Example floating
Example floating
Salam Sahadia calon Bupati Butur 2024
Opini

Islamophobia, Strategi Pecah Belah Umat

×

Islamophobia, Strategi Pecah Belah Umat

Sebarkan artikel ini
Drg. Endartini Kusumastuti (Pemerhati Sosial Masyarakat Kota Kendari)

TEGAS.CO,. NUSANTARA – Banyak orang mulai sadar bahwa negeri ini tidak sedang baik-baik saja. Korupsi makin menjadi-jadi. Penguasaan lahan (termasuk hutan) dan SDA yang makin brutal oleh segelintir pemilik modal. Banyak BUMN yang bangkrut. Banyak proyek infrastruktur mangkrak atau terancam makrak.

Infrastruktur yang sudah jadi pun ada yang ‘tak berguna’, seperti Bandara Kertajati di Majalengka. Ada juga infrastruktur yang kemudian terpaksa dijual atau berencana dijual, seperti beberapa ruas jalan tol, sebagaimana diwacanakan Pemerintah.

Iklan KPU Sultra

Persoalan lainnya, harga kebutuhan pokok masyarakat makin mahal. Yang terbaru minyak goreng. Padahal negeri ini penghasil kelapa sawit terbesar di dunia. Utang luar negeri makin menumpuk hingga mencapai ribuan triliun rupiah. Di dunia usaha, banyak pengusaha skala kecil dan menengah yang terpuruk. Banyak terjadi PHK.

Otomatis angka pengangguran pun makin tinggi. Selama Pandemi Covid-19, angka kemiskinan juga meningkat. Di tengah berbagai keterpurukan ini, Pemerintah malah mengesahkan rencana pemindahan ibukota baru ke Kalimantan dengan rencana biaya ratusan triliun rupiah dari APBN. Tentu sebagiannya dari utang dan pajak rakyat.

Rencana ini disinyalir hanya untuk memenuhi nafsu segelintir kaum oligarki, yang cengkeramannya makin kuat. Sama sekali bukan untuk kepentingan rakyat.

Anehnya, di tengah segudang masalah yang membelit negeri ini, yang selalu dipersoalkan adalah radikalisme. Seolah-olah permasalahan utama bangsa ini adalah radikalisme. Seolah-olah solusi atas semua keterpurukan ini—kemiskinan, korupsi, bangkrutnya BUMN, menumpuknya utang luar negeri, banyaknya pengangguran, dll—adalah dengan memberantas radikalisme. Tentu saja tidak nyambung.

Brigjen Umar Efendi selaku Direktur Keamanan Negara memberi pernyataannya terkait perencanaan pemetaan masjid-masjid untuk mencegah penyebaran pemahaman radikalisme, membuat publik menjadi geram mendengarkannya. Bagaimana tidak, hal ini memicu memecah belah umat dan membuat rancu dalam polemik baru.

Dengan alasan yang tidak masuk akal, berdalih memetakannya bertujuan untuk mencegah virus radikal, bukankah itu hal yang konyol?

Tidak cukup masjid saja yang jadi sasaran, pesantren pun dikaitkan dalam masalah ini. Masjid dan pesantren adalah tempat ibadah, mempererat tali persaudaraan, dan menimba ilmu,kenapa harus dijadikan alat kecurigaan terindikasinya radikal? Jika perencanaan ini diterapkan di tengah masyarakat, maka terjadilah perpecahan diantara kaum muslim, timbul rasa mencurigai antar sesama,pertikaian, kesenjangan moral dan sebagainya.

Apalagi orang masih awam tentang agama ikut membenarkan bahwa masjid dan pesantren adalah sarang radikal sehingga tempat tersebut tidak nyaman lagi.

Isu radikal dan teroris terus ditanamkan di benak hati umat Islam untuk menyudutkan agamanya, Kenapa statement ini terus digencarkan? Diduga kuat karena mereka mengidap penyakit Islamophobia yang sangat takut dengan kejayaan Islam, hanya aturan Islam yang mampu mengusir penjajahan yang bercokol di negeri ini. Dengan penerapan syariah sumber daya alam tak dapat lagi dinikmati segelintir orang. Dengan aturan Islam pulalah yang dapat merubah kesenjangan menjadi kemaslahatan.

Jelas, isu radikalisme—di tengah keterpurukan negeri ini—adalah isu politis dan tampak sangat dipaksakan. Sama sekali tidak relevan dan tidak penting. Menjadi pertanyaan apakah ini pengalihan semata, yakni mengalihkan perhatian masyarakat dari kegagalan rezim dalam mengatasi berbagai persoalan, khususnya persoalan ekonomi?

Di sisi lain, istilah radikalisme terkesan sengaja dibuat tidak jelas. Tujuannya tentu supaya mudah digunakan sebagai alat untuk memukul siapapun yang anti rezim. Faktanya, begitu mudahnya tokoh Islam atau kelompok Islam dicap radikal hanya gara-gara kritis terhadap rezim. Karena itu sudah seharusnya kaum Muslim tidak terkecoh. Isu radikalisme tidak menggambarkan fakta dan peristiwa yang sesungguhnya. Isu ini jelas lebih bernuansa politis. Tujuannya adalah untuk memperkokoh rezim dan melemahkan sikap kritis umat Islam.

