Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Opini

Menilik Fenomena Korupsi di Sektor Pengadaan Barang dan Jasa

3324
×

Menilik Fenomena Korupsi di Sektor Pengadaan Barang dan Jasa

Sebarkan artikel ini
Gisela Thesa (Mahasiswi Universitas Indonesia)

TEGAS.CO,. NASIONAL – Indonesia Procurement Watch (IPW) mengungkapkan bahwa dari total 385 kasus tindak pidana korupsi yang ditindaklanjuti oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebanyak 70 persen kasus berasal dari pengadaan barang dan jasa baik itu dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah.

Pada proses pengadaan, korupsi dapat terjadi sejak tahap perencanaan dimana sebagian besar instansi pemerintah tidak diawasi dengan maksimal yang menyebabkan terciptanya celah-celah yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai oknum untuk mengais keuntungan pribadi. Dalam proses open tender sering ditemukan kerjasama atau persekongkolan yang dilakukan antara panitia open tender dengan pelaku usaha.

Pada umumnya proses open tender direncanakan untuk menguntungkan suatu pelaku usaha dimana kualifikasi serta persyaratan dalam pengadaan suatu barang dan jasa diarahkan pada suatu jenis usaha yang dapat menghambat pelaku usaha lainnya dalam mengikuti tender. Pelanggaran moral dan etika dalam proses pengadaan tersebut memicu terjadinya KKN.

Evaluasi Sistem Pengadaan Barang dan Jasa dari Struktur Organisasi

Keppres 80/2003 telah mengatur tentang struktur organisasi pengadaan yang dibedakan menjadi tiga petugas: Pertama, Pimpinan badan publik atau pejabat yang diberi kuasa; Kedua, Pengguna Barang dan Jasa; Ketiga, Pejabat atau Panitia Pengadaan.

Struktur organisasi pengadaan dalam Keppres 80/2003 didesain dengan struktur yang hirarkis dan berjenjang dengan arah tanggung jawab secara vertikal. Berkaca pada peran ketiga petugas yang berada dalam struktur organisasi tersebut, pengguna barang/jasa (petugas kedua) memiliki kewenangan paling luas.

Dengan demikian, struktur organisasi dalam pengadaan ini didesain dengan struktur hierarkis berjenjang dengan petugas pertama berada di puncak struktur dan petugas ketiga di dasar struktur. Kelemahan yang paling menonjol dalam struktur pengadaan ini adalah pola kontrol yang timbul hanya berasal dari atasan ke bawahan sehingga menimbulkan luasnya kewenangan. Hal ini tentunya dapat membuka peluang dalam melakukan penyimpangan.

Peraturan Presiden (Perpres) 54/2010 lahir sebagai desain baru atas struktur organisasi pengadaan sebagai upaya menyediakan struktur yang horizontal dalam rangka menciptakan upaya saling kontrol terhadap proses pengadaan sehingga meminimalisasi indikasi penyimpangan. Dalam Perpres 54/2010, struktur organisasi pengadaan barang dan jasa terdiri dari: Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran (PA/KPA) pada lapisan pertama.

PA merupakan pejabat yang bertanggung jawab secara umum terhadap total anggaran di Kementerian/Lembaga/Institusi. Selain itu, PA dapat mendelegasikan kewenangannya ke KPA. KPA diperkenankan untuk mengangkat PPK, PP, dan PPHP apabila telah didelegasikan oleh PA. Kemudian, lapisan kedua dengan arah hubungan horizontal adalah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Panitia Pengadaan (PP) dan Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP).

Dengan adanya struktur dan hubungan arah yang yang horizontal, tercipta mekanisme saling kontrol di antara PPK dengan PP/ULP akibat adanya kesetaraan posisi di antara mereka. Eksistensi dari lahirnya PPHP berperan dalam memperkecil kewenangan PPK yang sebelumnya terlampau luas. PPHP didesain sebagai “kiper” dalam upaya kontrol dan pengecekan akhir mengenai pemenuhan prestasi oleh penyedia sebagaimana yang tercantum dalam kontrak. Adanya pengurangan kewenangan PPK ditangan PP/ULP dan PPHP dapat meningkatkan proses internal checks and balances.

