Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
HukumOpiniTegas.co Nusantara

Khilafah Menjawab Krisis Pangan

2708
×

Khilafah Menjawab Krisis Pangan

Sebarkan artikel ini
Siti Subaidah (Pemerhati Lingkungan dan Generasi)

TEGAS.CO., NUSANTARA – Well, berbicara Covid-19 dan penanganannya tak akan ada habisnya. Bahkan masyarakat kini dihadapkan secara gamblang permasalahan akut yang tak pernah kunjung selesai menimpa negeri tercinta kita ini. Salah satunya ketahanan pangan.
Jauh sebelum pandemi ini ada, Indonesia sudah mengalami krisis pangan. Hal itu dapat dilihat dengan jelas lewat data produksi padi secara global yang menurun pada 2019/2020 menurun 0,4% sampai 0,5%, dibandingkan dengan produksi pada 2018/2019. Begitu juga dengan Indeks harga pangan dunia periode Januari-Mei 2020 cenderung menurun. Penurunan relatif tajam terjadi pada harga minyak nabati dan hasil peternakan. Jika sedemikian parahnya sistem ketahanan pangan Indonesia sebelum pandemi, lalu bagaimana sekarang?
Secara garis besar problem ketahanan pangan berkutat pada persoalan hilir yakni kemiskinan dan kekurangan gizi. Hal ini menjadi sesuatu yang tak terbantahkan dan merupakan persoalan besar hampir disetiap wilayah. Kemiskinan menjadi sumber problem utama tidak terpenuhinya gizi masyarakat bahkan terindikasi pada tahap kelaparan.
Fenomena diatas merupakan satu dari sekian banyak kasus kelaparan dan kemiskinan yang terjadi di Indonesia. Indonesia merupakan negeri dengan sumber daya laut dan perairan yang begitu luas, hutan rimba yang membentang, tanah yang subur, kekayaan sumber daya tambang yang begitu besar dan beraneka ragam, namun kemiskinan seolah tak mau lepas dari negeri ini. Yang menjadi pertanyaan bagaimana bisa hal ini terjadi?
Fakta mencengangkan pun terjadi, data Global Wealth Report 2018 yang dirilis Credit Suisse menyatakan bahwa “1% orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6% total kekayaan penduduk dewasa di tanah air. Sementara 10% orang terkaya di Indonesia menguasai 75,3% total kekayaan penduduk”. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan saat ini hanya di nikmati oleh segelintir orang kaya saja dan memperlihatkan ketidakmampuan negara dalam mendistribusikan kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Alhasil kemiskinan struktural terjadi bahkan seolah dipelihara. Maka dari sini mustahil masyarakat dapat memperbaiki gizi, untuk memenuhi pangannya saja sulit.
Kebijakan ekonomi neoliberal kapitalis yang condong pada kepentingan kapital (pemilik modal) merupakan salah satu indikasi terjadinya ini semua. Kebijakan yang ada saat ini nyatanya sama sekali tak berpihak pada para petani. Pemerintah berusaha dalam memandirikan para petani rakyat namun disisi lain korporasi pangan dengan skala besar tidak dihentikan. Pemerintah justru menyerahkan kepada perusahaan-perusahaan pertanian untuk mengelola sumber daya agraria dan memproduksi pangan bagi negeri ini dalam program Food Estate. Pengembangan Food Estate membuat karakter pertanian dan pangan Indonesia makin bergeser dari pertanian berbasis keluarga petani menjadi perusahaan produksi pertanian dan pangan. Ini baru dari sisi program pemerintah yang semakin memberatkan kehidupan para petani.
Seolah tak berkesudahan, kemalangan yang menimpa petani Indonesia bertambah dengan sulitnya mendapatkan tanah sebagai lahan garapan. Berdasarkan data Walhi, lahan Indonesia banyak dikuasai oleh korporasi yakni sebesar 82 persen, atau sekitar 159 juta hektare. Penguasaan lahan oleh korporasi biasanya lewat perizinan konsesi, atau HGU (Hak Guna Usaha) dengan perjanjian hingga 90 tahun. Hal ini semakin diperparah setelah Indonesia masuk perangkapnya IMF. IMF mendorong unit-unit usaha negara yang menguasai hajat hidup orang banyak untuk diprivatisasi. Akibatnya liberalisasi ekonomi semakin tak terbendung. Peran negara dikurangi, sementara peran swasta diperluas. Dan itu berujung kepada penguasaan lahan yang berimbas pada kurangnya konvensi lahan bagi petani. Alhasil menjadi sangat wajar jika setiap tahun produksi pangan negara kian melorot dan impor menjadi solusi yang akhirnya semakin mencekik para petani.
Ketahanan Pangan Dalam Islam
Dalam Islam negara berkewajiban memenuhi semua kebutuhan pokok bagi rakyatnya, termasuk pangan. Karena demikian pentingnya maka negara Islam akan menjamin persediaan pangan ini, dalam kondisi apapun.
Islam memandang bahwa sektor pertanian merupakan salah satu sumber primer ekonomi di samping perindustrian, perdagangan, dan tenaga manusia (jasa). Dengan demikian pertanian merupakan salah satu pilar ekonomi yang apabila permasalahan pertanian tidak dapat dipecahkan, dapat menyebabkan goncangnya perekonomian negara, bahkan akan membuat suatu negara menjadi lemah dan berada dalam ketergantungan pada negara lain.
Oleh karenanya perhatian negara pun akan dicurahkan untuk mengoptimalisasikan pengelolaan pertanian ini, agar kebutuhan pangan untuk rakyat terpenuhi. Langkah optimalisasi pengelolaan ini dilaksanakan dengan beberapa kebijakan yang harus sesuai dengan ketetapan hukum syara, yakni:

  1. Kebijakan pertanian: intensifikasi dan ekstensifikasi
    Intensifikasi pertanian dicapai dengan meningkatkan produktivitas lahan yang sudah tersedia. Negara dapat mengupayakan intensifikasi dengan pencarian dan penyebarluasan teknologi budidaya terbaru di kalangan para petani; membantu pengadaan mesin-mesin pertanian, benih unggul, pupuk, serta sarana produksi pertanian lainnya.
    Adapun ekstensifikasi pertanian dapat dicapai dengan mendorong pembukaan lahan-lahan baru serta menghidupkan tanah yang mati. Tanah mati adalah tanah yang tidak tampak dimiliki oleh seseorang, dan tidak tampak ada bekas-bekas apapun, seperti pagar, tanaman, pengelolaan, maupun yang lainnya. Menghidupkan tanah mati artinya mengelola tanah atau menjadikan tanah tersebut siap untuk langsung ditanami. Setiap tanah yang mati, jika telah dihidupkan oleh seseorang, adalah menjadi milik yang bersangkutan. Rasulullah SAW, sebagaimana dituturkan oleh Umar bin al-Khaththab telah bersabda: “Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu adalah miliknya”. [HR. Bukhari, Tirmidzi, dan Abu Dawud].

Setiap orang yang memiliki tanah akan diperintahkan untuk mengelola tanahnya secara optimal. Bagi siapa saja yang membutuhkan biaya untuk perawatan tanah tersebut, akan diberi modal dari Baitul Maal (kas Negara), sehingga yang bersangkutan bisa mengelola tanahnya secara optimal. Namun, apabila orang yang bersangkutan mengabaikannya selama 3 tahun, maka tanah tersebut akan diambil alih dan diberikan kepada yang lain.

  1. Kebijakan distribusi: cepat, pendek, dan merata

Penataan distribusi kekayaan oleh negara pun tak luput menjadi perhatian negara mulai dari penentuan kepemilikan harta kekayaan, pengelolaannya, dan juga pendistribusiannya bagi kemaslahatan warga negaranya. Bahkan apabila masyarakat mengalami kesenjangan antar individu, negara dalam hal ini khalifah diwajibkan memecahkannya dengan mewujudkan pemerataan dan keseimbangan harta dalam masyarakat. Hal ini dilakukan dengan cara memberikan harta negara yang menjadi hak miliknya kepada orang-orang yang memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhannya. Dan kesemua itu dilaksanakan melalui mekanisme yang cepat, pendek, dan merata sehingga seluruh individu rakyat dapat dengan mudah memperoleh hak-haknya, terutama terkait dengan aspek vital kebutuhan mereka, seperti kebutuhan pokok pangan.

  1. Kebijakan terkait ketersediaan pangan

Sebagai proteksi terhadap ketersediaan pangan ini negara melarang adanya praktek penimbunan barang (termasuk menimbun bahan kebutuhan pokok), karena hal ini akan menyebabkan kelangkaan kebutuhan pokok masyarakat. Ketikapun hal itu terjadi, Khalifah harus mencegah masuknya tangan-tangan asing dalam pengelolaan bidang pertanian ini, baik lewat industri-industri pertanian swasta maupun asing melalui perjanjian multilateral, seperti WTO, FAO, dan lain-lain, karena ini akan sangat membahayakan kedaulatan pangan negara Khilafah sendiri.

