Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Opini

Korupsi Sistemik, Akibat Mabuk Demokrasi

1140
×

Korupsi Sistemik, Akibat Mabuk Demokrasi

Sebarkan artikel ini
Korupsi Sistemik, Akibat Mabuk Demokrasi
Wa Ode Asnalita

Citra tingkah pola para pejabat elit politik tidak pernah lepas dari korupsi. Masyarakat telah memandang korupsi oleh pejabat elit politik sebagai tindakan ‘lazim’. Betapapun masyarakat membenci dan menginginkan perilaku korupsi lenyap di bumi pertiwi, faktanya korupsi masih saja menjaring ‘aktor-aktornya’, bahkan lebih banyak lagi disetiap episodenya.

Menyesakkan memang. Korupsi, yang menjadi musuh bersama tampaknya masih terlalu kuat untuk dikalahkan. Satu per satu pejabat elit politik terjebak dalam pusarannya. Marak terjadi tidak hanya dalam satu bidang saja, namun sudah banyak dipraktekkan dalam segala bidang. Hingga terkesan korupsi sudah tak dapat dibendung, korupsi terus merambah setiap instansi dan sendi pemerintahan hampir di segala porsi.

Adalah Jiwasraya, Asabri, Pelindo, proyek fiktif di Kemen PUPR, suap di KPU yang melibatkan partai penguasa, kasus di Garuda, dst muncul di permukaan di awal tahun ini menjadi potongan ‘drama’ skandal korupsi yang mengerikan dan menyakitkan hati umat.

Setelah publik dikejutkan dengan PT asuransi Jiwasraya yang mengalami gagal bayar. Kini publik pun dibuat tercengang dengan masalah tertangkapnya komisioner KPU, Wahyu Setiawan, yang juga menyeret sejumlah kader PDIP dan mantan anggota Bawaslu.

Komisioner KPU Wahyu Setiawan terjaring operasi tangkap tangan (OTT) oleh tim KPK di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang pada 8 Januari lalu. Wahyu ditangkap terkait dugaan suap upaya pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI dari PDIP dapil Sumsel I Riezky Apriliani oleh Harun Masiku, kursi panas alm. Nazarudin Kiemas. (politik.rmol.id, 14/1/2020).

Kasus yang serupa, Mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelia memakai rompi oranye usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Jumat(10/1). KPK menahan Agustiani Tio Fridelia setelah terjaring operasi tangkaptangan terkait kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji pada penetapan anggoa DPR terrpilih 2019-2024. (republika.co.id, 10/1/2020) Nama Hasto Kristiyanto pun mencuat seiring ditetapkannya Harun Masiku, Saeful Bahri, dan Agustiani Tio Fridelia (rmol.id, 12/1/2020)

Skandal mega korupsi yang juga menyita perhatian publik adalah dugaan korupsi PT Asabri. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan, ada informasi korupsi di PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) (jawapos.com, 12/1/2020). Dilansir dari tempo.co, 15/1/2020, Anggota BPK Harry Azhar Aziz menyatakan nilai kerugian Negara ditaksir di atas Rp 10 Triliun. Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) tengah mendalami kasus dugaan korupsi di PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri).

Indonesia Masih Dalam Status Darurat Korupsi

Melihat merebaknya korupsi di Indonesia, kalimat singkat “Darurat Korupsi” ini mungkin cocok untuk menggambarkan betapa “virus” korupsi sudah benar-benar mencengkeram erat negeri ini. Rentetan fakta yang pernah mengemuka memiliki makna yang mendalam terkait kondisi negeri ini yang semakin sulit lepas dari jerat korupsi.

Kasus-kasus penyalahgunaan wewenang berkelindan satu sama lain, meskipun telah dilakukan upaya dengan membentuk lembaga khusus untuk menangani kasus korupsi sejak era Soeharto dengan dibentuknya Komisi Anti Korupsi lalu muncul nama Komisi/ Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian menjadi cikal bakal KPK di era Megawati. Namun bukannya lenyap di bumi pertiwi, melainkan tetap menggurita bahkan menjamur subur.

Pemberantasan korupsi yang menjadi bagian tuntutan era reformasi, tampaknya tak mampu mereformasi hawa nafsu pejabat yang makin semrawut. Melalui media Tempo.co, salah satu pelopor terbentuknya KPK, Hamid Chalid pernah mengatakan bahwa korupsi di era reformasi lebih massif dan besar dari sisi kerugian Negara. Menurut dia, pola korupsi saat ini berbeda dengan zaman Orde Baru yang terstruktur. “kalau sekarang lebih haoti (semrawut),” kata Hamid (22/5/2018).

Mengidentifikasi dan mencari solusi akar masalah korupsi menjadi PR bagi pemerintah dan rakyat. Kasus yang berulang-ulang, sehingga menunjukkan hadirnya lembaga KPK bukan solusi tuntas yang mengakar.

Pada faktanya para elit dan partai dengan nyata sudah melemahkan upaya pemberantasan korupsi dengan adanya revisi UU KPK hingga membuat KPK nyaris makin tak bergigi. Harus menunggu persetujuan Dewan Pengawas, misalnya, memperumit rantai izin penyidikan yang sebelumnya sudah panjang karena harus melewati direktur penyidikan, deputi penindakan, dan pimpinan KPK. Padahal petugas KPK harus bergerak cepat dalam menciduk koruptor dan menyita barang bukti (tempo.co, 17/1/2020).

