Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Opini

Fenomena Perceraian Makin Merebak di Masa Pandemi, Kendari di Atas Seribu

865
×

Fenomena Perceraian Makin Merebak di Masa Pandemi, Kendari di Atas Seribu

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi perceraian

TEGAS.CO.,NUSANTARA – Tujuan indah dari sebuah pernikahan adalah untuk menggapai keluarga sakinah mawaddah warahmah,  namun apalah daya kalau ternyata harapan tidak seindah mimpi seperti dalam dongeng pernikahan Cinderalah yang bahagia selamanya. Banyak ujian badai datang menghantam biduk rumah tangga terlebih di masa pandemi yang sudah berjalan 2 tahun belakangan, hingga banyak berakhir  pada solusi perceraian.

Di Pengadilan agama Kota Kendari tercacat ada 1139 perkara keluarga yang ditangani sejak Januari hingga pertengahan Oktober tahun 2021, dan diperkirakan sampai bulan Desember akan mencapai jumlah 1.000 lebih. Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Kendari Abdul Mukti Jasri Saleh mengatakan perkara perceraian di Kendari  didominasi oleh gugatan pihak istri atau cerai gugat yang totalnya mencapai 805 kasus.

“Dari total itu, sebanyak 637 perkara sudah diputuskan. Cerai gugat atau istri mengajukan perceraian sebanyak 478 perkara, serta cerai talak sebanyak 159 perkara,” katanya disalah satu media online beberapa waktu lalu.

Sejumlah kota-kota besar lainnya di Indonesia juga mencatat angka perceraian yang fantastis, di Jawa timur misalnya tahun lalu tercatat 81.000 kasus perceraian (jawapos.com 19/08/2021), di Samarinda pengadilan tinggi agama Provinsi Kalimantan Timur mencatat 1.139 kasus gugatan perceraian untuk Kaltim dan Kaltara periode Januari – Juli 2021 menurut ketua pengadilan tinggi agama Kaltim, HM Manshur (Diskominfo Prov. Kaltim, 01/09/2021).

Mengapa kasus perceraian terus terjadi?. Meskipun angka perceraian meningkat di masa pandemi covid-19, namun kondisi pandemi bukanlah pemicu utama merebaknya kasus perceraian di negeri ini. Direktur Jenderal Badan peradilan Agama Mahkamah Agung(MA) Aco Nur mengatakan bahwa Pandemi covid-19 memang mempengaruhi kondisi ekonomi sebagian warga tapi tidak sampai menjadi pemicu utama perceraian suami istri.

Menurut dia, perkara perceraian yang masuk ke pengadilan sepanjang Januari-Agustus 2020 lebih banyak dipengaruhi oleh perselisihan dan pertengkaran terus-menerus, faktor ekonomi, dan satu pihak meninggalkan pihak yang lain. Katanya dalam acara webinar mengenai masalah dan solusi perkara perceraian di Indonesia Kamis 03 September 2020 (merdeka.com).

Apalagi fenomena tingginya angka perceraian ini justru sudah terjadi peningkatan setidaknya dari data yang terjadi sejak 10 tahun terakhir, Pada tahun 2014 Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA)  merilis dalam rentang 4 tahun (2010-2014) dari 2.000.000 yang mencatatkan pernikahannya hampir 300.000 atau sekitar 15% berakhir dengan ketukan palu Pengadilan Agama(PA).

Lalu pada tahun 2015 sampai 2020 angka tersebut tak mengalami penurunan justru terus meningkat. Menurut dirjen Bimas Islam kamaruddin Amin angka perceraian khususnya umat Islam terus meningkat, Amin merinci dari tahun 2015 terdapat 394 kasus, tahun 2016 bertambah menjadi 401.717 kasus, tahun 2017 mencapai 415.510 kasus, tahun 2018 mencapai 444.358 kasus, sementara pada Agustus 2020 sudah mencapai 306.688, katanya dalam keterangan pers Sabtu (12/09/2020) Merdeka.com. ini artinya fenomena perceraian sudah merebak jauh-jauh sebelum masa pandemi.

Lalu apa sebenarnya penyebab maraknya kasus perceraian ini?! Penerapan Sistem kapitalisme sekuler di negeri ini telah menimbulkan berbagai masalah, mulai dari melemahkan konsep  Islam dalam berbagai aspek tak terkecuali konsep pernikahan. Pernikahan dianggap hanya sekedar wadah untuk menyalurkan naluri tapi kering dari nilai-nilai ibadah dan aturan–aturan terkait kewajiban suami maupun istri, bahkan Kalaupun ada tetap tidak di topang dengan System pendukung lainnya.

Dalam Sistem ekonomi misalnya ekonomi kapitalisme juga telah mengabaikan peran negara dalam menciptakan kesejahteraan rakyat, menciptakan jurang  kesenjangan yang sangat dalam antara para teknokrat dan rakyat biasa. Para Elit dan penguasa melenggang tanpa beban hidup, dan lebih bersahabat dengan para pengusaha asing. Masyarakat di biarkan bertarung sendiri menghadapi kerasnya persaingan ekonomi.

