LEGAL OPINION: Non-Eksekutabel dalam Sengketa Tanah
Sengketa tanah merupakan salah satu jenis perkara perdata yang paling kompleks dan sering terjadi dalam sistem hukum di Indonesia. Permasalahan ini tidak hanya melibatkan aspek kepemilikan dan batas-batas fisik, tetapi juga menyentuh dimensi sejarah penguasaan, status hukum, dan kepentingan ekonomi para pihak.
Dalam penanganan sengketa ini, proses peradilan bertujuan untuk mencapai suatu putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan dapat dieksekusi, sehingga memberikan kepastian hukum dan mengakhiri konflik.
Namun, tidak semua putusan pengadilan yang memenangkan salah satu pihak dapat secara mulus dilaksanakan di lapangan. Seringkali, pihak pemenang berhadapan dengan fenomena “putusan non-eksekutabel” sebuah kondisi di mana putusan yang secara formal benar dan sah, tidak dapat dieksekusi atau pelaksanaannya terkendala oleh berbagai faktor.
Pembahasan mengenai non-eksekutabel dalam sengketa tanah ini menjadi krusial karena menyentuh efektivitas peradilan dan kredibilitas lembaga penegak hukum. Putusan yang tidak dapat dieksekusi akan mencederai rasa keadilan pihak yang dimenangkan dan berpotensi melanggengkan sengketa.
Tujuan utama opini ini adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara mendalam faktor-faktor apa saja yang menyebabkan suatu putusan dalam sengketa tanah menjadi non-eksekutabel. Faktor-faktor ini meliputi isu ketidakjelasan objek sengketa (tanah) dalam amar putusan, perlawanan pihak ketiga (derden verzet) yang beritikad baik, hingga adanya tumpang tindih kepemilikan atau alas hak lain yang tidak terakomodir sepenuhnya selama proses persidangan.
Melalui pemahaman yang komprehensif tentang hambatan eksekusi ini, diharapkan dapat dirumuskan rekomendasi perbaikan, baik dalam proses pembuktian, perumusan amar putusan, maupun mekanisme eksekusi yang lebih efektif dan berkeadilan.
Duduk perkara
Non-Eksekutabel adalah suatu kondisi dimana suatu putusan pengadilan yang telah inkracht tidak dapat dilaksanakan secara paksa oleh Jurusita Pengadilan. Putusan tersebut, meskipun sah dan mengikat secara hukum, kehilangan daya paksa dan kegunaan praktisnya, sehingga hanya menjadi “dokumen mati” (paper judgment).
Berdasarkan uraian, terdapat beberapa sebab mendasar yang menyebabkan sebuah putusan menjadi non-eksekutabel:
Putusan memerintahkan penyerahan tanah, namun di lapangan tanah tersebut telah berubah bentuk (misalnya, sudah dibangun bangunan permanen), hilang akibat bencana, atau dialihfungsikan.
Objek sengketa dikuasai oleh pihak ketiga yang tidak terlibat dalam perkara awal (derden) dan memiliki bukti kepemilikan atau penguasaan yang sah. Hal ini sering berujung pada mekanisme Derden Verzet.
Kegagalan dalam proses pemeriksaan dan pencocokan objek sengketa (constatering) sejak awal persidangan, sehingga objek yang diputuskan tidak lagi sesuai dengan realitas.
Putusan hanya menyatakan suatu keadaan hukum (misalnya, “menguatkan sertifikat milik Penggugat”) tanpa diikuti perintah konkret dan memaksa kepada pihak lawan (condemnatoir), seperti “memerintahkan Tergugat untuk menyerahkan tanah”.
Putusan memerintahkan sesuatu yang secara fisik atau hukum mustahil, misalnya mengembalikan aset yang status kepemilikannya telah beralih secara sah kepada negara atau pihak lain melalui proses hukum yang berbeda.
Pendapat hukum
Proses eksekusi akan dihentikan oleh Ketua Pengadilan Negeri setelah melalui proses constatering yang menemukan hal-hal sebagaimana diuraikan di atas.
Hakim tidak hanya bertugas memutus berdasarkan hukum, tetapi juga harus memikirkan aspek implementasi. Sebuah putusan harus dirumuskan secara kondemnatoir dan eksekutif, artinya jelas, terukur, dan memungkinkan untuk dilaksanakan oleh Jurusita.
Ketua Pengadilan Negeri memegang peran kunci dalam tahap eksekusi. Sebelum menerbitkan Penetapan Eksekusi, Ketua PN wajib memastikan bahwa objek eksekusi masih ada dan memungkinkan untuk dieksekusi berdasarkan hasil constatering.
Prosedur eksekusi diatur dalam HIR (Herziene Inlandsch Reglement) dan RBg (Rechtsreglement Buitengewesten). Mengatur eksekusi dalam lingkungan Peradilan Umum.. Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Mengatur eksekusi dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
Analisis hukum
Putusan pengadilan dalam sengketa tanah seharusnya berfungsi sebagai titik akhir konflik. Namun, kenyataannya, banyak putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) gagal dieksekusi (non-eksekutabel). Secara hukum, kondisi ini terutama disebabkan oleh tiga pilar masalah utama: Ketidakjelasan Objek, Intervensi Pihak Ketiga, dan Karakteristik Hukum Pertanahan.
