Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Opini

Kutukan Sumber Daya

1492
×

Kutukan Sumber Daya

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi
Ilustrasi aktivitas pertambangan nikel. Foto: Istimewa

Oleh Bachtiar Sitanggang

Majalah Tempo terbitan 29 Januari 2023 dalam OPINI-nya menulis dengan judul: “Orang Kuat Tambang Ilegal”, pada alinea pertama memuat, “Sudah banyak mengingatkan sumber daya alam adalah anugerah yang mudah berubah menjadi musibah. Kekayaan alam yang dikelola dengan ngawur, apalagi melanggar hukum, akan menguntungkan sedikit orang dan menjadi malapetaka bagi orang ramai”.

Setelah menguraikan kondisi pertambangan nikel di Sulawesi Tenggara, di alinea terakhir ditulis lagi: “Presiden Joko Widodo harus menghentikan praktik ugal-ugalan ini. Jika diteruskan, Jokowi mengulangi apa yang pernah terjadi di Amerika Serikat pada abad ke-19: kekayaan negara dirampok para “robber baron”, orang kaya yang mengeruk kekayaan sumber daya alam sementara hukum tak berkutik karena aparatnya lunglai dibungkam suap”.

Majalah Tempo seperti biasanya menyajikan berita secara mendalam dan komprehensif sebanyak 14 halaman lengkap dengan foto dan grafik.

Lupa saya siapa yang berbaik budi mengirimkan berita tersebut ke saya via WA, lalu saya kirim lagi kepada Dr. Ir. Raden Sukhyar, mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Beliau mengomentari, “Tks Pak Bachtiar” seraya acungkan jempol dan ditambahkan “perang bintang yaa Pak”. Lalu saya tanggapi lagi “Sdh lebih Pak, tdk hanya bintang lg sudah ikut istri n anak”.
Dr. Ir. Raden Sukhyar menyahut lagi: sdh lampu kuning “Kutukan Sumberdaya”, (dialog itu berlangsung 26 Januari 2023).

Perkenalan dengan Dr. Ir. Raden Sukhyar adalah ketika saya mengikuti “pelatihan dan sertifikasi Konsultan Hukum dan Pengacara Pertambangan” secara on line dan beliau memberi materi “Pengusahaan Pembinaan dan Pengawasan Pertambangan”.

Kata-kata ”Kutukan Sumberdaya” tersebut selalu mengganggu pikiran saya, sampai-sampai saya cari apa arti “kutukan” dan “sumberdaya” tersebut. Akhirnya saya memberanikan diri lagi mengirim pertanyaan kepada beliau: “apakah bencana banjir bandang, longsor akibat perambahan hutan, terjadinya danau2 bekas tambang di Kalimantan, Papua, Bangka Belitung bisa disebut “Kutukan Sumberdaya”? Dengan sabarnya dijawab, “belum tentu, krn bisa terjadi curah hujan sangat ekstreem yg menyebabkan banjir”.

Pertanyaan saya lagi, “Kira2 ukuran sederhananya utk dapat mereka-reka mengingatkan agar tidak terjadi “Kutukan Sumberdaya” itu apa Pak.
Dr. Ir Raden Sukhyar menjelaskan: “Masyarakat tdk mendpt manfaat atas sumberdaya artinya miskin, hukum tidak berjalan atau hukum dikendalikan kekuasaan dan korupsi merajalela dan lingkungan rusak”.

Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas menyebutkan “Kutukan” adalah sebuah keinginan yang mengeskpresikan beberapa bentuk kesengsaraan atau kemalangan yang akan menimpa atau jatuh ke beberapa entitas lain (orang, tempat, atau benda)”.

Sementara “sumber daya” menurut Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas adalah suatu nilai potensi yang dimiliki oleh suatu materi atau unsur tertentu dalam kehidupan. Sumber daya tidak selalu bersifat fisik, tetapi juga non-fisik (intangible)”.

Di tahun 1970-an poliitisi senior Sabam Sirait sudah berteriak tentang bahaya rusaknya lingkungan karena hutan-hutan sudah dikapling-kapling. Mungkin Kementerian Kehutanan saja tidak memiliki berapa ribu ton kayu dari hutan tropis Indonesia yang dinikmati pengusaha sementara rakyat di sekitarnya hanya kebagian banjir bandang, tanah longsor, dan kerusakan lingkungan.

