Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Opini

Nasib Guru Honorer Dalam Tatanan Sistem Kapitalis-Sekuler

1861
×

Nasib Guru Honorer Dalam Tatanan Sistem Kapitalis-Sekuler

Sebarkan artikel ini

Oleh: NELLY, M.Pd

Penulis, Aktifis Peduli Negeri, Pemerhati Masalah Pendidikan, Politik, Sosial Kemasyarakatan

Sungguh pilu dan menyayat hati kabar baru-baru ini tentang nasib para guru honorer yang makin tidak ada kejelasan dan malah dianggap pemerintah sebagai beban negara. Mungkin saja kedepannya akan dihapuskan, mengutip pemberitaan di finance.detik.com sabtu 25 Januari 2020 Menteri PAN-RB Tjahjo Kumolo menceritakan anggaran pemerintah pusat terbebani dengan kehadiran tenaga honorer, dikarenakan masih banyak dari daerah yang menggaji tenaga honorer bergantung dari anggaran pemerintah pusat.

Akhirnya pemerintahpun berenana akan segera menghapus penerimaan tenaga honorer,  penghapusan tenaga honorer sendiri sudah disepakati Kementerian PAN-RB dan BKN dengan Komisi II DPR. Ke depannya, pemerintah juga mengimbau kepada seluruh pejabat negara untuk tidak merekrut tenaga honorer.

Menurut data kemendikbd pada tahun 2018 ada sekitar  1,5 juta guru honorer seluruh Indonesia, bayangkan jika peraturan ini benar-benar akan di terapkan bagaimana nasib para guru honorer yang akan terkena dampaknya. Padahal kita tahu selama inipun status sebagai guru honorer sangatlah kurang layak dan jauh dari kata sejahtera bagi para pahlawan tanpa tanda jasa ini, bagaimana tidak dari segi gajih pada daerah-daerah tertentu ada dari mereka yang hanya menerima berkisar 200-300 ribu rupiah saja per perbulannya, itupun biasanya kerap kali molor dari tanggal penerimaannya, bahkan ada guru honorer yang tidak di gaji sama sekali. Padahal faktanya mereka sama-sama melakukan tugas yang sama, yaitu mengajar, piket, mengawasi ujian, mengawasi murid bahkan sering juga menjadi pembina dari kegiatan di sekolah. Hal ini lah yang kerap membuat para guru honorer ini berfikir keras agar dapur keluarga tetap mengepul, mereka diluaran pontang panting mencari pekerjaan tambahan lain. Semua ini mereka lakukan karena upah yang mereka dapatkan tak dapat menopang biaya hidup yang kita ketahui bersama semakin sulit dan semua mahal, terlebih untuk mereka yang sudah  memiliki keluarga yaitu anak dan istri.

Carut marut masalah nasib guru honorer ini memang sudah terjadi sejak lama. Namun negara nampak telah gagal memberi solusi tuntas atas persoalan minimnya kesejahteraan yang sejatinya memang menjadi hak setiap rakyat sekaligus menjadi tugas negara untuk memenuhinya. Alhasil, hingga adanya keputusan pemerintah untuk yang berujung akan dihapuskannya status pegawai honorer ini sejatinya menunjukkan bagaimana lemahnya visi negara terhadap pendidikan dan terhadap profil generasi masa depan yang ingin diwujudkan. Negara saat ini nampak tak sungguh-sungguh menganggap bahwa pendidikan adalah investasi masa depan generasi. Negara pun nampak tak sungguh-sungguh menempatkan pendidikan sebagai salah satu pilar peradaban yang seharusnya mendapat prioritas untuk di-ri’ayah/diurus demi kemaslahatan masyarakat dan negara yang lebih besar. Sehingga wajarlah jika level keseriusan untuk menyelesaikan semua karut marut dunia pendidikan, termasuk soal nasib para guru honorer yang perannya sangat dibutuhkan bahkan menjadi salah satu pilar penting penyelenggaraan pendidikan ini nampaknya masih sangat rendah. Kalah oleh target-target politik dan target pembangunan sektor lain yang secara pragmatis memang lebih bisa menguatkan citra demi melanggengkan kekuasaan.

