Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Opini

Menakar Nalar Pernyataan Wanita Muslimah Tidak Wajib Pakai Jilbab

1204
×

Menakar Nalar Pernyataan Wanita Muslimah Tidak Wajib Pakai Jilbab

Sebarkan artikel ini
Menakar Nalar Pernyataan Wanita Muslimah Tidak Wajib Pakai Jilbab
Ainul Mizan

Pernyataan bahwa wanita muslimah tidak wajib memakai jilbab bisa berdampak serius. Seolah menjadi legitimasi bagi wanita muslimah yang belum mau berjilbab untuk tetap dalam keadaan tidak berjilbab. Apalagi pernyataan tersebut dipakai untuk semakin mengukuhkan pandangan bahwa yang penting hatinya berjilbab. Belum tentu yang berjilbab itu perilakunya baik.

Terdapat beberapa kesalahan mendasar atas pernyataan jilbab tidak wajib, ditinjau dari sudut pandang sebagaimana berikut ini.

Pertama, Kesalahan dari aspek metodologis.

Kesalahan metodologis terletak pada anggapan bahwa ada kesenjangan antara persoalan kekinian dengan hasil penafsiran al – Qur’an. Padahal diyakini bahwa al – Qur’an akan bisa memberikan solusi atas setiap persoalan kemanusiaan di setiap waktu dan tempat. Kesimpulan yang diambil bahwa perlu ada proses kontekstualisasi ayat al – Qur’an agar selaras dengan perubahan jaman.

Yang dikedepankan dalam kontekstualisasi ini adalah pencapaian tujuan – tujuan syariat yang tercakup dalam maqashidusy syariah. Materi hukum bisa berubah seiring dengan perubahan jaman dan tempat. Dengan demikian, Al – Qur’an akan dapat memberikan jawaban atas setiap persoalan manusia moderen saat ini. Yang penting adalah tercapainya maqashidusy syariah tanpa kaku berpegang pada materi hukumnya. Dengan kata lain, kebenaran bagi teori ini relatif. Kesimpulannya penafsiran al – Qur’an itu relatif.

Sebagai contoh dalam kasus pencurian. Allohswt berfirman:

السارقوالسارقةفاقطعواايديهمابماكسبانكالامناللّه

Artinya:

Lelaki yang mencuri dan wanita yang mencuri, maka potonglah tangan keduanya sebab yang dilakukan keduanya sebagai hukuman dari Alloh.

Dari ayat ini bisa dipahami bahwa sangsi bagi pencuri adalah dipotong tangannya. Selanjutnya hadits menyatakan bahwa tangan dipotong dalam kasus pencurian yang mencapai nilai seperempat dinar atau lebih.

Apabila ditinjau dari pencapaian maqashidusy syariah yakni hifdzulmaal (menjaga harta benda), tentunya sangsi potong tangan menjadi jaminan keamanan harta. Hanya saja pola berpikir kontekstualisasi dalam tafsir maqashidi tidak cukup adanya hifdzun (penjagaan), perlu ada tanmiyah (pengembangan).

Tanmiyah dalam hal ini dilakukan dengan membandingkan konteks sosiologi kultural saat jamannya Nabi dengan jaman sekarang. Perang antar suku masih kental. Tentunya pencurian dipandang sebagai perbuatan yang melanggar hak pihak lain. Maka diperlukan sangsi yang tegas dan keras yakni potong tangan.

Berbeda dengan era saat ini. Deklarasi atas HAM (Hak Asasi Manusia), dan ruang keterbukaan yang sama termasuk dalam ekonomi, menjadi kontekstual yang harus dipertimbangkan. Jadi tidak mengherankan bila sangsi potong tangan dipandang bertentangan dengan HAM.

Alasan yang mendasari kontekstualisasi ini adalah riwayat dari Umar bin Khotthobra yang pernah menetapkan tidak ada sangsi potong tangan atas pencurian yang sudah sampai nisab. Pendek kata, materi hukum boleh diubah demi tercapainya maqashidusy syariah yakni menjaga harta. Walhasil sangsi penjara atas kasus pencurian dipandang lebih tepat dilakukan saat ini. Sementara itu sangsi potong tangan dipandang kejam.

Penggunaan kontekstualisasi dalam pengambilan materi hukum Islam tentunya bersifat destruktif. Tidak ada lagi hukum yang baku di dalam Islam. Artinya manusia dengan leluasa mengobok – obok hukum Islam sesuai dengan hawa nafsunya atas nama kontekstualisasi.

Tinggal satu persoalan yaitu konsep tanmiyah yang mengambil dasar Umar ra yang tidak memotong tangan pencuri. Dalam hal ini, Umar ra menjalankan sabda Nabi yang menyatakan bahwa tidak ada potong tangan pada masa paceklik berkepanjangan. Hal ini adalah keringanan yang diakui oleh nash, bukan oleh hawa nafsu Umar ra.

Kedua., Kesalahan pengambilan kesimpulan hukum.

Dalam konteks pakaian muslimah ini diambil hukum bahwa jilbab itu tidak wajib. Saatnya untuk melihat lebih dekat dasar pengambilan hukum tersebut.

