Example floating
Example floating
Opini

Solusi Miras Hanya dengan Syariah Islam

483
×

Solusi Miras Hanya dengan Syariah Islam

Sebarkan artikel ini
Hera (Ibu Rumah Tangga)
Hera (Ibu Rumah Tangga)

TEGAS.CO., NUSANTARA – Badan Legislasi DPR RI kembali membahas RUU Larangan Minuman Beralkohol (RUU Minol) setelah mandek bertahun-tahun karena pemerintah dan beberapa fraksi di DPR ( Golkar dan PDI-P ) tidak setuju dengan adanya larangan Minol namun cukup diatur saja. Sekarang RUU ini kembali masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas tahun 2020 sebagai usul inisiatif dari 21 anggota DPR ( Kompas.com, 17/11/2020 ). Proses pembahasannya dimulai dengan mendengar penjelasan dari pengusul pada tanggal 10 November 2020 lalu.

Tujuan pengusul RUU adalah untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh minuman beralkohol, menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya minuman beralkohol, serta menciptakan ketertiban dan ketenteraman di masyarakat dari gangguan yang ditimbulkan oleh peminum minuman beralkohol. Namun di dalam draf RUU Larangan Minol, tidak melarang secara total minuman beralkohol atau minuman keras. Larangan hanya bagi siapapun yang memproduksi, memasukkan, menyimpan, mengedarkan dan/atau menjual serta mengonsumsi minuman beralkohol ( minuman keras ) dan ketentuan ini tidak berlaku untuk ‘kepentingan terbatas’ diantaranya kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi serta tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan.

Sanksi bagi pelanggar larangan-larangan di atas dipidana penjara minimal dua tahun dan paling lama sepuluh tahun sedangkan masyarakat yang mengonsumsi minol akan dipidana penjara minimal tiga bulan dan paling lama dua tahun.

Di sisi lain, dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja, Pemerintah membuka 14 bidang usaha untuk investasi diantaranya miras/minol. Hal ini semakin memperjelas sikap dan posisi Pemerintah saat ini lebih mengacu pada kepentingan bisnis para kapitalis dibandingkan kepentingan penjagaan moralitas rakyatnya. Inilah cermin penguasa sekuler-kapitalistik dalam demokrasi.

Bagaimana Islam memandang masalah ini?

Biasanya manusia menilai sesuatu dari dampaknya, apakah mendatangkan manfaat atau mudarat (dharar). Sesuatu disebut baik jika memberikan manfaat, sebaliknya sesuatu disebut buruk jika dinilai mendatangkan mudarat. Jadi dalam konteks ini, keberadaan standar untuk menilai sesuatu apakah baik atau buruk sangat penting. Dalam sekularisme, standar baik atau buruk adalah hawa nafsu manusia. Tentu standar ini sangatlah berbahaya, sebab kadang kala manusia membenci sesuatu yang sejatinya baik. Sebaliknya, acapkali manusia menyukai sesuatu yang sejatinya malah buruk.

Allah Swt berfirman:
Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian. Boleh jadi pula kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui ( TS al-Baqarah [2]:216 ).

Menurut pandangan kaum sekular upaya memproduksi, mengedarkan, menjual dan mengonsumsi minuman keras (miras) atau minuman beralkohol (minol) adalah baik. Alasan mereka karena bisa mendatangkan manfaat berupa pendapatan negara, menggerakkan sektor pariwisata, membuka lapangan kerja dan mendapatkan cukai. Mereka mengabaikan sama sekali dampak buruk miras/minol seperti : rusaknya moralitas, meningkatnya kriminalitas dan hancurnya kehidupan sosial. Yang lebih berbahaya lagi adalah bila standar sekularisme ini dilegalkan melalui mekanisme/sistem demokrasi. Misal DPR mengesahkan UU yang menegaskan bahwa memproduksi, mengedarkan, menjual dan mengonsumsi miras/minol tidak dilarang. Hanya sebatas diatur dan diawasi. Hal ini akan menimbulkan kerusakan yang bersifat sistemik di tengah-tengah masyarakat.

Islam memiliki standar yang bersifat pasti untuk menilai baik-buruknya sesuatu. Standar tersebut tidak lain adalah halal dan haram. Sesuatu yang menurut Islam halal, pasti baik ( khayr ). Sebaliknya, sesuatu yang menurut Islam haram, pasti buruk ( syarr ). Tanpa melihat lagi apakah sesuatu itu bermanfaat ataukah mendatangkan mudarat menurut pandangan manusia. Memproduksi, mengedarkan, menjual dan mengonsumsi minuman keras (miras) atau minuman beralkohol ( minol ) jelas haram. Miras/minol terkategori buruk (syarr) serta pasti mendatangkan bahaya ( dharar ). Karena itu miras/minol harus dijauhi. Inilah yang Allah Swt tegaskan :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, sungguh ( meminum ) khamar, berjudi, ( berkorban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Karena itu jauhilah semua itu agar kalian mendapat keberuntungan ( TQS al-Maidah [5] : 90 ).

Dalam pandangan syariah, minum khamr ( miras/minol ) merupakan kemaksiatan besar. Sanksi bagi pelakunya adalah dicambuk sebanyak 40 kali dan bisa lebih dari itu. Disamping itu, Islam juga melarang semua hal yang terkait dengan khamr mulai dari pabrik produsen minuman beralkohol, distributor, toko yang menjual hingga konsumen (peminumnya) kecuali bagi Kafir Dzimmi dengan mekanisme yang telah ditentukan oleh Khalifah.

Dalam sistem Islam, Pemerintah dan seluruh rakyat wajib mengacu pada syariah dalam menetapkan baik-buruk serta dalam menentukan boleh-tidaknya sesuatu beredar di tengah masyarakat. Bila syariah Islam telah menyatakan haram pasti ia akan menimbulkan bahaya di tengah masyarakat termasuk di dalamnya miras/minol.

Walhasil miras/minol harus dilarang secara total tanpa alasan apapun, termasuk alasan bisnis/investasi karena tercela dan pasti mendatangkan azab Allah Swt.

WalLahu a’lam bi ash-shawwab.

Penulis: Hera (Ibu Rumah Tangga)
Editor: H5P

Terima kasih