Kita toendjokkan bahwa kita adalah benar-benar orang jang ingin merdeka. Dan oentoek kita, saoedara-saoedara, lebih baik kita hantjur leboer daripada tidak merdeka.”

Itulah petikan kalimat dari pidato heroik Bung Tomo yang mampu membakar semangat para pejuang dalam peristiwa perang 10 November 1945 di Surabaya yang kemudian setiap tahunnya diperingati sebagai hari Pahlawan Nasional.

Kini sudah 73 tahun peristiwa bersejarah itu berlalu, namun kita berharap semoga nilai-nilai dalam peristiwa itu tetap hidup dalam jiwa anak bangsa saat ini dalam segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Pun pidato Bung Tomo sekalipun saat ini tak lagi dalam keadaan peperangan seperti saat pidato itu ia suarakan, tetapi bisa menjadi pembakar semangat kita untuk mengisi kemerdekaan.

Namun sungguh sangat disayangkan, alih-alih untuk membakar semangat mengisi kemerdekaan, petikan pidato di atas seakan tega diubah dalam praktiknya oleh mereka segelintir elit dan politisi yang haus kekuasaan. Bisa jadi juga bukan hanya segelintir, tapi elit dan politisi kebanyakan. Mereka mengubahnya dengan menyesuaikannya pada keadaan dimana bangsa Indonesia sedang dalam dinamika politik menghadapi Pilpres 2019 yang tinggal menghitung bulan.

“Kita tunjukkan bahwa kita adalah benar-benar orang yang ingin berkuasa. Dan untuk kita, saudara-saudara, lebih baik bangsa hancur lebur daripada tidak berkuasa.” Kira-kira seperti demikian.

Dulu untuk merdeka, kini untuk berebut kuasa. Dulu membakar semangat untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan kini membakar semangat demi sebuah kekuasaan. Itulah pandangan di mata saya melihat dinamika politik yang mewarnai publik di negeri saat ini dimana seakan kepentingan kuasa ditempatkan berada di atas kepentingan bangsa.

Para kontestan sibuk beradu ide dan gagasan dari yang masuk akal hingga yang hanya akal-akalan. Bahkan bukan hanya beradu ide dan gagasan, tetapi membangun isu-isu sensitif juga suka didengungkan misalnya soal SARA terkhusus agama termasuk juga soal keturunan. Rakyat seakan diadu domba dan diprovokasi dengan sentimen-sentimen agama yang sebenarnya sangat berbahaya untuk digunakan di tengah bangsa yang masyarakatnya plural seperti Indonesia.

Parahnya lagi praktik politik kebohongan masih jadi andalan. Menyebar hoax dan menebar kebencian seperti hal biasa saja untuk dimainkan. Kebohongan diulang-ulang sehingga menjadi kebenaran seperti kata Goebbels seorang propagandis di era Nazi, Jerman. Yang ada jadi tiada, yang tiada diada-adakan.

Secara umum segala cara digunakan untuk mencapai tujuan dalam hal ini kekuasaan seperti teori politik Machiavelli seorang diplomat dan politikus Italia. Yang terpenting bisa membuat rakyat terbakar, terpengaruh dan memutuskan untuk bersama mendukung mereka. Soal dampak buruk bagi keadaan bangsa, itu urusan belakangan.

Melihat keadaan ini saya terkadang membayangkan bagaimana perasaan Bung Tomo di makam tempat peristerahatannya. Saya yakin ia sedih karena ulah-ulah mereka yang merubah petikan pidatonya dalam praktik berpolitik saat ini. Seruan keinginan untuk benar-benar merdeka dan rela untuk hancur lebur demi kemerdekaan malah dalam praktiknya saat ini berubah jadi seruan keinginan berkuasa dan rela menghancurkan bangsa untuk memperebutkan kekuasaan.

Bukan hanya Bung Tomo, tetapi seluruh Pahlawan Nasional yang telah gugur untuk memerdekakan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia akan sedih bahkan meneteskan air mata karena keutuhan, persatuan dan kesatuan Indonesia yang mereka perjuangkan rela dikorbankan demi berebut kekuasaan.

Oleh karena itu, melalui momentum peringatan hari Pahlawan Nasional ke-73 tahun yang berada di tengah-tengah kondisi dinamika politik menjelang Pileg dan Pilpres 2019 saya mengajak kepada seluruh anak bangsa khususnya para elit dan politisi yang sedang berebut simpati masa mari kita menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan kuasa. Petikan pidato Bung Tomo yang menyatakan, “lebih baik hancur lebur daripada tidak merdeka” dijadikan semangat dalam praktik berpolitik kita bahwa jangan biarkan bangsa hancur lebur hanya karena berebut kuasa.

Mari kita mengisi kemerdekaan sebagai aplikasi dari menjiwai hari pahlawan dengan berlomba-lomba melakukan kebaikan dalam momentum politik saat ini. Terlalu mahal harga sebuah kekuasaan jika harus dibayar dengan mengorbankan rakyat dan bangsa.

Penulis adalah pemerhati sosial-politik yang juga kader PMII Sultra