Oleh karena itu, struktur horizontal yang terdapat dalam Perpres 54/2010 lebih menciptakan upaya pengawasan dan kontrol pada proses pengadaan sehingga mengurangi indikasi penyelewengan.

Namun, upaya perubahan struktur organisasi ini tidaklah berjalan efektif apabila inisiator penyelewengan lahir dari PA/KPA selaku pihak yang mutlak berwenang untuk mengangkat tiga struktur organ dibawahnya.

Dengan demikian, perbaikan struktur organisasi pengadaan saja tidak cukup untuk menanggulangi hal tersebut. Metode alternatif lain yang perlu digerakkan adalah mempromosikan sistem whistle blower yang efektif. Whistle blower merupakan sistem pelaporan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh seseorang di dalam organisasi atau tempat bekerja, atau pihak terkait lainnya yang memiliki akses informasi yang memadai atas terjadinya dugaan tindak pidana korupsi tersebut. Selain itu, perlu adanya penguatan kontrol atau pengawasan yang ketat terhadap sistem pengadaan barang dan jasa dengan cara melibatkan peserta tender.

Evaluasi Pengadaan Barang dan Jasa dari Sistem E-Purchasing

E-purchasing adalah konsep yang mengacu pada pembelian barang dari penyedia barang secara langsung oleh badan publik melalui sistem elektronik. Pelaksanaan e-purchasing sendiri diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Percepatan Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Nomor : 6 tahun 2016 tentang Katalog Elektronik dan E-purchasing.

Secara sederhana, pelaksanaan e-purchasing dijalankan dengan memanfaatkan katalog elektronik untuk mencari dan melihat barang/jasa yang ingin dibeli oleh badan publik. Dalam katalog elektronik tersebut, umumnya harga yang ditawarkan lebih murah dibandingkan dengan harga di pasaran. Hal ini dikarenakan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) telah menjalin kontrak dengan berbagai produsen dan distributor.

Dalam implementasinya, e-purchasing diyakini dapat menunjang proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Selain menekan penggunaan sumber daya seperti tenaga, manusia, dan uang akibat tidak dilakukannya proses tender/lelang tatap muka, implementasi e-purchasing juga memungkinkan badan publik untuk secara langsung mengontak dan mengundang penyedia barang/jasa untuk bernegosiasi mengenai harga.

Terlepas dari berbagai kebermanfaatan yang dapat ditemui, terdapat beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan dalam implementasi e-purchasing. Satu dari berbagai hal yang perlu dipertimbangkan dalam implementasi e-purchasing adalah memudarnya unsur kompetisi bagi penyedia barang/jasa untuk dapat bekerja sama dengan badan publik. Hal ini dikarenakan dalam sistem e-purchasing tidak melibatkan proses lelang/tender.

Hilangnya unsur kompetisi bagi pihak penyedia tentunya berujung pada berbagai kemungkinan lain yang dapat menghambat proses pengadaan barang/jasa, seperti keterbatasan jenis barang/jasa yang ditawarkan dalam katalog elektronik. Beberapa barang/jasa misalnya hanya dapat diperoleh melalui produsen tertentu dan keterbatasan jenis/barang dan jasa akan mengharuskan badan publik membuka pelelangan untuk mendapatkan barang/jasa dengan spesifikasi yang sesuai.

Pudarnya unsur kompetisi dalam proses e-purchasing mungkin dapat dianggap sebagai upaya meningkatkan efektifitas dan memangkas biaya anggaran, tetapi yang harus dipahami adalah hal ini juga berpotensi menimbulkan tindakan procurement fraud.

