Example floating
Example floating
Berita UtamaKendariOpini

Sengketa Agraria, Non Eksekutabel Menjawab Putusan Inkracht yang Berkekuatan Hukum Tetap

×

Sengketa Agraria, Non Eksekutabel Menjawab Putusan Inkracht yang Berkekuatan Hukum Tetap

Sebarkan artikel ini
Sengketa Agraria, Non Eksekutabel Menjawab Putusan Inkracht yang Berkekuatan Hukum Tetap
MAS’UD, SH., CMLC

Sengketa Agraria, Non Eksekutabel Menjawab Putusan Inkracht yang Berkekuatan Hukum Tetap

Oleh: MAS’UD, SH., CMLC TEGAS.CO

Putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) seharusnya menjadi puncak penegakan keadilan, menjamin kepastian bagi para pihak yang bersengketa.

Namun, dalam praktik peradilan, seringkali harapan itu terbentur pada sebuah terminologi yang dingin dan mengecewakan, Non Eksekutabel.

Non eksekutabel, yang berarti putusan hukum tidak dapat dilaksanakan (dieksekusi), adalah momok bagi para pemenang perkara.

Mereka memegang secarik kertas yang sah secara hukum, tetapi tak memiliki daya guna di hadapan realitas.

Lantas, mengapa putusan yang lahir dari proses hukum yang panjang dan mahal bisa berakhir sebagai dokumen tak bertuan?

Problematika utama non eksekutabel terletak pada jurang pemisah antara teks putusan di ruang sidang dengan kondisi faktual di lapangan.

Beberapa penyebab mendasar yang seringkali menjadikan putusan mandul adalah:

Putusan memerintahkan penyerahan sebidang tanah, namun di lapangan, tanah itu sudah berubah bentuk, hilang, atau dikuasai oleh pihak ketiga yang tidak ikut berperkara.

Ini menunjukkan adanya kelemahan dalam proses konstatering atau bahkan manipulasi objek sengketa selama proses peradilan berjalan.

Adakalanya, amar putusan secara teknis tidak mungkin dilaksanakan. Misalnya, putusan memerintahkan pengembalian aset yang secara hukum sudah berubah status menjadi milik negara atau aset publik.

Hakim, dalam memutuskan, seharusnya mempertimbangkan aspek kepatutan dan kemungkinan teknis pelaksanaan di masa depan.

Ketika dua putusan pengadilan yang berbeda (misalnya, satu dari pengadilan perdata, satu dari pengadilan agama) sama-sama inkracht dan objeknya saling tumpang tindih, Ketua Pengadilan Negeri akan berada di posisi sulit.

Eksekusi salah satu putusan otomatis melanggar putusan yang lain, menciptakan kebuntuan hukum.

Tonton video tiktok tegas.co di bawah ini ๐Ÿ‘‡๐Ÿ‘‡๐Ÿ‘‡๐Ÿ‘

Fenomena non eksekutabel bukan hanya sekadar “ketidakadaan objek” atau “amar yang sulit.” Lebih jauh, ini adalah cerminan dari kegagalan sistemik yang perlu dikritisi.

Kasus non eksekutabel seringkali bisa diminimalisir jika proses konstatering (pencocokan objek) yang dilakukan sebelum eksekusi benar-benar akurat, melibatkan semua pihak, dan mendokumentasikan kondisi objek secara detail.

Jika objek sudah tidak sesuai sejak awal, seharusnya Ketua Pengadilan berhati-hati sebelum mengeluarkan penetapan eksekusi.

Hakim, saat merumuskan amar putusan, haruslah berpikir eksekutif (berorientasi pada pelaksanaan). Putusan yang bersifat deklaratoir (hanya menyatakan hak) dan bukan kondemnator (memerintahkan tergugat melakukan sesuatu) seringkali berakhir non eksekutabel karena tidak ada perintah konkret yang bisa dieksekusi oleh Jurusita.

Ketika sebuah putusan dinyatakan non eksekutabel, proses eksekusi akan terhenti. Ini memang dianggap sebagai penetapan final oleh Ketua Pengadilan Negeri, sebuah pintu mati bagi pemohon. Namun, pemohon eksekusi tidak boleh pasrah begitu saja.

Mereka masih memiliki opsi mengajukan gugatan baru dengan dasar dan objek yang lebih jelas, atau mencari upaya hukum lain yang relevan.

Baca juga ๐Ÿ‘‡๐Ÿ‘‡๐Ÿ‘‡

https://tegas.co/2025/10/30/mengenal-konstatering-sebelum-eksekusi-pengadilan/

Penting bagi Mahkamah Agung (MA) untuk terus memperkuat pedoman bagi pengadilan di tingkat pertama, setiap putusan haruslah eksekutabel.

Keadilan sejati tidak hanya terletak pada pengakuan hak di atas kertas, tetapi pada kemampuan negara untuk mewujudkan hak itu secara nyata di lapangan.

Jika tidak, biaya dan waktu yang dihabiskan untuk berperkara akan menjadi sia-sia, merusak kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.

Putusan non-eksekutabel diatur melalui peraturan perundang-undangan, seperti HIR (Herzien Inlandsch Reglement), RBg (Rechtreglement voor de Buitengewesten), dan UU Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Klik disini contoh kasus non eksekutable

Example 120x600