Surat alAhzab ayat 59 menjadi dasar hukum atas pakaian wanita muslimah. Ayatnya menyatakan:

ياايهاالنبيقللازواجكوبناتكونساءالمؤمنينيدنينعليهنمنجلابيبهن،ذلكانيعرفنفلايؤذين.

Wahai Nabi, katakanlah kepada istri – istrimu, anak perempuanmu dan kepada wanita beriman agar mereka menjulurkan dari jilbabnya atas diri mereka. Yang demikian itu menjadikan mereka mudah dikenal dan tidak diganggu.

Kontekstualisasi ayat tersebut menyatakan bahwa wanita – wanita merdeka kadangkala digoda oleh orang fasik. Turunnya kewajiban jilbab untuk membedakan mereka dengan budak.

 Sedangkan saat ini, wanita bebas dan aman dari gangguan. Oleh karenanya memakai jilbab tidak wajib bagi muslimah.

Teori kontekstualisasi telah menempatkan frase “agar mereka mudah dikenali dan tidak diganggu” sebagai illat hukum. Sedangkan kaidah fiqih menyatakan bahwa

الحكميدورمععللهوجوداوعدما

Hukum itu mengikuti illatnya, ada dan atau tidak adanya. Artinya, jika illat (alasan penetapan hukum) tidak ditemukan, maka gugurlah hukum tersebut.

Dalam konteks bahasan jilbab, tentunya jika sudah tidak diganggu maka memakai jilbab hukumnya tidak wajib. Lantas pertanyaannya, apakah wanita boleh menampakkan auratnya seperti rambut, telinga dan lehernya termasuk warna kulitnya karena tidak adanya gangguan?

Sesungguhnya kewajiban memakai jilbab bagi wanita yang dewasa itu tidak terikat oleh illat. Buktinya Rasul Saw pernah berkata kepada Asma, ” Wahai Asma, wanita bila sudah dewasa tidak boleh terlihat darinya kecuali ini dan ini”. Beliau Saw memberikan isyarat pada wajah dan kedua telapak tangannya.

Adapun terkait makna jilbab. Perbedaan dalam jilbab hanya dalam pendefinisian, bukan dalam hal status hukumnya wajib atau tidak. Sudah maklum di kalangan ulama bahwa jilbab itu wajib.

Apapun itu pendefinisian jilbab baik itu milhafah, mula’ah, dan sirdab, semuanya menunjuk kepada pengertian sebuah baju yang longgar digunakan untuk menutupi keseluruhan tubuh wanita. Jilbab dipakai di atas baju keseharian. Pengertian demikian bisa diambil dari riwayat Ummu Athiyah yang bercerita bahwa Nabi saw menganjurkan para wanita yang haidh juga ikut keluar saat hari Raya guna mendengarkan nasehat. Lantas ummuathiyah berkata:

احدانالايكونلهاجلباب،

Salah seorang dari kami ada yang tidak punya jilbab.

Nabi saw menjawab:

لتلبسهااختهاجلبابها

Saudarinya agar meminjamkan jilbabnya.

Jadi jilbab itu pakaian muslimah saat keluar rumah.Islam tidak membatasi corak dan motif jilbab. Termasuk Islam tidak membatasi warna dan bahan jilbab. Boleh jilbab itu berwarna merah, hijau dan lainnya. Atau bahannya dari nilon, katun dan lainnya.

Ketiga. Kaidah berpikir Defensif Apologetik.

Berpikir defensif apologetik itu adalah cara berpikir untuk mempertahankan diri dari serangan lawan dari luar. Hanya saja anehnya, mempertahankan dirinya dengan metode membenarkan serangan dan tuduhan dari orang lain.

Berpikir defensif apologetik terjadi di saat umat Islam merasa inferior atas kedigjayaan ideologi Kapitalisme yang mendominasi saat ini. Produk pemikiran dari barat diagungkan. Bahkan tidak segan – segan harus dilakukan dengan kelicikan intelektual agar mendapatkan legitimasi. Tujuannya untuk melakukan moderasi ajaran Islam agar bisa bersahabat dengan ideologi dan pandangan hidup barat.

Di dalam teori kontekstualisasi tafsir yang dipandang kesenjangan dunia moderen dengan tafsir klasik sebenarnya merupakan sebuah tekanan intelektual. Dengan kata lain, Islam dipandang kolot bila mempertahankan pakaian jaman onta. Wanita yang sukses dan berkarir adalah mereka yang tidak dikungkung kakunya aturan teologis. Propagandanya, bila ingin sukses, maka jangan segan meniru gaya hidup wanita moderen yang bebas nilai seperti wanita barat.

Jadi pernyataan jilbab tidak wajib, lebih menunjukkan kekalahan intelektual di hadapan ideologi liberal barat. Mereka ingin membela Islam dengan cara membenarkan tuduhan kekolotan Islam. Lantas, yang mereka korbankan adalah ajaran Islam itu sendiri. Padahal seharusnya yang dilakukan adalah menunjukkan ajaran Islam yang genuine dan mampu memberikan solusi atas berbagai persoalan. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang khas diliputi oleh keimanan dan ketaqwaan. Masyarakat Islam bukanlah masyarakat campuran yang dicelup kebebasan dan sekulerisme yang lambat laun akan menuju kehancuran.

oleh Ainul Mizan (Pemerhati Sosial dan Politik)

error: Jangan copy kerjamu bos