Banjir Tuntas dengan Penerapan Islam secara Totalitas

Banjir Tuntas dengan Penerapan Islam secara Totalitas
Ummu Alifah (Pegiat Literasi Komunitas Penulis Bela Islam AMK)

Setiap musim penghujan tiba, bencana banjir seolah menjadi langganan. Bukan sekali dua kali, bukan pula terjadi hanya di satu dua lokasi, bahkan lebih menyedihkan ketika bencana musiman tersebut sudah mulai menuai korban jiwa dan luasan daerah yang terdampak kian besar.

Sebagaimana diwartakan katadata.co.id (6/10/2022), telah terjadi banjir di daerah Aceh Utara dari Selasa (4/10/2022) hingga Kamis sore, memaksa 18.160 warga mengungsi. Selain 6.775 rumah warga, ada sekitar 500 hektar sawah, 4 kantor pemerintahan, 1 gedung sekolah hingga bangunan fasilitas kesehatan yang turut terendam banjir.

Tak kalah mengenaskan banjir yang menimpa ibu kota Jakarta dan beberapa kota penyangganya. Pada Kamis, 6 Oktober 2022 telah terjadi banjir sampai memakan korban jiwa. Sungguh nahas, tiga siswa Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 19 di Jakarta Selatan meninggal setelah sebelumnya tertimpa tembok pembatas sekolah yang ambruk terkena luapan air yang terus bertambah. Banjir kali ini dilaporkan oleh BPBD DKI telah memaksa 270 warga mengungsi. (katadata.co.id, 7/10/2022)

Antara Banjir Jakarta, Aceh, dan Lainnya

Banyak yang menduga bahwa curah hujan yang ekstrem adalah satu-satunya faktor penyebab banjir. Padahal jika merujuk pendapat ahli, Kepala BMKG yang juga mantan Rektor Universitas Gadjah Mada, bahwa curah hujan adalah pemicu saja. Sementara penyebab lain yang jauh lebih signifikan adalah dari sisi kondisi lahan, saluran air, juga kerusakan lahan yang terjadi.

Hal tersebut sangat mendasar, karena sesungguhnya air hujan seekstrem apapun ketika turun mengenai kondisi lahan yang masih baik, akan diserap bahkan menumbuhkan kehidupan lain di atas permukaan tanah. Cukupnya lahan terbuka hijau menjadi syarat baiknya kemampuan serapan. Akan berbeda jika di atas pemukaan tanah, lahan tebuka hijau semakin menyempit bahkan hampir habis tergantikan oleh gedung pekantoran, mall, hotel, hunian dan bangunan beton lainnya.

Terlebih ketika  terjadi penurunan kemampuan tanah untuk menyerap air yang datang. Dimana salah satunya banyak tercemari oleh limbah pabrik. Kondisi semakin diperparah dengan jeleknya drainase. Guyuran air hujan yang seharusnya teralirkan ke lahan terbuka hijau dan terserap, malah meluap, menggenang dan terjadilah banjir.

Faktor lainnya adalah iklim saat ini yang kian memburuk. Stefan Rahmstorf, seorang pakar iklim Institut Potsdam Jerman menyampaikan bahwa hasil studi terkini menemukan adanya tren kenaikan cuaca ekstrem termasuk di antaranya hujan, dengan meningkatnya emisi gas rumah kaca (

www.dw.com).

Menarik ketika menelusuri arah penyebab banjir yang terjadi berulang di wilayah Jakarta. Banjir telah menjadi satu problem yang turun-terumurun dihadapi setiap generasi kepemimpinan di kota metropolis nomor satu di negeri ini. Masing-masing gubernur memiliki cara pandang yang berbeda dalam memetakan kasus banjir dan bagaimana penanganannya.

Di masa Gubernur Sutiyoso anggaran yang sangat besar, Rp721 miliar disiapkan untuk penanganan banjir. Mulai dari pengerukan kali, pengadaan pompa air, dan meneruskan program sebelumnya yakni proyek Banjir Kanal Timur (BKT). Hasilya, banjir tetap terjadi.

