
TEGAS.CO,. KOLAKA – Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Kolaka menanggapi pemberitaan disejumlah media online terkait adanya dugaan penambangan ilegal di wilayah Konsesi Perumda Kolaka tepatnya didalam kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) seluas 177.48 Ha, serta dugaan ketidakpatuhan dalam membayar denda keberlanjutan PNBP PPKH senilai Rp. 19.665.529.538, akhirnya pihak Perumda Kolaka angkat bicara.
Kepala Bagian Humas Perumda Kolaka, Herman Syahruddin, mengatakan pihaknya sangat menyayangkan pemberitaan yang tidak berimbang oleh beberapa media online, sayangnya media yang meliput pemberitaan itu melakukan tidak konfirmasi kepada pihak Perumda Kolaka karena itu wajib Undang-Undang kode etik jurnalis, namun hingga saat ini Perumda Kolaka belum dikonfirmasi terkait pemberitaan tersebut.
Selanjutnya Herman menjelaskan secara rinci terkait sanksi administrasi tersebut, dimana terdapat perbedaan perhitungan yang dilakukan oleh Perumda Kolaka dengan pihak kementerian, sehingga menyurati kementerian sebanyak dua kali, yang pertama di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tanggal 13 Juli 2023.
Surat yang kedua ditujukan kepada Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia pada tanggal 12 Januari 2024, dimana isi surat tersebut berupa keberatan atas penetapan sanksi yang dianggap tidak sesuai dengan perhitungan Perumda Kolaka, sebelum mendapatkan IUP Operasi Produksi pada tahun 2007, area tersebut sudah terbuka dengan bukti dari citra resolusi tinggi seluas 57,16 hektar.
Setelah adanya penetapan sanksi keberlanjutan atau sanksi administrasi oleh kementerian, terdapat selisih perhitungan dimana berdasarkan data satelit yang ditemukan oleh Perumda Kolaka, bahwa telah terjadi bukaan kurang lebih 57,16 hektar yang dilakukan oleh orang yang kita tidak ketahui, kemudian oleh kementerian menjadikan beban itu kepada Perumda Kolaka.
Sehingga, atas keberatan pada tanggal 4 Juni 2024 biro hukum Kementerian Kehutanan mengundang 5 perusahaan termasuk Perumda Kolaka yang melakukan keberatan atas penetapan sanksi tersebut.
“Dalam pertemuan itu, kami paparkan berdasarkan data yang kami miliki yang kemudian pada saat itu, kami dijanjikan akan dilakukan pengkajian ulang namun sampai hari ini belum ada jawaban” ucapnya.
Herman menambahkan, karena lamanya menunggu jawaban sementara kewajiban ke negara harus dilaksanakan, maka pada tanggal 12 Desember 2024 direksi Perumda Kolaka resmi mengajukan permohonan pencabutan keberatan atas sanksi administrasi, sekaligus mengajukan permohonan penerbitan e-billing atas penetapan sanksi tersebut.
“Kami tidak ada niat untuk bandel atau tidak patuh apalagi berkaitan dengan keuangan negara, kewajiban ke negara itu merupakan kewajiban kita, kita ini adalah badan usaha milik daerah yang bagian dari satu kesatuan dengan negara yang ada hari ini, namun hingga kini e-billing belum terbit sebagai dasar rujukan kita untuk menyelesaikan kewajiban atas sanksi yang dimaksud” jelas Herman.
Oleh karena itu, kata Herman, sangat keliru jika rekan – rekan yang mengatasnamakan dirinya Jaringan Pemerhati Investasi Pertambangan (J-PIP) mengadakan unjuk rasa di Kejaksaan Agung, seharusnya JPIP melakukan demonstrasi di Kementerian Keuangan agar e-billing atas sanksi administrasi Perumda Aneka Usaha Kolaka diterbitkan, sebagai dasar rujukan Perumda Kolaka untuk membayar.
“Bukan kami yang korupsi atau direksi yang melakukan korupsi sebab dana untuk pembayaran sanksi tersebut sudah siap, tetapi pertanyaannya mau bayar ke mana, setelah Perumda Kolaka menyurati kementerian itu merupakan etikad baik kami untuk menyelesaikan kewajiban, sekarang e-billing atas pembayaran tersebut silahkan diterbitkan dan kami akan melakukan pembayaran” tegasnya.
Herman menekankan, bahwa apa yang ditudingkan mengenai kerugian negara hingga melakukan penambangan ilegal itu keliru sekali, tudingan itu tidak berdasar karena RKB Perumda Kolaka sudah terbit.
Laporan : Zikin
Publisher : Dion
Komentar