Example floating
Example floating
Opini

Komersialisasi Tes Corona, Dimanakah Peran Pemerintah?

1506
×

Komersialisasi Tes Corona, Dimanakah Peran Pemerintah?

Sebarkan artikel ini
Rindiyanti Septiana

Dalam perayaan Hari Lahir Pancasila, Presiden Jokowi menuturkan, tantangan yang dihadapi Indonesia tidaklah mudah. Bahkan tantangan wabah virus corona bisa berlanjut hingga tahun depan. Jokowi mengingatkan, ada 215 negara yang tengah diserang virus corona saat ini. Indonesia, kata dia, tidak sendirian, sehingga harus tetap berjuang untuk jadi pemenang. (idntimens.com, 1/6/2020)

Menjadi pertanyaan bagi kita, pemenang dari sisi apa? Terbukti hingga saat ini, penanganan wabah masih carut marut, sementara jumlah rakyat yang terpapar kian hari kian bertambah. Mahalnya tes corona turut menjadi sumber masalah. Menang dari sisi jumlah yang terpapar virus kah?
Karena, per tanggal (17/6) jumlah kasus positif virus corona di Indonesia melampaui Singapura yang selama ini menjadi negara dengan kasus positif corona tertinggi di ASEAN. Indonesia diketahui sudah memeriksa sekitar 559.000 spesimen. Saat ini ada 19.757 spesimen yang diperiksa, semakin mendekati target dari Presiden Jokowi yaitu 20 ribu pemeriksaan spesimen per hari (health.detik.com,17/6/2020)

Iklan KPU Sultra

Terkait komersialisasi tes corona, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menyebut mahalnya biaya tes corona yang dilakukan rumah sakit swasta akibat dari lemahnya peran pemerintah dalam mengatur dan mengawasi uji tes.

Ia pun menyarankan pada pemerintah untuk menempuh dua solusi yang ditawarkannya. Pertama, pemerintah menanggung semua biaya uji tes, baik rapid maupun swab test berdasarkan keputusan pemerintah tentang kedaruratan virus corona dan penetapan Covid-19 sebagai bencana nasional non alam dan diperkuat dalam Perppu No.1 Tahun 2020 menjadi Undang-Undang yang salah satu isinya tentang pembiayaan penanganan pandemi Covid-19.

Kedua, jika anggaran negara terbatas, pemerintah harus mengeluarkan aturan khusus yang mengatur pelaksanaan tes Covid-19, baik untuk rumah sakit swasta maupun pemerintah. Artinya, pemerintah harus turun tangan menetapkan harga standar yang terjangkau.

Solusi kedua yang ditawarkan oleh Trubus sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, ia mengatakan seharusnya pemerintah dalam hal ini Kemenkes segera menetapkan Harga Eceran Tetinggi (HET) rapid test. Sehingga konsumen tidak menjadi objek pemerasan dari oknum dan lembaga kesehatan tertentu dengan mahalnya rapid test. (makassar.kompas.com, 19/6/2020)

Begitu malang kondisi rakyat, khawatir akan terpapar virus saja sudah menyulitkan mereka untuk beraktivitas di luar rumah. Mengapa harus dihadapkan dengan komersialisasi tes corona? Lagi-lagi siapa yang diuntungkan? Pemerintah, Rumah Sakit atau pengusaha yang bekerjasama dengan oknum pejabat untuk meraup untung lewat tes corona di tengah pandemi?

Sudah seharusnya negara melindungi setiap jiwa rakyatnya dengan berbagai cara, jangan lagi ada korban dari kaum ibu dan anak karena dikomersialkannya tes corona. Harapan terbesar tentu kita tujukan pada sistem Islam. Karena negara yang menerapkan Islam takkan tega menghilangkan nyawa manusia demi keuntungan apapun.
Diketahui bahwa biaya rapid test mulai dari Rp 200.000 hingga Rp 500.000, sementara untuk swab test (alat PCR) antara Rp 1,5 juta hingga Rp 2,55 juta, belum termasuk biaya-biaya lain. Ketua Umum ARSSI, Susi Setiawaty pun menanggapi bahwa mahalnya tes corona disebabkan beberapa hal.
Pertama, pihak rumah sakit harus membeli sendiri alat dan perlengkapan tes. Kedua, biaya untuk membayar tenaga kesehatan yang terlibat dalam tes tersebut, mulai dari dokter, petugas laboratorium, hingga petugas medis yang membaca hasil tes tersebut.

Bahkan Susi mengatakan saat ini terdapat rumah sakit swasta yang menangani pasien virus corona namun belum mendapatkan bayaran dari pemerintah. Katanya, RS mau cari untung, apanya yang mau cari untung? Masih banyak yang tidak bisa dibayar juga, banyak yang tidak bisa diklaim. (bbc.com, 18/6/2020)

Publik tentu dibuat bingung tujuh keliling, sudahlah pandemi hingga saat ini tak kunjung reda dan para pejabatnya malah menyelenggarakan lomba video new normal dengan hadiah sebesar 168 miliar. Bukankah itu sungguh ironi? Kenapa tidak gratiskan saja tes corona pada setiap pasien yang berobat di RS, dan biaya itu ditanggung negara?

Sementara dalam Islam, Kepala Negara (Khalifah) menjalankan hukum Allah atas rakyat dan bertanggungjawab langsung kepada Allah atas kepemimpinannya. Bila Khalifah tidak menjalankan hukum Allah, ia layak diberhentikan kapan pun, tanpa menunggu periode tertentu. Dan sebaliknya, selama ia menjalankan perintah Allah maka tak ada alasan untuk memberhentikannya.

Sebagaimana yang terjadi pada Umar bin Abdul Aziz, saat dibaiat sebagai Khalifah kaum muslimin, justru menangis merasakan beratnya beban yang harus ia pertanggungjawabkan di hadapan Allah. Hal itu tercermin dari surat yang ditulisnya kepada para pejabat di bawahnya: …dengan segala yang diujikan ini aku sangat takut akan datangnya penghisaban yang sulit dan pertanyaan yang susah, kecuali apa yang dimaafkan Allah SWT…(Syeikh Muhammad Khudari Bek, Negara Khilafah, PTI 2013 h.290).

Rasulullah Saw bersabda:
“Imam (Khalifah) adalah raa’iin (pengurus rakyat) dan ia bertanggungjawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Bukhari)

Begitu jelas apa yang disabdakan oleh Rasul, bahwa para Khalifah, sebagai pemimpin yang diserahi wewenang untuk kemaslahatan rakyat akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt kelak pada hari kita, apakah mereka telah mengurusnya dengan baik atau tidak? Raa’iin bermakna penjaga yang diberi amanah atas bawahannya.

Lalu, tidakkah para pemimpin di negeri muslim ini khawatir akan hari kembali? Dimana pemimpin yang pertama kali akan dihisab oleh Allah untuk mempertanggungjawabkan atas segala kepemimpinannya. Takkan luput juga dari hisab Allah, terkait sudah berapa banyak nyawa yang hilang dengan sia-sia selama masa kepemimpinannya.

Oleh : Rindyanti Septiana S.Hi
(Kontributor Muslimah News & Pemerhati SosPol)

error: Jangan copy kerjamu bos