Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Opini

Utang Menggunung, Rakyat Krisis Kesejahteraan

444
×

Utang Menggunung, Rakyat Krisis Kesejahteraan

Sebarkan artikel ini
Hamsina Halisi Alfatih

TEGAS.CO., NUSANTARA – Pemerintah merespons laporan Bank Dunia berjudul International Debt Statistics (IDS) 2021 yang menempatkan Indonesia di daftar 10 negara dengan utang luar negeri terbesar. Laporan yang terbit pada 12 Oktober 2020 ini berisi data dan analisis posisi utang negara di dunia di mana dalam salah satu bagian laporan menyebutkan perbandingan beberapa negara berpendapatan kecil dan menengah dengan Utang Luar Negeri (ULN) terbesar, termasuk Indonesia. (Bisnis.com,14/10/20)

Disisi lain, saat utang semakin menggunung justru hal ini di apresiasi dengan penghargaan diberikan kepada Menteri Keuangan Sri Muliyani sebagai Menteri terbaik se Asia-Pasifik. Dilansir dari laman Tribunpalu.com, Tanggal 17 Oktober 2020, baru-baru ini Menkeu Sri Mulyani baru saja meraih penghargaan sebagai Finance Minister of the Year for East Asia Pacific tahun 2020 dari majalah Global Markets. Ini merupakan penghargaan kedua yang diterima Sri Mulyani dari majalah yang sama, setelah terakhir di tahun 2018 memperoleh penghargaan serupa.

Secara global, saat ini Indonesia menduduki posisi ke-11 sebagai negara berkembang di Benua Asia. Sebagai negara berkembang hal ini seharusnya bisa menempatkan Indonesia sebagai negara maju karena limpahan Sumber Daya Alamnya. Namun pada kenyataannya, Indonesia justru terpuruk menjadi negara dengan hutang yang mungkin sulit untuk dilunasi bahkan dengan bunganya sekalipun.

Hutang yang telah menjadi agenda rutin negeri yang makmur dengan limpahan SDA, menjadikan pemerintah berusaha keras memajukan perekonomiannya. Faktanya, kini Indonesia menduduki peringkat 10 sebagai negara penghasil hutang luar negeri terbesar di dunia.

Diperkirakan posisi ULN Indonesia pada akhir Juli 2020 tercatat sebesar 409,7 miliar dollar AS atau sekitar Rp 6.063,56 triliun (kurs Rp 14.800 per dollar AS). ULN terdiri dari ULN sektor publik (pemerintah dan bank sentral) sebesar 201,8 miliar dollar AS dan ULN sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar 207,9 miliar dollar AS. (Kompas.com,15/09/20)

Hutang ribawi yang kian menumpuk yang akan mungkin bisa membawa Indonesia sebagai negara krisis dengan tingkat koruptor terbesar di dunia. Meskipun berdalih memajukan perekonomian pada faktanya nasib rakyat justru jauh dari kata sejahtera. Rakyat justru semakin terpuruk dalam kemiskinan, kesenjangan ekonomi semakin mencuat hingga pengangguran semakin meningkat akibat korban PHK terlebih lagi di masa pandemik saat ini.

Semenjak runtuhnya orde baru hingga era reformasi 1998, Indonesia memang hampir tak terlepas dari jeratan hutang yang kini kian menggurita. Hal ini justru membawa kekalutan bagi masyarakat yang semakin berada dalam ketimpangan oleh setiap kebijakan pemerintah. Sayangnya, kebijakan yang selalu ditempuh oleh pemerintah justru tidak mampu membawa kemaslahatan bagi rakyat.

Kenyataan ini tak lain akibat ketimpangan yang ditimbulkan oleh sistem ekonomi liberal. Menjadi negara pengekor, Indonesia justru terjerembap oleh cengkeraman asing negara-negara kapitalis liberal. Dalam istilahnya “No Free Lunch” atau ” Tak Ada Makan Siang Gratis” itulah jebakan utang yang diberikan oleh negara-negara kapitalis liberal untuk menguasai Sumber Daya Alam negeri ini.

Berkaca dari empat negara yang gagal membayar utang yakni Zimbabwe, Nigeria, Sri Lanka dan Pakistan.

Zimbabwe memiliki utang US$ 40 juta kepada China. Akibatnya negara itu harus mengikuti keinginan China mengganti mata uangnya menjadi yuan sebagai imbalan penghapusan utang. Nigeria di mana model pembiayaan melalui utang yang disertai perjanjian merugikan negara penerima pinjaman dalam jangka panjang. China mensyaratkan penggunaan bahan baku dan buruh kasar asal China untuk pembangunan infrastruktur di Nigeria. Sementara Sri Lanka, setelah tidak mampu membayar utang. Akhirnya pemerintah Sri Langka melepas Pelabuhan Hambatota sebesar US$1,1 triliun. Kemudian, Pakistan, di mana Gwadar Port yang dibangun bersama China dengan nilai investasi sebesar US$46 miliar harus direlakan. (Tempo.co,22/03/18)

Melihat kenyataan ini seharusnya membuat Indonesia belajar dari kegagalan negara-negara yang sudah-sudah. Akibat dari hutang yang kian menggunung, hal ini akan justru mengakibatkan leluasanya kapitalis barat maupun aseng menguasai kekayaan alam hingga mengeksploitasi seluruh SDA yang ada di negeri ini. Jebakan utang ini pula yang membawa hilangnya kesejahteraan hingga membawa kesengsaraan bagi rakyat.

Maka dalam perspektif Islam utang bukan merupakan sumber utama untuk memajukan pembangunan atau ekonomi. Didalam Islam, justru sumber daya alam merupakan faktor penunjang untuk mensejahterakan rakyat. Serta melalui SDA ini tentu akan mampu meningkatkan dan memajukan berbagai pembangunan maupun sektor lainnya.

Sebab, SDA alam merupakan kepemilikan umum yang wajib di kelola oleh negara semata-mata demi kemaslahatan rakyat bukan di kelola atau dimiliki oleh individu atau kelompok manapun. Di antara pedoman dalam pengelolaan kepemilikan umum antara lain merujuk pada sabda Rasulullah saw.:

الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ

Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api (HR Ibnu Majah).

Rasul saw. juga bersabda:

ثَلَاثٌ لَا يُمْنَعْنَ الْمَاءُ وَالْكَلَأُ وَالنَّارُ

Tiga hal yang tak boleh dimonopoli: air, rumput dan api (HR Ibnu Majah).

Dengan demikian, seyogianya negara ini haruslah kembali kepada penerapan syari’at Islam dimana tidak ada sistem yang lebih baik di dalamnya selain menerapkan sistem ekonomi Islam. Bukan justru menjadi pengekor kapitalis Barat dengan sistem ekonomi liberalnya yang terbukti menyengsarakan dan mengikis kesejahteraan hidup umat. Wallahu A’lam Bishshowab

Penulis: Hamsina Halisi Alfatih
Editor: H5P

error: Jangan copy kerjamu bos