Maka dari itu, sistematika pelaksanaan e-purchasing harus terus dikembangkan. Pemerintah Indonesia sudah sebaiknya meningkatkan jenis barang/jasa yang tercantum dalam katalog elektronik dan turut memastikan dalam proses pengadaan barang/jasa tetap terdapat unsur kompetisi di dalamnya, untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya penyimpangan atau fraud.

Berkaitan dengan kondisi tersebut, upaya yang dapat ditempuh oleh pemerintah Indonesia salah satunya ialah melakukan pembinaan terhadap penyedia barang/jasa untuk memastikan bahwa kompetisi antar penyedia barang/jasa dapat berjalan secara proporsional. Kompetisi antar penyedia barang/jasa yang proporsional merujuk pada kompetisi tanpa diskriminasi yang merugikan pihak tertentu, terutama Usaha Mikro, Kecil, Menengah yang kerap kali kesulitan untuk bersaing dengan produsen-produsen besar.

Evaluasi Pengadaan Barang dan Jasa dari Proses Pelelangan Elektronik (E-Tendering)

Selain diperlukannya evaluasi terhadap struktur organisasi pengadaan dan sistematika pelaksanaan e-purchasing, diperlukan juga mekanisme kontrol yang dilakukan oleh pengawasan internal dan juga eksternal. Mekanisme kontrol yang dimaksud tidak melulu merujuk pada pengawas eksternal seperti BPK, tetapi dapat juga melibatkan pengawasan dari pihak yang terlibat. Salah satunya adalah jika diadakan suatu lelang, maka sangat disarankan untuk melibatkan pengawasan dari peserta tender.

Hal ini dikarenakan peserta tender umumnya merupakan orang yang memiliki pengalaman dalam proses pengadaan sehingga menunjang kapabilitas mereka dalam melakukan pengawasan terhadap proses pengadaan. Kemampuan pengawasan yang dimiliki oleh peserta tender ditunjang oleh motif ekonomi yang mendorong mereka untuk turut memastikan bahwa proses pengadaan dilakukan dengan adil dan bebas dari perbuatan curang.

Pemanfaatan peserta dan calon peserta tender untuk melakukan pengawasan terhadap proses pengadaan tercermin dalam pelaksanaan mekanisme sanggah dan sanggah banding. Dalam proses pelelangan yang dilakukan tanpa tatap muka, peserta dan calon peserta tender diberikan kesempatan untuk bertanya pada sesi penjelasan (aanwijzing) dan hanya diperbolehkan untuk meminta review terhadap keputusan hasil pemenang lelang.

Keterbatasan peserta dan calon peserta tender untuk melakukan sanggah meninggalkan ruang yang besar untuk tindakan curang, karena peserta dan calon peserta tender tidak diberikan kewenangan yang cukup untuk mengevaluasi dan mengajukan sanggahan terhadap kemungkinan adanya manipulasi dokumen pengadaan. Padahal, selalu terdapat kemungkinan terjadinya tindakan rekayasa dan manipulasi dalam persyaratan yang tercantum pada dokumen yang seharusnya dapat diperkarakan.

Sebagai bentuk upaya mereduksi kemungkinan terjadinya procurement fraud seperti korupsi, adalah dengan menerapkan bid protest. Secara sederhana, bid protest dapat dipahami sebagai sistem audit atau pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap proses pengadaan barang/jasa yang melibatkan pihak ketiga.

Pihak ketiga yang dimaksud ialah calon peserta tender yang akan memantau proses pengadaan barang/jasa dan kesesuaiannya dengan peraturan yang berlaku, sehingga dapat menghindari keputusan tindakan pemerintah yang dinilai tidak tepat atau menyimpang.

Dalam kondisi praktiknya, bid protest dijalankan sebagai bentuk pencegahan penyimpangan sekaligus bentuk koreksi jikalau terjadi penyimpangan dalam proses pengadaan barang/jasa. Bid protest menyediakan ruang bagi para peserta dan calon peserta tender untuk menyuarakan keberatannya atas keputusan panitia pengadaan dalam konteks teknis dan administratif yang dianggap merugikan mereka, terutama untuk melakukan tinjauan terhadap substansi dokumen pengadaan.