Bahwa ada argumentasi yang dimunculkan soal ketidaksiapan pendanaan negara dalam menyelesaikan kasus ini, maka hal itu justru makin menunjukkan bahwa negara sesungguhnya telah gagal mengurusi urusan umat dengan segala potensi yang dimilikinya. Bagaimana bisa, negara sekaya raya Indonesia tak mampu mensejahterakan rakyat termasuk para guru seluruhnya? Kemana semua kekayaan alam yang dimiliki umat, berupa hasil-hasil tambang berupa emas dan lainnya, minyak bumi, gas, hasil hutan, laut, dan sebagainya? Mengapa kesejahteraan dan kehidupan penuh berkah demikian sulit diwujudkan oleh sistem sekuler dan negara bangsa sebesar Indonesia?

Posisi Guru dalam Islam

Sungguh kondisi ini berbeda dengan saat sistem Islam diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Dalam sistem Islam, aspek pendidikan mendapat perhatian sedemikian besar sejalan dengan pandangan syariat Islam yang menempatkan pendidikan sebagai salah satu pilar peradaban. Secara konsep, Islam menempatkan ilmu, orang yang berilmu dan mempelajari ilmu ada dalam posisi yang mulia. Menuntutnya, dihukumi wajib. Bahkan majelis-majelis ilmu diibaratkan sebagai taman-taman surga. Dan para penuntutnya diberi jaminan doa terbaik dari para malaikat dan seluruh makhluk yang ada di muka bumi. Inilah yang mempengaruhi visi negara Islam (Khilafah) dalam berbagai kebijakan pendidikan. Khilafah memberikan perhatian maksimal dalam mewujudkan sistem pendidikan terbaik bagi rakyat dan semua yang terlibat dalam mewujudkannya, termasuk para guru. Dalam sistem Khilafah, tak pernah terdengar kasus-kasus kekisruhan akibat diskriminasi dalam penyelenggaraan pendidikan termasuk soal jaminan kesejahteraan para guru.

Banyak literatur menyebutkan kisah-kisah heroik menyangkut perhatian besar penguasa dan berbagai kemudahan yang disediakan negara terhadap layanan pendidikan bagi umat dan para pelaksananya. Sebut saja dalam urusan pendidikan dalam Islam akan digratiskan negara, adanya santunan bagi pelajar, terdapat lembaga-lembaga pendidikan berkelas dan mudah diakses, pengajihan guru yang fantastis, dan lain-lain adalah perkara-perkara yang lumrah ditemui sepanjang sejarah peradaban Islam yang pernah diterapkan selama kurang lebih 1300 tahun lamanya. Hingga dunia pendidikan yang diatur oleh khilafah berhasil menghantarkan umat Islam sebagai umat terbaik bahkan menjadi mercusuar peradaban dunia di era kegelapan saat itu. Sejarah telah mencatat bahwa guru dalam naungan Khilafah mendapatkan penghargaan yang tinggi dari negara termaksud pemberian gaji yang melampaui kebutuhannya. Di riwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqoh ad-Dimasyqi, dar al- Wadl-iah bin Atha, bahwasanya ada tiga orang guru di Madimah yang mengajar anak-anak dan Khalifah Umar bin Khattab memberi gaji lima belas dinar (1 dinar = 4,25 gram emas; 15 dinar = 63,75 gram emas; bila saat ini 1 gram emas Rp. 650 ribu, berarti gaji guru pada saat itu setiap bulannya sebesar 41.437.000). Sungguh luar biasa, dalam naungan Khilafah para guru akan terjamin kesejahteraannya dan dapat memberi perhatian penuh dalam mendidik anak-anak muridnya tanpa harus dipusingkan lagi untuk membagi waktu dan tenaga untuk mencari tambahan pendapatan. Tidak hanya itu, negara dalam naungah Khilafah juga menyediakan semua sarana dan prasarana secara cuma-cuma dalam menunjang profesionalitas guru menjalankan tugas mulianya. Sehingga selain mendapatkan gaji yang besar, mereka juga mendapatkan kemudahan untuk mengakses sarana dan prasarana untuk meningkatkan kualitas mengajarnya. Hal ini tentu akan membuat guru bisa fokus untuk menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan pencetak SDM berkualitas yang dibutuhkan negara untuk membangun peradaban yang agung dan mulia.

Maka dari itu kesejahteraan guru seperti yang tergambar diatas hanya akan didapatkan jika Islam diterapkan secara kaaffah dalam seluruh aspek kehidupan baik dalam urusan individu, masyarakat, maupun negara. Karena hanya sistem Islam yang datang dari Allah SWT, zat yang maha sempurna dan maha benar dalam naungan Khilafahlah yang akan memberikan kesejahteraan dan rahmatan lil alamin akan tercipta. 

Wallahu A’lam Bisshawab.