Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Opini

Belajar Dari Rumah, Mengoptimalkan Peran Ibu

1163
×

Belajar Dari Rumah, Mengoptimalkan Peran Ibu

Sebarkan artikel ini
Belajar Dari Rumah, Mengoptimalkan Peran Ibu
Zulhilda Nurwulan, S.Pd

Merebaknya pandemi covid 19 memaksa masyarakat untuk melakukan segala aktivitasnya di rumah tidak terkecuali dengan para siswa. Sejak mewabahnya covid 19 di Indonesia, pemerintah mengambil kebijakan agar para siswa dialihkan kegiatan belajarnya di rumah. Namun, hal ini menjadi dilema bagi orang tua khususnya kaum ibu yang harus menggantikan peran guru selama masa pendemi ini.

Selama ini, sekolah ibarat laundry dan guru ibarat mesin cuci. Sehingga membawa anak kesekolah sama halnya membawa pakaian kotor yang ketika pulang sudah bersih dari segala kotoran. Maksudnya adalah anak yang disekolahkan sudah harus pulang dengan ilmu yang memadai dan orang tua dirumah sekadar menerima hasil laundry, setidaknya begitulah ilustrasinya.

Kebijakan belajar dari rumah menjadi masalah baru yang harus ditaklukkan para orangtua mengingat banyaknya tugas yang diberikan dan keterbatasan waktu yang tidak jarang menjadi alasan tugas anak jadi terbengkalai apalagi bagi ibu yang terpaksa harus bekerja di luar rumah.  Ketidaksiapan kaum ibu menjadi guru bagi anak dirumah menyebabkan banyak kaum ibu yang stres. Padahal sebagai pemimpin rumah tangga, seorang ibu tidak sekadar berperan sebatas ibu di rumah melainkan juga harus menjadi madrasah pertama bagi anak juga keluarganya di rumah. Disamping itu, anak-anak pun ikut tertekan dan tidak nyaman diajar oleh ibu mereka sehingga merasa bahwa guru mereka disekolah lebih memamahi kebutuhan mereka.

Menyikapi hal ini, KPAI turut memberikan komentar. Pihaknya mengatakan anak-anak menjadi stres dikasih banyak tugas sekolah. Melalui Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti, ia mengatakan bahwa sejumlah orangtua mengeluhkan anak-anak mereka yang malahan stres karena mendapat berbagai tugas dari guru setiap harinya. Rabu (18/3/2020).

Ibu Di Era Kapitalis Sekuler

Belajar dari rumah harusnya tidak sebatas memindahkan proses belajar ke rumah melainkan menjadi salah satu cara bagi orang tua agar bisa membangun hubungan yang lebih harmonis dengan anak dengan mendampingi anak menyelesaikan berbagai tugas sekolah yang dimaksud juga mengganti hari-hari bersama anak yang sebelumnya selalu dilewatkan ibu. Disinilah kesiapan seorang ibu diuji baik dalam memahami bahan belajar anak maupun mengenali batas tumbuh kembang anak semasa di sekolah.

Sayangnya, di era sekuler ini peran ibu sudah banyak dialihkan dengan kesibukan diluar rumah sehingga sebatas menyaksikan perkembangan buah hati saja sudah menjadi hal langka yang dialami beberapa kaum ibu, bahkan tidak jarang ditemui anak-anak akan lebih dekat dengan baby sitteratau guru mereka di sekolah. Inilah mengapa ketika para ibu harus berhadapan dengan anak sebagai guru pengganti di rumah menyebabkan banyak masalah sosial yang timbul diantara keduanya.

Peradaban barat sekuler yang memisahkan peran Allah Swt dari kehidupan memaksa kaum wanita akhirnya menjadi penggerak ekonomi. Hal ini setara dengan ide feminisme yang menyamakan kedudukan antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi aktor dalam berbagai bidang kehidupan, diantaranya ekonomi. Hasilnya, perempuan semakin jauh dari fitrahnya sebagai pemimpin didalam rumah. Dalam pandangan kapitalis hari ini, wanita tidak lebih sebagai alat produksi, pemuas. Alih-alih mendapatkan posisi baik dalam ekonomi, wanita malah terjerumus dalam kehidupan menghamba pada materialisme. Disadari atau tidak.

