Tata Kelola Tambang, Picu Konflik di Kolut

Risnawati, S.Tp (Pegiat Opini Kolaka)
Risnawati, S.Tp (Pegiat Opini Kolaka)

TEGAS.CO,. NUSANTARA – Kebijakan terkait tata kelola tambang sangat minim visi untuk mewujudkan kemandirian dalam pengelolaan tambang dari hulu hingga hilir. Pasalnya, konflik pertambangan diberbagai daerah masih terus saja ramai menjadi pemberitaan negeri ini. Sungguh miris, berbagai regulasi terkait tambang justru merugikan rakyat dan menguntungkan asing, hingga terus menciptakan konflik akut.

Seperti dilansir dari laman Kolaka Utara, Telisik.Id – Aksi gabungan Ormas Tamalaki se Sultra yang berlangsung di gedung DPRD Kolaka Utara (Kolut) berakhir ricuh, Kamis (15/7/2021).

Kericuhan tersebut dipicu akibat tidak terpenuhinya tuntutan gambungan ormas Tamalaki yang menginginkan semua massa Tamalaki masuk dalam gedung DPRD Kolut.
“Ketua DPRD yang kami hormati, izinkan kami masuk. Kami janji kami tidak akan anarkis,” seru ketua Tamalaki Patowonua, Mansiral Usman, SH.
Dalam kerusuhan tersebut, dua anggota Polisi Resort (Polres) Kolut terluka akibat terkena hantaman batu di bagian kepala dan dada. Dua anggota polres tersebut yakni Beriptu Herianto terkena lemparan batu di dada dan Briptu Ardelan terkena lemparan di bagian kepala. Berdasarkan pantauan Telisik.id, kondisi ke dua anggota polres tersebut mulai membaik dan kembali melakukan pengamanan meski sempat mendapatkan perawatan.

Kapitalisme Akar Masalah

Berbagai fenomena yang amburadul dalam pengelolaan tambang diberbagi wilayah termasuk di Kabupaten Kolaka Utara hal ini membuktikan semakin jelas akan rusaknya tata kelola tambang sistem kapitalistisme demokrasi yang hanya berpihak pada kepentingan korporasi dan abai terhadap kepentingan rakyat. Belum lagi dampak racun demokrasi di balik UU prokapitalis. Yang pastinya ada harga yang harus dibayar oleh rakyat. Dengan kata lain, di balik liberalisasi ekonomi pasti ada liberalisasi budaya.

Pasalnya, kerusakan lingkungan dan dirampasnya kesejahteraan rakyat, bukan sekadar kesalahan regulasi. Dibuatnya kebijakan agar kegiatan pertambangan memperhatikan lingkungan dan kesejahteraan, bukanlah solusi fundamental atas problem tersebut. Lebih dari sekadar regulasi, kesalahan fatal terletak pada penentuan landasan sistem ekonominya yang bercorak kapitalistisme liberalism. Maka dari itu, jika ingin mencegah terjadinya eksploitasi SDA oleh swasta, harus dilakukan upaya yang fundamental, yaitu mengganti landasan sistem ekonominya dari sistem kapitalistisme menjadi Islam.

Untuk menghadirkan sistem politik dan ekonomi Islam secara utuh, harus dengan mengganti seluruh tubuh beserta organ-organ penting yang ada dalam sistem ekonomi kapitalisme. Tubuh ekonomi kapitalisme adalah pasar modal, maka tubuh ini harus diganti menjadi pasar syariah, yaitu pasar yang aturannya sesuai syariat.

Mekanisme pasar bebas yang menjadi tubuh sistem ekonomi kapitalisme telah melegalkan eksploitasi seluruh SDA oleh korporasi. Selama kepemilikan tidak diatur alias apa pun bisa diprivatisasi, kerusakan lingkungan dan penderitaan rakyat akan terus terjadi. Demikianlah, akibat ketiadaan sistem Islam dalam pengelolaan tambang, maka terjadi banyak fasad (kerusakan) baik di darat dan di laut negeri kita.

Karena itu, mencermati hal ini, bagaimana pun kita harus semakin peduli pada negeri ini. Kita pasti menginginkan apa-apa yang terbaik bagi negeri kita. Terlebih di tengah karut-marut penanganan wabah corona, tak kunjung selesai

Butuh Solusi Islam

Islam telah menjelaskan bahwa tugas negara adalah me-riayah alias mengurusi urusan umat, bukan sebagai regulator atau bahkan pengasong kekayaan masyarakat. Sehingga, negara akan berusaha memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Rakyat akan menjadi prioritas utama, sehingga negara tidak akan mengeluarkan kebijakan yang menyengsarakan atau mengambil hak-hak rakyat. Kalaupun ada pertambangan, akan diperhatikan bagaimana dampaknya bagi lingkungan dan masyarakat.

Kedua, Islam mengatur cara mengelola sumber daya alam (SDA). Dalam sebuah hadis dikatakan,
“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air dan, api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Maknanya, seluruh SDA adalah milik kaum muslimin. Pemanfaatannya harus digunakan untuk keperluan masyarakat, bukan kepentingan individu. Oleh karena itu, negara tidak boleh mengeluarkan kebijakan mengenai privatisasi SDA.

Karenanya, dalam proses penambangan, Islam memberikan aturan yang khas. Penambangan boleh dilakukan asalkan tidak merusak lingkungan, masyarakat. Bukan pula untuk kepentingan pribadi atau dijual kepada asing. Sehingga, negara tetap memiliki kedaulatan yang kuat di hadapan asing. Kalaupun ada pekerja asing, hanya sebatas perjanjian kerja yang digaji.
Alhasil, kesalahan fatal pengelolaan pertambangan merupakan sebuah ironi. Padahal, 13 abad yang lalu Islam telah memiliki seperangkat aturan yang terperinci terkait pengelolaan sumber daya alam. Khilafah Islamiah kelak akan menunjukkan kinerjanya sebagai negara yang mengelola sumber daya alam (SDA) secara adil dan memberikan kebaikan bagi seluruh manusia. Hal ini, sangat berbeda dengan kapitalisme, bukan? Islam telah membuktikan penerapan kebijakan ini selama 13 abad, sementara kapitalisme merusak tatanan kehidupan hanya dalam satu abad.

Wallahu a’lam.

Penulis : Risnawati, S.Tp (Pegiat Opini Kolaka)

Editor : YUSRIF

Komentar