Alhasil, isu radikalisme sesungguhnya isu global. Isu ini merupakan kelanjutan dari isu terorisme yang telah gagal dalam mencapai tujuan negara-negara Barat, khususnya AS, untuk melumpuhkan perlawanan umat Islam terhadap penjajahan Barat.

Narasi perang melawan terorisme, radikalisme dan ekstremisme dengan target memerangi Islam dan umat Islam inilah yang juga terus-menerus dikampanyekan oleh para penguasa Muslim, termasuk di negeri ini. Mereka terus-menerus mengkampanyekan narasi-narasi kebencian terhadap Islam (islamophobia) dan kaum Muslim. Rezim anti Islam pun mengadu-domba sesama kelompok-kelompok Islam.

Mereka memanfaatkan ulama-ulama yang tertipu untuk menyerang ajaran Islam khilafah dengan keji. Tujuannya tidak lain agar umat Islam semakin jauh dari ajaran Islam yang kâffah dan mengokohkan penjajahan negara-negara Barat atas Dunia Islam.

Allah SWT berfirman:

يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ

“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka, sementara Allah enggan kecuali menyempurnakan cahaya-Nya meski orang-orang kafir tidak menyukainya” (QS at-Taubah [9]: 32).

Melalui ayat ini Allah SWT mengingatkan kita bahwa musuh-musuh Islam tidak pernah melewatkan satu pun kesempatan yang dapat mereka gunakan untuk menyerang Islam dan Kaum Muslim. Semuanya demi suksesnya tujuan besar mereka: melenyapkan Islam hingga dari akar-akarnya.

Karena itu kaum Muslim tak boleh kendor. Tak boleh menjadi lemah. Tak boleh takut. Tetap harus berani. Tetap harus kuat, bahkan lebih kuat dalam melakukan perlawanan terhadap rezim anti Islam. Tentu tanpa harus melakukan aksi-aksi kekerasan.

Hendaknya rasa takut kita hanya kepada Allah SWT. Bukan kepada sesama manusia. Inilah yang mendorong generasi salafush-shalih selalu lantang dan menyuarakan kebenaran dan dalam menentang para penguasa zalim. Contohnya adalah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Ia pernah berdiri di atas mimbar mengoreksi kebijakan Khalifah al-Muqtafi.

Padahal ketika itu banyak orang diam dibungkam rasa takutnya pada penguasa. Saat itu Khalifah al-Muqtafi mengamanahkan jabatan peradilan kepada hakim yang zalim. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menyampaikan kritiknya secara terang-terangan di atas mimbar masjid ketika Khalifah berada di hadapan sang ulama panutan:

“Engkau telah mengangkat seseorang untuk kaum Muslim yang paling zalim di antara orang-orang zalim. Lantas apa jawabanmu esok hari (di Akhirat) di hadapan Tuhan Penguasa alam?” (Muhammad ash-Shallabi, Asy-Syaikh ’Abd al-Qadîr al-Jailâni, hlm. 85).

Itu semua ditegakkan tanpa gusar terhadap celaan orang-orang tercela (lawmata lâ’im), sebagaimana terucap di masa kini di balik stigma negatif “radikal” dari mereka yang terpedaya dunia. Bukankah Rasulullah saw. dan para Sahabat pun telah mencontohkan keberanian dan sikap teguh menghadapi berbagai tantangan dakwah?
Karena itu janganlah kita takut kepada makhluk-Nya dengan mendurhakai-Nya. Ini merupakan sebab kebinasaan, sebagaimana terjadi pada kaum terlaknat, kaum ’Ad (QS Hud [11]: 59-60).

Seharusnya kita sebagai seorang muslim harus segera bangkit, sadar bahwa itu merupakan jebakan para korporasi untuk mempertahankan eksistensinya yang ingin menguras kekayaan negara. Indonesia adalah negara yang dianugerahi oleh Allah SWT kekayaan alam yang melimpah, merupakan aset negara yang harus dijaga dan dikelola secara syar’i, selanjutnya dikembalikan untuk kemaslahatan umat.

Namun sayang ini tak dapat diterapkan selama aturan Islam tak diimplementasikan dalam bingkai Khilafah.

Allah SWT menyampaikan bahwa di antara sebab kebinasaan mereka adalah memenuhi syahwat rezim yang bertindak sewenang-wenang dan menentang kebenaran yang dibawa para rasul pilihan. Ingatlah, makhluk itu fana. Kekuasaan mereka pun akan binasa. Sebaliknya, Allah SWT sebaik-baiknya Pelindung (wa kafâ biLlâhi nashîr[an]) dan sebaik-baiknya Pemelihara (wa kafâ biLlâhi wakîl[an]).

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb.

Penulis: Drg. Endartini Kusumastuti (Pemerhati Sosial Masyarakat Kota Kendari)

Publisher: Yusrif Aryansyah

Example 120x600
error: Jangan copy kerjamu bos