Berita Utama

Sengkarut Pilkada di Tengah Pandemi

24
×

Sengkarut Pilkada di Tengah Pandemi

Sebarkan artikel ini
Lulu Nugroho (Aktivis pengemban dakwah)

TEGAS.CO,. NUSANTARA – Tinggal sesaat lagi. Waktunya tak lama lagi. Detik-detik menuju pesta demokrasi akan kembali digelar. Tentu tak semeriah tahun-tahun sebelumnya. Bahkan pilkada gaya baru akan menjadi pemandangan yang tak biasa, sebab kali ini berlangsung di tengah pandemi. Tampilan petugas lengkap dengan APD-nya, serta protokol Covid-19 yang ketat akan menghiasinya.

Meski telah mendapat banyak kecaman karena dikhawatirkan terjadi klaster pilkada saat kampanye, pencoblosan dan penghitungan suara berlangsung, namun sepertinya peribahasa ‘patah sayap, bertongkat paruh’ tepat untuk untuk pengusung demokrasi. Artinya tidak mudah menyerah, dan terus berusaha semaksimal mungkin.

Akan tetapi ternyata sulit menjadi maksimal, sebab kelengkapan ala pandemi belum lagi ditegakkan, seperti penyaluran alat pelindung diri (APD) serta kepastian sehatnya petugas maupun masyarakat. Sementara ratusan ribu manusia menjadi taruhannya.

Apalagi diberbagai wilayah di tanah air, kasus Covid-19 melonjak beberapa hari terakhir. Maka bisa jadi akan mempengaruhi pelaksanaan pilkada. Jangan-jangan benar apa yang dikatakan para ahli untuk menunda perhelatan ini selama musim pandemi. Karut marut seputar pilkada, seolah menjadi rutinitas setiap waktu.

Per 27 November, Ombudsman RI usai melakukan investigasi terhadap 31 KPUD kabupaten/kota sepanjang 25-27 November 2020 mencatat sebanyak 72 persen Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) kabupaten/kota belum menyalurkan APD ke panitia pemilihan kecamatan (PPK). (Cnnindonesia, 4/12/2020).

Bahkan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan sebagian besar zona merah atau wilayah berisiko tinggi penularan virus corona (Covid-19) merupakan daerah yang menyelenggarakan pilkada serentak 2020. Tentu hal ini menjadi perkara yang membingungkan bagi rakyat, sebab pemerintah sendiri yang seolah abai pada data.

Sebanyak 100.359.152 pemilih di 309 kabupaten/kota bakal terlibat dalam pemilihan ini. Tentu ini bukan sekadar angka. Ada kehidupan dibalik itu, yang harus dilindungi. Tanggung jawab penguasalah untuk menjamin keamanan jiwa dan raga warganya. Namun demokrasi dengan sekularismenya lebih mengutamakan para kapital dan mencari jalan untuk sampai pada kekuasaan.

Fakta mengejutkan muncul di kota Denpasar, Bali, sebanyak 1.106 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan petugas keamanan TPS dinyatakan reaktif covid-19 usai menjalani rapid pada 18 November lalu. Bahkan di Bulan Agustus, 96 petugas pengawas pemilu di kabupaten Boyolali dinyatakan positif Covid-19 (Cnnindonesia,26/11/2020)

Di samping itu, lebih dari 100 petugas KPU dan Bawaslu yang terinfeksi virus corona selama tahapan pilkada serentak 2020. Terbukti APD saja tidak cukup. Peluang masyarakat tertular virus sangat besar. Sulit menghindari kerumunan. Bercampurnya orang dari berbagai tempat berpotensi membuat lonjakan kasus.

Logika demokrasi menyesatkan dan mengabaikan pertimbangan kesehatan. Demokrasi juga membutuhkan banyak pengorbanan. Tidak hanya biayanya yang mahal, tapi juga mengancam nyawa. Karenanya kepemimpinan ala demokrasi adalah kepemimpinan yang zalim. Pilkada hanya menjadi instrumen untuk melanggengkannya.

Dalam Buku ‘On Tiranny’ yang ditulis oleh Timothy Snyder, bahwa pemilu hanyalah jalan bagi tirani. Pada 1932 dimenangkan oleh Partai Nazi di Jerman. Pada 1946 di Czechs dimenangkan oleh Partai Komunis. Sedangkan di Rusia 1990 dimenangkan oleh Putin. Setelahnya demokrasi berakhir di ketiga tempat itu dan berlangsunglah kepemimpinan tiran.

Dalam demokrasi, politik hanya sebagai lahan bisnis. Kepentingan para kapital yang diutamakan, bukan rakyat. Sedangkan dalam Islam, politik adalah riayah su’unil ummah atau mengurusi urusan umat. Karenanya resolusi 2021 adalah merubah paradigma umat terhadap politik. Bahwasanya hanya politik Islamlah yang tepat bagi umat.

Islam memandang pengelolaan urusan umat adalah perkara politik yang didasari pada ketentuan hukum syara yang rinci. Politik Islam terikat dengan ketentuan Sang Pencipta, karenanya ia tidak bebas nilai. Ketika seorang pemimpin dipilih oleh rakyat, maka ia wajib bertanggung jawab terhadap urusan umat.

Tidak menjadikannya sebagai orang yang menumpuk materi. Tidak juga bagi golongannya. Maka sekalipun ada pemilu dalam Islam, tapi tidak akan menelan banyak biaya. Sebab pemilu hanya jalan untuk mengenali profil pemimpin yang akan dipilih, dan wakil mereka di majelis umat.

Adapun amil setingkat gubernur dan wali setingkat bupati, diangkat langsung oleh Khalifah. Karenanya tidak perlu pilkada dalam Islam. Masa tugas Khalifah yang seumur hidup, menjadikan ritual pemilu 5 tahunan tidak diperlukan lagi. Itupun selama Khalifah tidak melakukan pelanggaran hukum syara.

Hal yang istimewa dalam Islam adalah adanya baiat. Baiat adalah akad antara rakyat dengan Khalifah. Rakyat berkomitmen siap menaati pemimpinnya, sedangkan sang pemimpin berjanji untuk taat kepada Alquran dan Hadits yaitu mengamalkan kitabullah dan sunah Rasul-Nya.

Batas kekosongan kekuasaan pemimpin, hanya 3 hari. Karenanya tidak perlu kampanye besar-besaran yang menghabiskan dana dan berisiko terkena Covid-19. Teknis yang sederhana memungkinkan dalam waktu singkat pemilu telah usai. Mekanisme yang seperti ini hanya ada dalam Islam.

Tidak hanya murah dan mudah, para pemimpin pun terpilih berdasarkan ketakwaannya pada Allah subhaanahu wa ta’ala. Bukan atas kekuatan para kapital yang kosong dari visi misi prioritas kepentingan umat. Allahumma ahyanaa bil Islam.

Penulis : Lulu Nugroho (Aktivis pengemban dakwah)

Editor : YA