Masuk ke era Gubernur Joko Widodo problem banjir disolusikan dengan melakukan perbaikan tanggul-tanggul. Dibuat pula perencanaan program penyelesaian banjir berupa pembangunan terowongan multiguna, sumur resapan, sodetan Ciliwung, dan tanggul laut raksasa, RTh terus ditambah, hingga normalisasi dan pengerukan kali. Banjir pun masih menghampiri warga ibu kota.

Adapun pada dua pemerintahan sesudahnya banjir disolusikan dengan dua pendekatan yang bebeda, normalisasi alias betonisasi dan naturalisasi. Namun, seperti pendahulunya, banjir tak juga terhenti dan selalu menyisakan derita bagi warga.

Sementara apa yang tejadi di Aceh adalah berkaitan dengan tata kelola ruang dan air. Apa yang tampak adalah debit air hujan yang tinggi mengguyur di musim hujan menjadikan kapasitas sungai tak sanggup menampungnya, hingga meluap dan tejadilah banjir.

Fakta menunjukkan, hutan sebagai lahan serapan alamiah hujan telah banyak dialihfungsikan menjadi lahan pertanian dan perkebunan khususnya sawit. Pemerintah dalam hal ini banyak mengeluarkan izin bagi para pengusaha sawit dan aktivitas korporasi yang mendapat izin hutan tanaman industri hingga 20 ribu hektar (www.mongabay.co.id, 12/1/2021). Pepohonan yang secara alamiah akan menjadi penahan tergerusnya tanah oleh air hujan telah habis ditebang. Bermunculan sedimen-sedimen lumpur di bagian hulu hingga muara sungai, berdampak kapasitas sungai kian berkurang. Hingga semuanya akan berkolaborasi menimbulkan banjir ketika hujan turun, telebih jika kondisinya ekstrem. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Walhi betapa banjir yang berulang terjadi di Aceh utara terjadi karena masifnya alih fungsi dan perambahan hutan khususnya menjadi perkebunan sawit, juga maraknya illegal loging di banyak kawasan hutan di sana (serambinews.com, 3/1/2022).

Kesalahan Sistemik

Tak jauh berbeda apa yang menimpa wilayah lain di Nusantara. Jakarta dan Aceh hanya dua di antara sekian wilayah yang akibat tata kelola tidak tepat harus menerima konsekuensi buruk berupa banjir yang tak bekesudahan.

Meski anggaran telah banyak dikeluarkan, beragam upaya dan strategi penanganan pun terus dilakukan. Namun banjir tak juga bisa disolusikan secara tuntas. Itu karena ada kesalahan sistemik yang terjadi. Sungguh semua terjadi karena negara ini menganut sistem kapitalis sekuler. Kapitalisme telah mengarahkan para pemegang kuasa untuk menjalankan amanah kepemimpinannya dengan tujuan yang materi oriented. Keberpihakannya pada para pemilik korporasi demikian besar mengalahkan keberpihakannya pada rakyat luas. Hingga beragam izin yang akan memuluskan jalannya roda perusahaan akan dikeluarkan. Meski itu semua harus ditebus dengan terubahnya ekosistem alami dan akan berkonsekuensi banjir.

Paradigma sekuler telah menjauhkan agama dari pengaturan kehidupan. Pribadi-pribadi minim ruhiyah pun bemunculan. Bagi para penguasa, rasa takutnya makin terkikis habis akan hisab di akhiat ketika abai dalam menjalankan amanah berupa menjaga harta, keselamatan, dan jiwa rakyat. Bagi para kapitalis ber-cuan tebal, nafsu serakah dalam mengembangkan bisnisnya meminggirkan empatinya untuk memikirkan kerusakan alam dan ekosistem lingkungan. Adapun rakyat tak berdaya ketika mendapati urusan kehidupannya tak diurus secara paripurna oleh pemimpin yang sebelumnya mereka pilih.

