Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Opini

Polemik Gas yang Berkepanjangan

812
×

Polemik Gas yang Berkepanjangan

Sebarkan artikel ini

Oleh: Ummu Syaqieb

Rencana kenaikan gas melon 3 kg yang sempat diwacanakan oleh pemerintah, langsung menuai resah di kalangan masyarakat. Meski akhirnya wacana tersebut dianulir oleh pemerintah sendiri, dengan menyatakan kenaikkan harga gas masih dalam tahap pembahasan, belum sampai tahap keputusan.

Keresahan masyarakat wajar adanya. Pasalnya, rencana kenaikan harga gas melonjak sangat tajam, hampir 100 persen. Hal ini tentu saja membuat masyarakat pengguna, utamanya rakyat miskin dan para pedagang, khawatir bukan kepalang. Sebagaimana yang dirasakan para pedagang di Kuningan-Jabar. Salah seorang pedagang gorengan di kota kuda itu, Sule, menyatakan kenaikan harga gas melon akan sangat memberatkan, apalagi jualannya tengah sepi. Ia sangat berharap rencana kenaikkan itu dibatalkan. Tentu saja, jeritan Sule mewakili seluruh masyarakat pengguna gas melon (kuninganmass.com, 23/01/2020).

Wacana kenaikan harga gas sebetulnya buah dari wacana pencabutan subsidi 3 kg oleh pemerintah pusat. Tercatat pada 2019 kemarin, subsidi pemerintah pada elpiji 3 kg yang disalurkan mencapai Rp 42,47 triliun, paling tinggi diantara subsidi migas lainnya. Namun pemerintah berdalih, yang terjadi sebetulnya bukanlah pencabutan subsidi melainkan pengalihan subsidi. Karena kelak, direncanakan akan ada subsidi tertutup dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai yang hanya diberikan pada rakyat miskin sesuai ketentuan penyaluran subsidi gas 3 kg.

Pemerintah juga berencana akan mengembangkan jaringan gas (jargas) atau citygas guna menambal beban fiskal akibat subsidi elpiji 3 kg yang sangat besar. Penyebaran jargas di Indonesia selama periode 2009-2019 baru menyentuh sekitar 530 ribu titik. Ke depan, Kementerian ESDM berencana menambah 266 ribu jargas di titik yang memiliki sumber gas dan infrastruktur pendukungnya (m.liputan6.com, 30/01/2020).

Kebutuhan konsumsi gas domestik selalu meningkat di tiap tahunnya. Sayangnya,  kebutuhan yang tinggi tidak berimbang dengan jumlah produksi gas dalam negeri.  Walhasil, langkah impor gas menjadi solusi yang ditempuh selama ini. Untuk menekan harga, maka pemerintah memberi subsidi bagi rakyat miskin berupa potongan harga gas. Namun tren kebutuhan gas subsidi yang terus meningkat, mau tak mau membuat subsidi gas pun terus membengkak dan menjadi beban negara. Inilah polemik laten terkait gas.

Sejatinya, gas termasuk kebutuhan pokok masyarakat yang pemenuhannya menjadi tanggung jawab penuh negara. Andaipun tidak digratiskan, setidaknya harga relatif murah bagi seluruh kalangan. Tidak ada istilah subsidi ataupun klasifikasi masyarakat, karena termasuk hak.  Namun hal tersebut akan sangat sulit diwujudkan di era ini, saat sumber daya alam yang semestinya menjadi milik umat justru dikuasai oleh para pengusaha dalam sistem ekonomi kapitalisme.

Gambaran lain, menurut Data BPS, pemerintah setidaknya melakukan ekspor gas ke 9 negara utama dan sejumlah kecil pada beberapa negara lainnya. Ke-9 negara itu adalah Jepang, Korea Selatan, Tiongkok, Thailand, Filipina, Malaysia, Australia, Singapura, dan Hongkong. Per 7 Oktober 2019, nilai ekspor tertinggi ditujukan kepada Singapura. Per 2017 dan 2018 saja banyaknya mencapai 7.653,2 dan 7.496,2 ribu ton. Kebijakan ekspor disaat kebutuhan dalam negeri masih kurang, tentunya perlu dikaji ulang.

Di sisi lain, kita tidak bisa menutup mata terkait penguasaan lahan migas oleh perusahaan-perusahaan asing terus terjadi di tengah krisis migas yang dialami negeri ini. Sebagai contoh, blok migas Cepu yang hingga kini masih dikelola Exxon Mobile. Harusnya Pertamina sebagai BUMN, menjadi satu – satunya pihak yang legal dalam mengelola migas. Yang terjadi,  Pertamina justru membeli minyak dari Exxon Mobile. Langkah swastanisasi seperti ini menjadi langkah bunuh diri politik.

Kendala keterbatasan teknologi yang selama ini menjadi dalil penguasaan migas oleh perusahaan-perusahaan asing, semestinya lekas dicari solusi, bukan dibiarkan. Pemerintah dapat mengundang perusahaan asing sebagai rekanan yang diposisikan dengan akad ijaroh (kontrak kerja). Dengan begitu, kendali tetap berada di tangan negara dan dapat dipergunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan masyarakat. Begitulah pengaturan yang berlaku dalam Islam.

Namun sekali lagi,  hal itu sulit terwujud dalam sistem ekonomi neoliberalisme-kapitalisme yang diterapkan di negeri ini. Maka solusi hakiki hanya bisa ditempuh dengan mengganti sistem tersebut dengan sistem yang shahih, yakni sistem Islam. []

Biodata Penulis:

Nama: Suti Khotimah

Nama Pena: Ummu syaqieb

Alamat: Kuningan Jabar

Aktifitas: Pemerhati Sosial Masyarakat

error: Jangan copy kerjamu bos