Khilafah Di Masa Krisis

Kondisi darurat pun pernah dirasakan oleh umat tatkala Islam memimpin seperti yang terjadi dimasa Umar Bin Khattab yang kala itu kota Madinah di landa paceklik. Beliau segera mengeluarkan kebijakan untuk menanggulangi krisis tersebut secara cepat, tepat dan komprehensif yakni, pemenuhan kebutuhan masyarakat oleh baitul mal. Musim paceklik yang terjadi saat itu selama 9 bulan.

Dalam kurun masa tersebut seluruh warga Madinah dalam keadaan kelaparan. Umar yang saat itu sebagai seorang kepala negara membagi tugas kepada para perangkat negara di bawah beliau hingga level pekerja, bahu-membahu dan sigap menyelesaikan persoalan yang ada. Khalifah Umar ra. tidak berpangku tangan atau sekadar perintah sana, perintah sini saja. Beliau langsung turun tangan mengkomando dan menangani krisis tersebut. Beliau langsung memerintahkan mendirikan posko untuk para pengungsi, memastikan setiap petugas memahami pekerjaan yang dilimpahkan dengan benar.

Khalifah Umar ra juga memberi makanan kepada orang-orang badui dari Dar ad-Daqiq, sebuah lembaga perekonomian yang berada pada masa pemerintahan Umar. Lembaga ini bertugas membagi tepung, mentega, kurma dan anggur yang berada di gudang kepada orang-orang yang datang ke Madinah sebelum bantuan dari Mesir, Syam dan Irak datang. Dar ad-Daqiq kian diperbesar agar bisa membagi makanan kepada puluhan ribu orang yang datang ke Madinah selama sembilan bulan, sebelum hujan tiba dan memberi penghidupan.

Namun, ada kala dimana krisis yang terjadi di masyarakat tidak dapat ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah pusat karena berbagai hal, misalnya kondisi keuangan di baitul mal yang tidak mencukupi. Maka kebijakan yang diambil adalah meminta bantuan kepada wilayah daulah yang kaya dan mampu memberi bantuan.

Sebagaimana yang diceritakan di dalam buku The Great Leader of Umar bin Khattab karya Dr. Muhammad ash-Shalabi, Khalifah Umar langsung bertindak cepat ketika melihat kondisi keuangan Baitul Mal tidak mencukupi penanggulangan krisis. Khalifah Umar segera mengirim surat kepada para gubernurnya di berbagai daerah kaya untuk meminta bantuan.

Gubernur Mesir, Amru bin al-Ash mengirim seribu unta yang membawa tepung melalui jalan darat dan mengirim dua puluh perahu yang membawa tepung dan minyak melalui jalur laut serta mengirim lima ribu pakaian kepada Khalifah Umar.

Muawiyah bin Abu Sufyan mengirim tiga ribu unta membawa makanan dan bantuan dari Irak datang membawa tepung. Khalifah Umar memerintahkan agar bantuan itu dibagi secara merata kepada seluruh penduduk tanpa terkecuali. Para korban krisis diceritakan mendapat bantuan sebanyak apa yang dibawa oleh satu unta. Kita sudah tahu bahwa unta mampu membawa barang yang sangat banyak, melebihi berat tubuhnya.

Gambaran diatas memperlihatkan para gubernur dengan semangat ukhuwah Islamiyah dan manajemen pemerintahan yang rapi serta saling menopang, langsung sigap menyiapkan dan memberikan bantuan dengan jumlah yang sangat banyak. Bantuan itu benar-benar bisa membantu secara tuntas semua kebutuhan yang diperlukan bahkan cukup hingga mereka mampu bekerja sendiri mencari Rejeki.

Jika hal-hal diatas yang dijadikan sandaran dalam pengelolaan sistem ketahanan pangan di Indonesia maka baik dimasa normal maupun di masa krisis sekalipun Indonesia akan mampu bertahan. Well, mau pilih mana diatur oleh sistem rakus ala kapitalisme atau sistem Islam yang mengurusi detail kepentingan umat. Wallahu a’lam bishawab

Penulis: Siti Subaidah (Pemerhati Lingkungan dan Generasi)
Editor: H5P