PUSPAHAM: Hilirisasi Minerba Tanpa Reklamasi Adalah Jalan Menuju Krisis Lingkungan

PUSPAHAM: Hilirisasi Minerba Tanpa Reklamasi Adalah Jalan Menuju Krisis Lingkungan
PUSPAHAM: Hilirisasi Minerba Tanpa Reklamasi Adalah Jalan Menuju Krisis Lingkungan

Kendari, 20 Mei 2025 — Di tengah hiruk-pikuk pembahasan hilirisasi minerba sebagai bagian dari agenda strategis pemban gunan nasional, suara kritis dari masyarakat sipil menggema keras dalam Seminar Nasional “Kajian Strategis Energi dan Hilirisasi dalam Mendukung Pembangunan Nasional” yang digelar oleh Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Daerah (LP2D) hari ini.

Dalam forum tersebut, dua dokumen penting diserahkan secara langsung kepada masing-masing; Drs. Asrun Lio, M.Hum., Ph.D – Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara, Dr. Irwanuddin H.I Kulla. Ph.D – Tenaga Ahli Menteri ESDM Bidang Nuklir RI, dan juga diserahkan kepada Dr. Ir. Musri, MT. – Anggota Dewan Energi Nasional Republik Indonesia.

Klik bennernyaE-katalog tegas.co v6 tahun 2025

Dokumen itu adalah booklet berjudul “Mengabaikan Reklamasi, Menghancurkan Masa Depan: Waktunya Bertanggung Jawab!” dan policy brief berjudul “Sisi Gelap Industri Ekstraktif dan Perkebunan Kelapa Sawit di Sulawesi Tenggara”.

Penyerahan ini menjadi simbol bahwa di balik semangat hilirisasi yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sebagai jalan menuju kemandirian ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, terdapat luka ekologis dan sosial yang terus membesar di daerah-daerah penghasil sumber daya, khususnya di Sulawesi Tenggara.

“Kami tidak menolak pembangunan, tetapi kami menolak pembangunan yang menghancurkan,” tegas Kisran Makati, salah satu perwakilan masyarakat sipil yang hadir dalam penyerahan dokumen tersebut.

Luka Ekologis dan Ancaman Kehidupan

Kisran Makati – Direktur PUSPAHAM Sulawesi Tenggara menjelaskan bahwa isi dari kedua dokumen tersebut mengurai bagaimana ekspansi industri tambang dan kawasan hilirisasi justru menyisakan dampak lingkungan dan sosial yang serius.

Di sejumlah kabupaten seperti konawe raya khususnya (Konawe Utara), Kolaka, hingga Bombana, ekspansi tambang telah menyebabkan deforestasi, pencemaran sungai dan tanah akibat limbah tambang, serta absennya reklamasi pasca tambang yang meninggalkan lubang-lubang raksasa yang berbahaya.

“Ini bukan sekadar soal tambang, tapi soal masa depan ruang hidup rakyat dilingkar tambang yang kini rusak parah dan terancam hilang,” ujar Kisran.

Lebih jauh, Kisran menyoroti bahwa hilirisasi yang dijalankan saat ini masih bersifat eksploitatif dan minim perlindungan terhadap masyarakat lokal.

PUSPAHAM: Hilirisasi Minerba Tanpa Reklamasi Adalah Jalan Menuju Krisis Lingkungan
PUSPAHAM: Hilirisasi Minerba Tanpa Reklamasi Adalah Jalan Menuju Krisis Lingkungan

Ia menyebut, banyak warga yang kehilangan lahan pertanian dan wilayah kelola dan kearifan lokalnya akibat masuknya kawasan industri, bahkan tidak sedikit yang mengalami kriminalisasi karena mempertahankan hak atas tanahnya.

“Kami menyaksikan sendiri bagaimana warga yang menolak penggusuran ditangkap, dan konsultasi publik hanya menjadi formalitas,” kata Kisran.

Ironi lain yang diangkat dalam dokumen tersebut adalah ketergantungan kawasan industri hilirisasi pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara.

Menurut Kisran, hal ini sangat bertentangan dengan komitmen pemerintah terhadap transisi energi dan pembangunan rendah karbon.

“Alih-alih menciptakan industri hijau, kawasan hilirisasi justru menjadi sumber emisi baru dan polusi udara,” tegasnya.

Seruan untuk Evaluasi dan Perubahan Arah

Melalui penyerahan dokumen tersebut, Kisran Makati sebagai perwakilan Koalisi Sulawesi Green Voice menyerukan lima tuntutan utama kepada Pemerintah Pusat dan Daerah:

Evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan hilirisasi yang tidak inklusif;
Reklamasi dan pemulihan lingkungan sebagai kewajiban mutlak pasca tambang;

Penghentian kriminalisasi terhadap pembela lingkungan dan HAM;
Perlindungan wilayah kelola rakyat dan penghidupan lokal;

Transformasi arah hilirisasi agar adil secara ekologis dan sosial.

“Pembangunan harusnya melindungi dan memuliakan kehidupan, bukan menghancurkannya demi surplus ekonomi,” tutup Kisran.

Penyerahan dokumen ini menjadi penanda bahwa pembangunan industri, jika tidak disertai dengan tanggung jawab ekologis dan sosial, hanya akan menjadi bom waktu bagi masa depan Sulawesi Tenggara dan Indonesia secara keseluruhan.***

Komentar