Tak dipungkiri, korupsi di lingkungan kekuasaan memang penyakit bawaan sistem sekuler dan mustahil diberantas dengan kerja lembaga semacam KPK. Selain terlihat sudah tidak independen, KPK juga telah dilemahkan posisinya.

Setidaknya ada beberapa sebab yang menyeret para pejabat melakukan korupsi. Pertama adalah modal politik yang dibutuhkan dalam sistem demokrasi terbilang yang sangat tinggi, sehingga menuntut dan ‘memaksa’ seseorang mengembalikan modal. Sebagai contoh kasus suap Wahyu Setiawan. Demi menjadi anggota DPR, mereka lakukan rekayasa agar Harun Masiku masuk dalam bursa anggota legislatif.

Inilah kebobrokan demokrasi yang nyata di depan mata. Demokrasi itu mahal. Skandal mega korupsi akan terus ada menyertai keberadaan demokrasi dan pasti akan selalu berulang dan menyeret siapapun menjadi manusia-manusia serakah dan jauh dari keberkahan. Skandal PT asuransi, misalnya, para nasabah Jiwasraya bergerak untuk memperoleh riba dari investasinya.  Elit politik menggarong uang nasabah dan berpikir untuk korupsi demi memenangi kontestasi politik demokrasi yang mahal.

Persoalan gagal bayar PT asuransi Jiwasraya, pun persoalan Asabri, dst tentu saja beragam kritik pedas sudah  dilayangkan, mulai dari persoalan teknis investasi seperti strategi investasi yang tidak hati-hati (prudent), hingga persoalan korupsi politik. Namun ada satu kritik yang belum nampak dan mengakar, yaitu kritik terhadap system kapitalis. Satu sisi mengonfirmasi bahwa perusahaan asuransi memang rawan mengalami kerugian gagal bayar kepada nasabah, di sisi lain menunjukan permainan saham ala kapitalis di sektor non riil menjadi tanda kelemahan transaksi dalam kapitalis.

Selain itu, maraknya praktik korupsi terjadi karena adanya ketidaktegasan hukum yang berlaku di negeri ini. Hukum yang berlaku bagi pelaku korupsi juga belum menimbulkan efekjera bagi pelakunya, kamar bui bisa disulap layaknya hotel, bisa makan enak, bahkan para koruptor kelas kakap bisa mendapatkan remisi.

Islam, Solusi Tuntas Soal Korupsi

Tidak ada jalan lain untuk mengentaskan kasus korupsi ini sampai ke akarnya kecuali dengan mencampakkan sistem demokrasi. Sudah seharusnya kaum muslim kembali ke sistem politik Islam yang memangkas berbagai keburukan dan kejahatan dalam sistem demokrasi. Syariah Islam jelas mengharamkan suap-menyuap termasuk terkait dengan politik.

Sistem Islam mampu memberantas korupsi dengan lahirnya individu takwa, sistem/regulasi segala bidang yang tidak rawan kepentingan sehingga tidak rawan penyalahgunaan wewenang, juga dengan sanksi menjerakan yang berlaku tanpa tebang pilih.

Sistem politik Islam bisa disebut sistem politik yang bisa memangkas biaya politik yang mahal. Misalnya pada pemilihan khalifah (Kepala Negara) dalam sistem khilafah tidak bersifat reguler seperti lima tahun sekali, yang menyedot biaya yang sangat mahal. Khalifah tetap sebagai kepala negara selama tidak melanggar syariah islam. Kepala daerah pun dipilih oleh Khalifah, jadi negara tidak disibukkan oleh Pilkada rutin yang menguras energi dan tentu saja uang.

Namun demikian, tidak perlu khawatir Khalifah akan menjadi diktator. Pasalnya, dalam islam mengoreksi Khalifah yang menyimpang bukan hanya hak, tetapi kewajiban rakyat. Karena itu rakyat diberikan ruang untuk mengkoreksi kebijakan Khalifah yang keliru.

Rasulullah saw juga menyebut bahwa yang mengurusi umat Islam sepeninggal beliau adalah para khalifah.

Sesungguhnya tidak ada nabi setelahku, dan akan ada para khalifah, jumlahnya banyak (HR Muslim). 

Dengan sistem politik Islam, dominasi pemilik modal dalam pembuatan UU yang berbahaya pun akan dipangkas habis. Pasalnya, dalam Islam kedaulatan itu ada di tangan hukum syariah, bukan manusia. Karena itu pemilik modal yang punya banyak kepentingan tidak bisa membuat atau mempengaruhi hukum seperti dalam sistem demokrasi. Dalam Islam, sumber hukumnya sudah jelas, yaitu Al-Quran dan As-Sunah.

Selain itu, khalifah menerapkan sanksi hukum jika tetap ada yang melakukan. Jaminan sanksi yang keras untuk koruptor ditentukan Khilafah didasarkan pada pengaturan syariat yang menjerakan atas pelanggaran yang merugikan negara dan rakyat. Sanksi itu bisa berupa publikasi, peringatan, stigmatisasi, sita harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati. Itu tergantung jenis kasusnya. Jadi, Islam selain menciptakan ketaqwaan individu, juga memberikan sanksi yang akan memberikan efek jera yang akan memutus mata rantai korupsi.

Alhasil, di sinilah relevansi perjuangan untuk menegakkan khilafah rasyidah ala minhajin nubuwah. Khilafahlah satu-satunya institusi politik yang menerapkan seluruh syariah Islam.

Wallahu ‘alam bi ash-shawwab.

Oleh: Wa Ode Asnalita (Aktivis Muslimah)

error: Jangan copy kerjamu bos