Apakah kewajiban para pemegang HPH ditunaikan kepada negara, pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten serta masyarakat setempat? Apakah ada penegakan hukum berlaku dan berlangsung dalam pengelolaan hasil hutan? Atau hanya segelintir orang saja yang menikmati sementara APH-nya lunglai?

Demikian juga dengan pertambangan yang semakin marak belakangan ini, apakah kewajiban para penambang itu telah memenuhi ketentuan hukum? Kalau kita perhatikan di Pulau Belitung, telah muncul danau-danau baru dengan warna air yang kebiru-biruan bekas tambang timah apakah memberikan manfaat yang wajar dan layak bagi masyarakat sekitar?

Naik pesawat dari Balikpapan ke Samarinda saja sudah terhampar beberapa danau buatan, artinya tidak ada reklamasi? Apakah kondisi seperti itu sesuai dengan kewajiban penambang sebagaimana ketentuan peraturan Perundang-undangan?

Kalau kita lihat foto-foto tambang Freeport, kita tidak tahu bagaimana di kemudian hari menggunakan bekas-bekas tambang tersebut, dan banyak lagi dan banyak lagi, hal-hal tersebut sungguh jauh dari pemahaman orang awam. Apakah itu semua sesuai dengan aturan hukum atau apakah sudah ada aturan hukumnya? Dan kalau sudah ada apakah hukum itu ditegakkan di sana?

Dalam kaitan itulah saya terkesima kata-kata Dr. Ir. Raden Sukhyar di atas, apakah akan terjadi “Kutukan Sumberdaya” itu di kemudian hari, karena bumi telah dikroyak dan isi perutnya dikeruk dan lingkungan telah rusak.

Bagaimana dengan pertambangan-pertambangan nikel di Sulawesi Tengah dan Tenggara? Apakah masih bermain “perang bintang” dan “illegal mining”. Tidaklah berlebihan kalau hutan di kedua provinsi itu akan rusak akibat pertambangan, persoalannya, apakah pemerintah tegas dalam menegakkan hukum di sana?

Melihat persebaran IUP Nikel di Sulawesi Tenggara, berdasarkan data yang diririlis Dirjen Minerba (2020) di Indonesia IUP Nikel total 292 IUP, di mana 154 berada di Sultra terbanyak di Indonesia dengan luas 198.624,66 Ha atau tambang nikel terbesar di Indonesia.

Bagaimana nanti setelah nikel itu tertambang semua, bagaimanakah bentuk dan kegunaan bekas-bekas tambang nikel tersebut? Pertanyaan mendasar bagaimanakan tingkat kesejahteraan masyarakat di Sulawesi Tenggara saat ini dan daerah-daerah lain penghasil bahan tambang masa lalu sekarang serta masa mendatang?

Dan tidak keliru Majalah Tempo mengingatkan Presiden Joko Widodo untuk bertindak tegas agar “Kutukan Sumberdaya” itu tidak terjadi, dan para pengusaha dan para petinggi pemerintah serta politisi partai politik jangan jadi “robber baron” atau “pengusaha (dan penguasa) rampok” sebagaimana pesan di atas: Joko Widodo harus menghentikan praktik ugal-ugalan ini. Jika diteruskan, Jokowi mengulangi apa yang pernah terjadi di Amerika Serikat pada abad ke-19: kekayaan negara dirampok para “robber baron”, orang kaya yang mengeruk kekayaan sumber daya alam sementara hukum tak berkutik karena aparatnya lunglai dibungkam suap”.

Mungkin penegakan hukum pertambangan perlu dilengkapi dengan sarana dan prasarana, seperti helikopter dan boat sehingga mampu mengawasi praktek penambangan di pegunungan/hutan dan perairan, sehingga dapat dicocokkan laporan dan praktek di lapangan, tidak hanya menerima berkas. Generasi ini harus memberi kenyamanan kepada generasi berikutnya, tidak seperti yang sekarang harus setengah mati “cuci piring kotor” dan jangan mewariskan “Kutukan Sumberdaya”.
***
Penulis adalah wartawan senior dan advokat berdomisili di Jakarta.

Terima kasih

error: Jangan copy kerjamu bos