Mengubah Paradigma

Tidak demikian adanya jika paradigma kapitalis dienyahkan dan beralih menuju Islam. Sebagai sebuah mabda (idelogi) Islam memiliki seperangkat aturan (syariat) yang kompehensif terkait persoalan kehidupan. Asasnya berupa akidah Islam, demikan kokoh bagai batu karang. Di dalamnya mengajarkan betapa manusia adalah makhluk, dimana ketika menjalani hidup wajib tunduk pada titah Sang Pemberi kehidupan, Allah Swt..

Titah Allah terangkum dalam Al-Qur’an dan sunah nabi-Nya. Syariat mengamanahkan pada semua pribadi untuk tunduk pada setiap kebijakan penguasa yang konsisten menerapkan hukum-hukum Allah. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 59, “Hai orang-orang yang berimana, taatilah Allah dan ta’atilah Rasul-(Nya), dan ulil amri (pemimpin) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya) ….”

Bagi para penguasa diwajibkan untuk mengurus dengan segenap kemampuan yang dimiliki bersandar hanya pada syariat dan dalam rangka sebesar-besar untuk kepentingan pengurusan rakyat. Itu karena ia diberi mandat oleh Allah ketika diangkat menjadi penguasa semata untuk menjadi penggembala semua rakyatnya. Sabda Rasulullah saw., “Imam (pemimpin) itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyat (yang digembalakannya).” (HR. Imam Bukhari dan Imam Ahmad)

Banjir dalam hal ini adalah salah satu persoalan rakyat yang butuh disolusikan. Karenanya, tentu wajib diurus bagaimana langkah antisipatif agar tehindar darinya. Jika pun terjadi bencana banjir, maka dibutuhkan upaya mitigasi dan penanganan yang cepat dan tidak berulang.

Penguasa dalam Islam akan menerbitkan beragam kebijakan yang tegas terkait langkah antisipatif menghindari banjir. Mulai dari kebijakan tata ruang yang mempehatikan ekosistem alami lahan. Lahan yang direkomendasikan oleh para ahli sebagai wilayah yang berpotensi rawan banjir, akan dilarang oleh negara untuk mendirikan bangunan, baik hunian warga, pasar, pabrik dan lainnya di atasnya. Sebaliknya di daerah tesebut akan dijadikan lahan hijau terbuka yang mampu menyerap curah hujan ketika musim penghujan tiba.

Negara pun akan membangun sistem drainase yang baik. Pembangunan sungai buatan dan kanal dalam rangka mengalirkan curah air yang datang. Bendungan pun didirikan untuk menampung limpahan air agar tidak terjadi genangan. Tak lupa dibangun sumur-sumur resapan dengan jumlah yang memadai. Selain kemampuan penyerapan airnya dipakai untuk menghindari genangan di saat musim hujan, juga dapat dijadikan sebagai sumber air tanah yang sangat berguna ketika musim kemaau tiba.

Badan khusus pemantau cuaca dan iklim, juga biro penanganan bencana pun dibentuk sebagai langkah antisipatif dan tanggap darurat. Dimana biro-biro ini akan disediakan dana yang mencukupi oleh negara.

Semua kebijakan di atas ditopang oleh sistem pendanaan yang kuat. Ia disediakan oleh lembaga negara Baitulmaal yang pos-pos pemasukannya didapat dari pengelolaan harta milik umum (al-milkiyah ammah) yang merujuk pada syaiat.

Banjir saat ini telah menjadi problem yang seolah sangat rumit dan sulit untuk diuraikan. Butuh solusi yang tuntas dengan ketakwaan hakiki berupa penerapan Islam yang totalitas untuk menghentikannya.

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, ….”

(Ath-Thalaq: 2)

Ummu Alifah (Pegiat Literasi Komunitas Penulis Bela Islam AMK)

REDAKSI

 

 

 

 

 

Komentar