Proyek SUTT 150kV Kendari-Kasipute, Kawasan Konservasi Akan Berubah Fungsi?

 

Rayani umma Aqila

TEGAS.CO.,SULTRA – Proyek SUTT 150kV Kendari-Kasipute, yang direncanakan akan dibangun 76 menara proyek infrastruktur kelistrikan, untuk memenuhi kebutuhan industri smelter kini menjadi perhatian Konsorsium Aktivis Pemerhati Investasi, Hutan, dan Lingkungan (Kapital) Sulawesi Tenggara (Sultra) yang menyoroti proyek pembangunan Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) 150kV Kendari-Kasipute yang melintasi Kawasan Konservasi Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai.

Iklan PUPR

“Saya mencium aroma pelanggaran hukum yang terjadi pada proyek pembangunan SUTT 150kV Kendari-Kasipute, pasalnya proyek infrastruktur kelistrikan yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan industri smelter tersebut melintasi Kawasan Konservasi Taman Nasional Rawa Aopa”, tutur Ketua Kapital Sultra, Yayat Nurcholid di Kendari. parlemen.id (21/9/2021).

Aktivis HMI Cabang Kendari ini mengatakan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di kawasan hutan lindung dan hutan produksi.

“Berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan saya kira jelas, penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan itu hanya boleh di hutan lindung dan hutan produksi, tidak boleh di hutan konservasi, sementara pembangunan SUTT 150kV Kendari-Kasipute ada sekitar 76 menara yang dibangun di dalam kawasan taman nasional,” ungkap Yayat.

Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai Kasipute pada mulanya adalah sebuah kawasan hutan dengan fungsi sebagai hutan wisata khususnya sebagai taman buru sesuai Keputusan Menteri Pertanian No.648/Kpts/Um/10/1976. Sebagai taman buru, arealnya meliputi hutan di sekitar G. Watumohai.

Kemudian tonggak sejarah ditetapkanlah bahwa Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai secara tegas dinyatakan sebagai taman nasional pertama di Indonesia bersama-sama dengan Taman Nasional Bunaken dan Way Kambas, sebagaimana isi Surat Pernyataan Menteri Kehutanan RI no. 444 tahun 1989 tentang taman-taman nasional. Dengan demikian secara de facto ketiganya menjadi taman nasional tertua di Indonesia. Hal yang lebih istimewa lagi dalam perkembangan sejarah Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai adalah bahwa setahun setelah dideklarasikannya tiga kawasan hutan menjadi taman nasional (tahun 1990), UU tentang KSDAHE diundangkan. Jika menelisik fakta keberadaan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai tentu sangat disayangkan jika beralih fungsi menjadi hilangnya kawasan konservasi hutan lindung, karena digunakan untuk kawasan Industry. Ini akan mengakibatkan penyusutan hutan konservasi terus akan terjadi.

Peranan hutan konservasi sangat penting dalam sistem penyangga kehidupan sebab hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Hutan konservasi juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan air yang baik, sebagai habitat bagi flora dan fauna, mengurangi polusi pencemaran udara, sebagai penyubur tanah, sebagai paru-paru dunia dengan menyuplai oksigen untuk kehidupan, sebagai penahan erosi dan lain sebagainya. Namun bisa dibayangkan dengan kondisi hutan dialih fungsikan ke bentuk lain akan menyebabkan fungsi hutan terganggu.

Terjadinya bencana alam dimana-mana, seperti banjir, erosi, tanah longsor, pemanasan global, adalah dampak nyata yang ditimbulkan. Meningkatnya panas, gangguan pada siklus air dan hilangnya naungan akan menelan korban selain itu termasuk untuk memanen makanan dan obat-obatan yang dihasilkan dari hutan tersebut. Tanaman naungan akan menurun secara drastis, seperti tanaman yang mengandalkan penyerbuk penghuni pohon.

Karena fluktuasi suhu dan curah hujan, tempat-tempat yang sebelumnya menghasilkan tanaman tiba-tiba akan gagal. Pemanasan lebih lanjut pada akhirnya akan membuat sebagian besar tempat tidak dapat ditanami dan tidak bisa untuk hidup. Sistem kapitalis liberal menjadi akar persoalan hilangnya kawasan konservasi hutan lindung. Karena digunakan untuk kawasan Industry. Deforestasi hutan yang terus meningkat setiap tahun adalah akibat dari sistem “kemaruk” kapitalisme. Perusakan hutan yang terus dilakukan oleh perusahaan-perusahaan pada akhirnya banyak terjadinya masalah, terkait dengan berkurangnya fungsi hutan. Padahal ketika hutan rusak, yang paling besar menerima dampaknya bukanlah perusak hutan, tapi masyarakat itu sendiri.

Sedangkan pemilik perusahaan hanyalah mengambil keuntungannya saja dan meninggalkan bencana, dengan kata lain perusahaan-perusahaan hanya mengedepankan profit semata dengan terus melakukan pengalihan lahan. Terlebih lagi, daerah dengan memberikan surat izin usaha yang bertujuan hanya untuk sekadar meningkatkan pendapatan daerah. Peraturan pun bisa dimanipulasi demi kepentingan pemilik modal, tanpa melihat dampaknya di masa depan. Menilik dari diterapkannya sistem kapitalisme tersebut, pengusaha tidak akan memedulikan kelangsungan hidup makhluk lain, ekosistem hutan konservasi pun akan dirusak jika memang menghalangi proses operasional industrinya. Karena dimata Capital, adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya tanpa melihat kondisi lingkungan sekitar.

Dalam Islam, kepentingan seperti ini tidak akan ada. Apalagi jika merusak ekosistem lingkungan. Pembangunan industri berat sekalipun, tidak akan mengganggu keberlangsungan makhluk hidup lainnya. Gambaran Islam mengenai pengembangan kawasan industri, jelas berbasis syariah dan ruhiyah. Pemanfaatannya untuk rakyat, dengan memperhatikan ekosistem lingkungan sekitar. Wallahu A’lam Bisshowab

 

Penulis: Rayani umma Aqila

Editor: H5P

 

Komentar