Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Opini

DAGELAN DEMOKRASI, DENDANG JANJI TANPA BUKTI

2849
×

DAGELAN DEMOKRASI, DENDANG JANJI TANPA BUKTI

Sebarkan artikel ini
Dagelan Demokrasi, Dendang Janji Tanpa Bukti
Dewi Masitah


“Buta yang terburuk adalah buta politik, dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung,biaya sewa, harga sepatu, dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang yang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membencipolitik. Si dungu tidak tahu bahwa, dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional.” (Bertolt Brecht)

Kontestasi politik yang sengit telah dipertontonkan pada Pemilu 2019, 17 April lalu. Pilpres yang hingga kini belum menemui titik temu dan menjadi pembicaraan hangat di tengah masyarakat. Konstelasi politik dalam negeri begitu panas, status siaga satu para aparat belum lepas. Rakyat tentunya berharap banyak, bahwa akan ada perubahan signifikan pada hidupnya di tahun-tahun mendatang. Harapan untuk pendidikan, harapan untuk pemerintahan yang lebih baik, harga-harga yang lebih stabil ataupun biaya pendidikan yang lebih terjangkau. Tepatlah kiranya menelaah serangkai kalimat Bertolt Brech, penyair Jerman.

Dilansir dalam tirto.id pada 17 April 2019, pemilihan umum 2019 mengalami banyak kendala. Distribusi logistik, kekurangan surat suara, kerusakan kotak suara, hingga surat suara tercoblos lebih dulu adalah beberapa hal yang menunjukkan kendala pemilu. Setidaknya ada belasan kabupaten/ kota yang terhambat melaksanakan pemilu karena kendala-kendala di atas. Kasus pertama terjadi di kabupaten Timor Tengah Utara dan Nusa Tenggara Timur. Keterlambatan logistik juga terjadi di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Akibatnya, ada 11 kecamatan yang terancam tidak bisa mencoblos. Polisi akhirnya dilibatkan untuk mempercepat distribusi logistik tersebut. Kasus kedua yakni kerusakan kotak suara juga terjadi di banyak tempat, seperti di Kecamatan Tamansari dan Ciseeng, Kabupaten Bogor.

Kasus pemilu yang selanjutnya adalah banyaknya anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dan sakit. Jumlah anggota KPPS meninggal dunia bertambah menjadi 225. Selain itu, sebanyak 1.470 anggota KPPS dilaporkan sakit. Angka ini mengacu pada data KPU per Kamis (25/4/2019) pukul 18.00 WIB. (nasional.kompas.com, 25/04/19)

Jargon Manis, Minus Bukti

Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, demokratia, yang artinya adalah kekuasaan rakyat. Demokrasi sendiri terdiri atas kata Demos yang berarti “rakyat” dan Kratos berarti kekuasaan atau kekuatan. Secara umum, demokrasi dapat diartikan sebagai format pemerintah dimana kekuasaan paling tinggi ada di tangan rakyat. Jadi secara teori, rakyatlah yang memegang kuasa atas pemerintahan melalui wakil-wakilnya. Ditambah lagi bahwa demokrasi memiliki jargo mulia, yakni “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Namun apakah kenyataan dapat relevan dengan teori?

Realitas praktek demokrasi di negeri Indonesia tercinta masih jauh panggang dari api. Para elit-elit politik saling bertarung untuk kepentingan mereka sendiri, bukan sepenuhnya kepentingan rakyat/ konstituen yang memilih mereka dan yang mereka wakili. Padahal, biaya pemilu misalnya sudah jelas memakai uang negara dan tentunya uang dan sumber daya alam milik rakyat.Direktur Jenderal Anggaran (Dirjen Anggaran) Askolani memaparkan jumlah anggaran yang terkait dengan pesta demokrasi ini. Dengan persiapan sejak tahun 2017, total anggaran penyelenggaraan, di luar anggaran pendukung dan pengawasan, hingga tahun 2019 berjumlah Rp25,59 triliun. Tentu bukan anggaran yang sedikit. Karena itu, rakyat berharap banyak.