Alih-alih membuka lapangan kerja demi kesejahteraan rakyat, justru lebih mengutamakan tenaga kerja import demi menyenangkan para partner-partner kapitalis asing. Maka setiap pihak yang berkewajiban memberi nafkah pada keluarga akan kesulitan dalam menunaikan kewajiban ini, sehingga istri kerap turut menjadi penopang ekonomi rumah tangga meski dengan gaji yang tak pantas dan lebih berujung pada pelalaian terhadap kewajiban dalam mendidik anak dan mengurus rumah tangga, terlebih akan berdampak pada tingkat stres yang tinggi sehingga percekcokan dalam rumah tangga lebih intens terjadi.

Masyarakat yang seharusnya memiliki fungsi kontrol untuk beramar ma’ruf nahi mungkar turut menciptakan suasana kondusif dalam menciptakan keluarga sakinah mawaddah warahmah justru sudah ter cekcoki oleh budaya permisif dan egois yang tidak memiliki kepedulian terhadap kemaslahatan masyarakat.

System demokrasi dalam kapitalisme yang menganut prinsip-kebebasan juga memunculkan isu gender yaitu kesetaraan antara laki-laki dan perempuan turut mendorong para wanita untuk bebas menentukan nasib sendiri tanpa kekangan dari sang suami sehingga lebih mudah untuk mengajukan gugatan cerai.

Di tambah minimnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya komunikasi dalam menyelesaikan masalah-masalah keluarga. Persoalan-persoalan tersebut sangat mungkin memunculkan berbagai masalah dalam pernikahan. Tidak jarang berujung pada KDRT dan perceraian.

kondisi ini berbanding terbalik dengan Islam, dimana islam memandang perceraian sebagai salah satu jalan yang dihalalkan sebagaimana dalam firman Allah  : “Talak (yang dapat dirujuki)dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al-Baqarah :229);

Juga dalam firman Allah: “Hai nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu menceraikan mereka pada waktu mereka dapat menghadapi masa iddahnya yang wajar(QS. Ath-Thalaq:1).Dalam sunnah juga syariat tentang perceraian sebagaimana diriwayatkan dari Umar Bin Khaththab Ra, “Bahwa Nabi SAW pernah menceraikan Hafsah kemudian merujuknya kembali”(HR al Hakim dan Ibnu Hibban).

Hanya saja perceraian adalah jalan yang di benci oleh Allah swt. Bagaimana tidak, pernikahan adalah mitsaaqan ghaliizha yang menghalalkan sesuatu yang sebelumnya haram dan mengharamkan sesuatu yang sebelumnya halal, merupakan ibadah dan penyempurnaan separuh agama.

Tentu saja Islam sebagai sistem sempurna memiliki seperangkat aturan terkait dengan masalah pergaulan suami istri dalam bingkai pernikahan. Mulai dari fondasi akidah yang menjadi dasar pernikahan, proses yang syar’i dan aturan-aturan  terkait kewajiban masing-masing pasutri dalam rumah tangga. Ini tentu saja tidak akan di pahami oleh setiap calon pasutri kecuali dengan mempelajari Islam secara Kaffah terlebih yang berkaitan dengan persiapan pernikahan.

Ketakwaan adalah perkara yang paling utama dalam membentengi keluarga agar senantiasa mendapatkan rahmat dari sang Maha Pengasih. Hubungan suami istri adalah hubungan persahabatan dan kasih sayang, maka jika kondisi ekonomi akibat suami kehilangan pekerjaan maka istri seharusnya memberikan dorongan, karena ujian pandemi ini adalah ujian yang dihadapi oleh seluruh keluarga. Dan bukan berarti suami harus melepas tanggung jawab sebagai penanggung nafkah.

Di samping itu, Peran masyarakat juga turut andil dalam usaha-usaha menciptakan hubungan yang harmonis terhadap satu keluarga, fungsi amar ma’ruf nahi munkar dan ta’awwun ‘alal birri wa attaqwa. Akan turut mendorong terciptanya keluarga sakinah mawaddah wa rahmah. Namun tidak dapat dipungkiri peran Negara tentu menjadi hal paling penting dalam mengurangi beban ekonomi rakyatnya, misalnya dengan menangani wabah dengan cepat tanggap tentu efek domino tidak akan berkepanjangan.

Lebih dari itu sistem ekonomi dalam Islam akan memberikan sejumlah kebijakan yang mendukung terlaksananya peran suami sebagai pencari nafkah seperti menyediakan lapangan kerja bagi laki-laki, sehingga para istri tentu akan lebih maksimal menjalankan tugasnya sebagai ummu warabbatul bait, ibu yang mengatur rumah tangga serta maksimal mendidik dan mencetak generasi cemerlang.

Wallahu A’lam

 

Penulis: Ummu Mushab (Ibu Rumah Tangga)

Editor: H5P

Terima kasih

error: Jangan copy kerjamu bos