Dari uraian di atas, dapat dipahami jika pemerintah Indonesia berkenaan untuk memperluas objek sanggah, maka akan memangkas kemungkinan terjadinya rekayasa tender dalam proses pengadaan barang/jasa.

Langkah yang perlu dilakukan pemerintah
Pemerintah sebagai pihak yang diamanahkan bangsa untuk memajukan kesejahteraan umum sesuai dengan pembukaan UUD 1945 sudah sepatutnya melaksanakan upaya pencegahan tindakan korupsi, khususnya korupsi yang terjadi pada sektor pengadaan.

Sebagaimana poin yang telah dijelaskan bahwa pemerintah telah berupaya mereformasi struktur organisasi pada sektor pengadaan yang sebelumnya hierarkis menjadi lebih horizontal. Pemerintah pun telah melakukan sistem e-purchasing dan e-tendering dalam sistem pengadaan barang dan jasa. Namun, diperlukan adanya pengembangan dari sistem berbasis teknologi tersebut agar kekurangan-kekurangan yang ada dapat diminimalisasi.

Terkait perubahan struktur organisasi pengadaan publik yang lebih horizontal sebagaimana yang telah disinggung pada penjelasan di atas bahwa struktur horizontal ini ternyata masih mengandung adanya potensi dari pihak atasan (PA/KPA) dalam mengarahkan bawahannya untuk menyalahgunakan sistem pengadaan.

Dengan demikian, mekanisme kontrol tidak cukup jika hanya mengandalkan pengawasan internal, namun juga diperlukan adanya pengawasan eksternal. Pengawasan ini bisa dilaksanakan melalui keterlibatan lembaga pengawas eksternal seperti BPK, serta dengan memberdayakan pengawasan dari peserta tender itu sendiri.

Menutup Celah Korupsi di Sektor Pengadaan

Pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa upaya seperti mengubah struktur organisasi pengadaan untuk mengoptimalisasi kontrol, serta memanfaatkan teknologi yang terlihat pada program e-procurement.

Walaupun belum terlaksana secara optimal, upaya tersebut merupakan langkah awal pemerintah untuk terus menekan angka korupsi di sektor pengadaan barang dan jasa. Ketika berbicara tentang korupsi di sektor pengadaan, kita tidak bisa terlepas dari pentingnya peran etika dari setiap pejabat publik yang terlibat dalam pengadaan itu sendiri.

Pemerintah memang sudah mengatur mengenai kode etik pada sektor pengadaan melalui yang mengatur tentang sikap, tingkah laku, dan perbuatan dari setiap pegawai Lembaga Kebijakan Pengadaan Pemerintah (LKPP).

Ironisnya, kita masih menemukan banyak kasus korupsi di sektor pengadaan yang dilakukan oleh oknum pejabat publik, seperti menyelenggarakan lelang tertutup meskipun terlihat seperti lelang terbuka, mark up terhadap harga yang ditawarkan atau manipulasi harga, dan penerimaan suap.

Oleh karena itu, setiap badan publik harus kembali menyoroti pada reformasi sumber daya manusia yang menyangkut perubahan pola pikir, budaya kerja, dan perilaku yang turut memperkuat penerapan etika sehingga dapat mencegah tindak korupsi. Hal yang mungkin dilakukan adalah dengan edukasi berkala mengenai etika publik dan integritas dari seorang pejabat publik.

Selain itu, dibentuknya sistem whistleblowing untuk memudahkan pendeteksian terhadap pejabat publik yang melanggar kode etik perilaku seperti yang telah diatur. Dengan demikian, tidak akan ada lagi celah-celah untuk melakukan korupsi di sektor pengadaan.

Penulis: Gisela Thesa (Mahasiswi Universitas Indonesia)

Editor: Yusrif Aryansyah

Terima kasih