Namun, terkadang harapan tinggallah harapan. Belajar dari pemilu sebelumnya, harapan rakyat menjadi Raja hanyalah sekedar asa yang menguap seperti debu. Dikalahkan oleh kerasnya jual beli suara dan manuver politik yang berkamuflase segala rupa. Seringkali, janji kampanye hanyalah sekedar bentuk komunikasi politik untuk meraih simpati, mendapatkan suara. Rancangan yang hebat saat kampanye, jadi “memble” saat pelaksanaannya. Sikap korupsi, tidak amanah dan tidak menyuarakan hak rakyat mewarnai hari-hari rakyat pasca pemilu.

Film Sexy Killer sedikit banyak mengurai fakta bagaimana mesranya pengusaha dan oknum penguasa menggerogoti harta rakyat. Pada akhirnya rakyat harus menelan pil pahit kesulitan demi kesulitan. Sementara para elite bermain peran sambil mendendangkan janji manis demokrasi yang tak kunjung memberi bukti.

Islam dan Pemerintahan

Berbeda dengan demokrasi yang memisahkan agama dari pemerintahan, Islam justru menggabungkan keduanya. Demikian juga bahwa politik tidak dapat dipisahkan dari agama. Politik dalam pandangan Islam tidak melulu hanya soal jabatan, kekuasaandan harta. Politik dalam Islam menyandarkan filosofinya pada kepedulian pada seluruh urusan umat.  Tidak peduli pada urusan umat berisiko pada penolakan Rasulullah SAW untuk mengakuinya sebagai umtnya. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang bangun pagi tetapi dia tidak memikirkan kepentingan umat Islam maka dia bukan umatku.” (HR. Muslim).

Islam mengajarkan bahwa tugas pemimpin adalah mengurusi kepentingan rakyat sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, “Pemimpin yang menangani urusan masyarakat adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.” (HR. Bukhari Muslim).

Mengutip perkataan Ibnu Taimiyah, “Jika kekuasaan terpisah dari agama atau jika agama terpisah dari kekuasaan, niscaya keadaan manusia akan rusak.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, XXVIII/394). 

Juga perkataan Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin Kekuasaan dan agama adalah saudara kembar; agama merupakan pondasi dan penguasa adalah penjaganya.

Apa saja yang tidak memiliki pondasi akan hancur, dan apa saja yang tidak memiliki penjaga akan hilang. Dan tidaklah sempurna kekuasaan dan hukum kecuali dengan adanya pemimpin”.

Dengan demikian jelaslah bahwa seharusnya sistem pemerintahan dan orang-orang yang ada di dalamnya tidak boleh hanya menjadikan janji perubahan dan pelayanan sebagai lips service semata.

Lebih dari itu, pelayanan kepada rakyat haruslah diprioritaskan dan menjadi bahan pemikiran setiap orang. Sebagaimana pada sumpah jabatan untuk mementingkan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi dan golongan.

Hal prinsip yang juga harus dipahami adalah bahwa kedaulatan haruslah diletakkan pada Allah SWT. Kedaulatan  (siyadah/sovereignty) haruslah disandarkan pada Hukum Syara’ yang Allah SWT telah berikan untuk manusia. Sehingga, rakyat maupun pemerintah harus bertindak berlandaskan rambu perintah atau larangan yang Allah SWT telah informasikan dalam hukum syara’.

Dengan demikian, manusia tidak dapat bertindak semaunya atau sesuai kepentingannya. Jika manusia hanya bertindak semaunya, maka kehancuran dan kekecewaanlah yang akan didapatkan.

Jika buta yang terburuk adalah buta politik, maka penglihatan yang baik tentunya adalah penglihatan pada politik. Melihat semua kekisruhan yang terjadi, sudah sewajarnya manusia kembali pada bagaimana Allah SWT telah mengatur hidup manusia, termasuk dalam kehidupan bernegara ataupun pemerintahan dan kepemimpinan.

Demokrasi sejatinya adalah sistem buatan manusia yang memiliki nilai nisbi yang relatif. Jargon manis tanpa bukti hanya membawa kekecewaan mendalam. Sudah saat kembali pada syariah Islam dan berharap rahmat Allah SWT menyapa kehidupan masyarakat, membawa pada kehidupan yang sejahtera dan bermartabat. Wallahu a’lam Bishawwab

WULAN AMALIA PUTRI

Terima kasih

error: Jangan copy kerjamu bos