Penyebab paling umum dari putusan non-eksekutabel adalah ketidakjelasan atau ketidakpastian mengenai objek eksekusi (tanah yang disengketakan) diantaranya, Identifikasi objek tidak jelas ( Onvoldoende Bepaald ): Amar putusan yang tidak secara rinci dan spesifik menyebutkan luas, batas-batas, dan letak geografis tanah yang dimenangkan.
Hal ini sering terjadi karena hakim hanya mendasarkan pada bukti surat tanpa melakukan pemeriksaan lokasi yang memadai atau mendengarkan keterangan saksi yang akurat mengenai batas-batas riil.
Terdapat ketidaksesuaian antara bukti kepemilikan formal (sertifikat/girik) dengan fakta penguasaan fisik di lapangan. Eksekusi menjadi mustahil jika juru sita tidak dapat menentukan di mana persisnya batas tanah yang harus dikembalikan.
Selama proses hukum yang panjang, objek sengketa mungkin telah didirikan bangunan permanen atau dibagi-bagi, sehingga pelaksanaannya akan menimbulkan kerugian material baru yang signifikan atau memerlukan pembongkaran.
Secara doktrin hukum, ketidakjelasan objek sengketa (obscuur libel) seharusnya membuat gugatan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijke verklaard – NO) sejak awal. Namun, banyak putusan inkracht yang terlanjur diterbitkan justru mengalami masalah saat tahap eksekusi.
Eksekusi sering terhambat atau batal karena adanya perlawanan dari pihak ketiga yang merasa haknya dirugikan oleh putusan tersebut, padahal mereka bukan pihak dalam perkara pokok.
Seseorang yang membeli atau memperoleh hak atas tanah sengketa secara sah dari pihak yang kalah, dan ia tidak mengetahui sedang ada sengketa. Jika eksekusi dilakukan, haknya yang dilindungi oleh hukum (misalnya, hak atas sertifikat yang sah dan beritikad baik) akan terlanggar.
Putusan dinyatakan non-eksekutabel jika tidak dapat dilaksanakan, misalnya karena objek sengketa tidak jelas batas-batasnya, putusan yang bersifat deklaratoir/konstitutif, atau objek berada di tangan pihak ketiga.
Penetapan non-eksekutabel harus didasarkan pada Berita Acara (BA) yang dibuat oleh Juru Sita yang diperintahkan untuk melaksanakan putusan (seperti diatur dalam Pasal 209 RBg), yang menyatakan secara resmi bahwa eksekusi tidak dapat dijalankan.
Salah satu penyebab utama sebuah putusan dinyatakan non-eksekutabel adalah jika putusan tersebut bersifat Deklaratoir (menyatakan suatu keadaan hukum) atau Konstitutif (menciptakan suatu keadaan hukum baru), dan bukan Condemnator (putusan yang menghukum pihak yang kalah untuk melakukan, membayar, atau menyerahkan sesuatu). Putusan yang dapat dieksekusi hanyalah putusan yang bersifat Condemnator.
KESIMPULAN
Status Non-Eksekutabel pada sebuah putusan inkracht merupakan kegagalan sistemik dalam proses peradilan, yang disebabkan oleh faktor-faktor seperti ketidaksesuaian objek, perumusan amar yang lemah, dan konflik putusan.
Problematika ini mencerminkan jurang pemisah antara hukum formil di pengadilan dengan realitas faktual di lapangan, yang seringkali berakar pada kelemahan proses constatering dan pertimbangan hakim yang tidak memadai mengenai aspek eksekutabilitas.
Putusan yang non-eksekutabel pada dasarnya merupakan akhir dari upaya eksekusi untuk perkara tersebut. Namun, hal ini bukanlah akhir dari perjalanan hukum para pihak sepenuhnya.
REKOMENDASI
Meskipun penetapan non-eksekutabel bersifat final, jalan hukum masih terbuka. Pemohon dapat mempertimbangkan untuk mengajukan gugatan perdata baru dengan dasar dan objek yang lebih jelas serta dapat dipertanggungjawabkan secara faktual.
Lakukan pendataan dan pengumpulan bukti yang kuat mengenai kondisi riil objek sengketa sebelum dan selama proses persidangan.
Hakim harus mengadopsi pendekatan executive-minded thinking dalam merumuskan amar putusan, memastikan bahwa putusannya bersifat kondemnatoir dan secara teknis dapat dilaksanakan.
Pengadilan harus meningkatkan ketelitian dalam proses konstatering dan memastikan objek sengketa telah diidentifikasi dengan tepat sebelum putusan dijatuhkan.
Mahkamah Agung perlu memperkuat pedoman dan sosialisasi kepada hakim di semua tingkatan mengenai pentingnya membuat putusan yang eksekutabel, sebagai bagian integral dari keadilan substantif.
Keadilan tidak hanya harus ditegakkan, tetapi juga harus dapat dijalankan. Putusan yang non-eksekutabel merupakan pengingat keras bahwa efektivitas dan kredibilitas peradilan diuji pada tahap eksekusi, bukan hanya pada tahap putusan.
Oleh: MAS’UD, SH., C.M.L.C (Mahasiswa paska sarjana ilmu-ilmu hukum)