Tahun 586, Prancis membuat konferensi untuk menjawab apakah perempuan termasuk manusia atau bukan? Kesimpulannya, perempuan adalah manusia yang diciptakan untuk melayani lai-laki. Hal inilah yang memicu para aktivis perempuan mendobrak belenggu agar bisa dihargai dan dihormati layaknya manusia.Bersamaan dengan ini, mengutip pernyataan Hillary Clinton dalam sebuak konferensi di Peru pada bulan Oktober dengan judul, “Kekuasaan: Perempuan sebagai pertumbuhan ekonomi dan inklusi sosial”, ia mengatakan pembatasan partisipasi ekonomi perempuan merupakam kerugian besar bagi pertumbuhan ekonomi dan pendapatan regional disetiap kawasan di dunia. Begitu juga dengan pernyataan Nicholas Rockefeller, tujuan kesetaraan gender adalah untuk mengumpulkan pajak 50% lebih banyak dari masyarakat untuk mendukung kepentingan bisnis.

Berdasarkan fakta tersebut diatas bisa disimpulkan, wanita tidak lebih sekadar pengumpul remah-remah materi yang siap bekerja dengan murah sehingga menjadi penyumbang terbesar bagi kapitalisme global.

Merekatkan Hubungan Keluarga

Adanya pandemi ini seharusnya menjadi sisi positif dalam merekatkan hubungan antara anak dan ibu. Sehingga ibu mempunyai lebih banyak waktu untuk mentransfer ilmu kepada anak dan dengan mudah menjaga anak dari filterisasi negatif yang mungkin didapatkan anak dari pergaulan diluar. Namun sikap cuek orang tua akhirnya membiarkan anak mencari kebahagiaan sendiri sehingga terjerumus pada hal-hal negatif. Memaksa anak menjadi baik tanpa dibarengi pendidikan akidah yang baik bak sedang menggantang asap.

Menciptakan suasana belajar yang efektif dan nyaman membutuhkan peran serta keluarga di rumah tidak sebatas kewajiban guru di sekolah. Disisi lain, belajar dari rumah pun bisa merekatkan hubungan antara keluarga didalam rumah. Misalnya, ibu memasak sementara kakak/ayah bisa membantu adik mengatur jadwal harian serta mengurut skala prioritas harian.

Mendidik anak sejak dini adalah upaya menyiapkan bahagia dimasa depan. Bukan hanya dunia namun juga akhirat. Namun, orangtua harus memahami bahwa kondisi hari ini bukanlah kondisi ideal dalam mendidik anak untuk bisa berkepribadian islam. Hal ini dikarenakan hari ini islam yang notabene penjaga keluarga faktanya belum hadir ditengah umat. Tidak diterapkan. Maka jangan heran ketika sistem pendidikan yang diterapkan adalah buah pemikiran sekuler. Dimana sistem pendidikan hanya berorientasi pada tujuan kepuasan dan kepentingan tanpa dibarengi dengan akhlak dan akidah yang baik.

Hal ini menjadi PR besar bagi orang tua agar mampu memfilter pergaulan anak. Untuk itu, azzam sebagai pendidik utama dan pertama harus tertanam kuat dalam benak orang tua khususnya ibu sebagai ummu warobatun bayt. Ibu harus bisa memastikan pola pikir dan sikap buah hati tercelup dengan islam, sehingga tanpa ragu melepas anak untuk bergaul diluar.

Adanya kebijakan belajar dari rumah ini sudah mestinya menjadi momemtum bagi ibu untuk mengoptimalkan perannya sebagai ummu warobatun bayt yang siap menciptakan generasi harapan tidak hanya keluarga melain umat pada umumnya. Namun, ibu juga butuh majelis ilmu yang akan menambah wawasannya serta butuh aktivitas mendekatkan diri kepada Rabbnya. Ibu tidak butuh kesetaraan gender untuk berkiprah ditengah ummat, ibu cuma perlu kembali kepada fitrahnya dengan menerapkan hukum Allah secara sempurna.

Oleh   : Zulhilda Nurwulan, S.Pd (Aktivis Dakwah)

error: Jangan copy kerjamu bos